Sengketa Tanah Bukit Gado-Gado


PADA tahun 2000 Titin warga Kelurahan Bukit Gado-gado Kecamatan Padang Selatan Kota Padang, telah mendirikan sebuah rumah semi permanen diatas tanah negara bekas erfah No. 83 yang dikuasai oleh Wirako Angriawan.SH sebagai ahli waris dari Ang Sia dan Lim Kim Eng Nio.

Diatas tanah tersebut, sudah berdiri kuburan Ang Sia tertanggal 11 Desember 1908 dan kuburan Lim Kim Eng Nio tertanggal 5 November 1928 serta beberapa kuburan lainnya. Adapun keberadaan rumah tersebut sudah mendapat izin dari Wirako, sebagai ahli waris. Karena Titin ditugaskan untuk menjaga dan merawat kuburan tersebut dengan surat perjanjian tertanggal 5 April 2000 dan surat pernyataan tertanggal 30 Oktober 2010.

Adapun yang menjadi sipadan tanah itu, di sebelah Timur berbatasan dengan dua buah rumah atas nama Roza dan Zainah, dan satu pondasi atas nama Zahara yang mana tanah tersebut juga tanah negara bekas ervah no 83. Menurut Titin pada tahun 2007 dia ikut digugat oleh pihak Rahman Salim Cs, namun tidak ada pemeriksaan lapangan.

Pada saat persidangan menurut para saksi baik itu saksi penggugat ataupun tergugat menerangkan bahwa, rumahnya tersebut berada diluar tanah sengketa, dalam arti kata sudah adanya kekeliruan dalam batas-batas tanah objek sengketa.

Bahkan dalam replik penggugat sendiri tertanggal 24 Juli 2007 pada poin 1 menerangkan bilamana ternyata ada bangunan tergugat yang berdiri diluar objek sengketa maka hal itu terbebas dari segala akibat dalam perkara ini.

Disini jelas terlihat bahwa penggugat tidak mengetahui batas-batas tanah yang sebenarnya. Menurut Titin  Dengan adanya kekeliruan batas-batas ini seharusnya majelis hakim harus mengadakan pemeriksaan kelapangan namun itu tidak dilakukan, hingga hak atas rumah Titin tersebut jadi terabaikan.

Akibatnya, Majelis Kakim memenangkan penggugat, sehingga dalam putusannya tentang objek perkara dan batas-batas tanah serta asal usul tanah yang sebenarnya berasal dari tanah negara bekas erfah no. 83  tidak  melakukan penelitian dan pembuktian lapangan. Sehingga timbullah perlawanan dari Zahara dengan perkara perdata no.12/pdt.plw/2011/pn.pdg

Sedangkan pada tingkat kasasi yaitu putusan Mahkamah Agung RI.No. 2234 k/pdt/2009 malah membahas soal pembuktian dari seorang suami membangun sebuah rumah untuk isteri dan anaknya. Menurut Titin pertimbangan hakim tidaklah benar, karena adat Minangkabau, bukan suami yang membangun rumah atas nama isteri atau anaknya, akantetapi pihak suamilah yang tinggal dirumah sang isteri. Artinya, Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung dalam memutus perkara, hanya berdasarkan peraturan baku, tanpa melihat dan menelaah budaya adat Minangkabau.

Lebih lanjut Titin mengatakan,bahwa bukti-bukti yang mereka ajukan juga cacat formal karena tidak adanya badan perpanjang tangan dari pemerintah seperti lurah atau kepala kampung yang mensahkan bukti  kepemilikan mereka. Artinya hakim membenarkan surat yang tidak disahkan oleh hukum seperti surat keterangan tertanggal 9 desember 1966 yang disebut sebagai P.1 yang sengaja direkayasa untuk kepentingan dalam perkara ini.

Dimana bunyi surat tersebut antara lain : tanah yang disebutkan, "kami ninik mamak beserta kepala kampung telah memancang perbatasan si Nawi dengan si Maas". Disini jelas terlihat bahwa kepala kampung telah ikut memancang perbatasan tetapi kenapa tidak disahkan oleh kepala kampung itu sendiri dengan tidak ikut membubuhkan tanda tagannya.

Dan akan dilaksanakan eksekusi tanpa melakukan terlebih dahulu Sita Eksekusi sementara objek eksekusi itu sendiri belum pernah diadakan sidang komisi dan objek tersebut juga belum mempunyai sertifikat.

Berdasarkan uraian diatas maka kami mohon kepada kepala KOMNAS HAM SUMBAR untuk membantu kami meminta ke Pengadilan Negeri supaya ketua pengadilan negeri padang menunda eksekusi yang akan dilaksanakan tersebut hingga adanya putusan akhir dari perkara perdata no.12/pdt.plw/2011/pn.pdg. **

Ditulis oleh : Titien Sumarni


Post a Comment

Previous Post Next Post