No title


Bantuan Kepada Rakyat, Mampukah Tuntaskan Problem Sistemik?

Oleh : Qonitta Al-Mujadillaa (Aktivis Muslimah Banua)

Bagai buah simalakama, kemiskinan di negeri ini sudah menjadi masalah pelik yang tak pernah dapat terselesaikan.  Bahkan semakin hari tingkat kemiskinan makin fantastis, maka hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah menggelontorkan dana bantuan untuk rakyat. Namun, seribu sayang tak semua lapisan rakyat mendapatkan bantuan tersebut.

Sebagaimana dilansir oleh Liputan6.com , Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini telah berkunjung kepada suku Dayak meratus di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan. Kedatangannya di sana selain untuk melihat kehidupan masyarakat setempat, ia juga menyerahkan bantuan senilai Rp 1,5 miliar. (Liputan6.com , Rabu 15/9/2021).

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Selatan Amanlison Sembiring di Banjarmasin, Selasa, mengatakan, untuk upaya mendorong penguatan UMKM di masa pandemi, pihaknya terus berupaya bersinergi dengan pemerintah dan berbagai instansi serta lembaga, salah satunya melalui penyaluran Program PEN yang sampai 18 Juni 2021 terealisasi sebesar Rp739 miliar. (Antarakalsel.com , Selasa 24/8/2021).

Begitu banyak bantuan yang disalurkan namun tidak merata. Demikian setiap bantuan untuk pembangunan dengan menghadirkan setiap kebijakan negara saat ini benarkah murni untuk kesejahteraan rakyat? Atau sebaliknya semua ini hanya demi pencitraan semata agar dianggap bahwa pemerintah selalu pro kepada rakyat? 

Sungguh, jika demikian ini terjadi begitu ironis, maka hal ini bukanlah prestasi yang patut dibanggakan! Di satu sisi begitu masih banyak kemiskinan yang melanda masyarakat, kehidupan yang sempit terlebih dimasa pandemi ini. Mereka membutuhkan bantuan semestinya murni bukan kemudian semata pencitraan hanya untuk mengambil simpatik masyarakat. Sebab, faktanya dalam kepengurusan sumber daya alam (SDA) negeri ini nyatanya orientasinya bukan untuk kesejahteraan hidup rakyat, malah menguntungkan para kapital dan para oligarki yang telah mendarah daging hadir di negeri ini. Sedangkan, rakyat dibebankan dengan berbagai pungutan pajak atau biaya hidup yang begitu menyengsarakan masyarakat. 

Sekalipun hadirnya bantuan yang diberikan, nyatanya nyaris tidak mengubah kondisi masyarakat begitu memprihatinkan. Tak heran jika kasus-kasus kelaparan bahkan kemiskinan terus bermunculan di berbagai daerah. Begitu pun kriminalitas semakin menjadi sebab karena keterpaksaan oleh keadaan yang membuat hal ini terjadi. Tak hanya ini, di beberapa tempat pun sering terjadi kasus-kasus percobaan bunuh diri karena akibat tekanan ekonomi yang begitu berat.

Ironisnya lagi, kebijakan-kebijakan maupun bantuan-bantuan yang digelontorkan oleh negeri ini tidak jelas arah. Kepengurusan (periayahan) penguasa begitu abai dan setengah-setengah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan rusaknya paradigma kepemimpinan membuat riayah (pengurusan) penguasa bak sandiwara semata. Alih-alih meringankan beban rakyat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru semakin membuat rakyat sengsara. Tanpa ada keseriusan dalam mengurusi rakyatnya. Inilah tabiat yang menjadi sebuah keniscayaan penguasa yang dilahirkan dari sistem kapitalisme demokrasi. Sistem ini membuat penguasa berambisi hanya untuk meraup materialistik semata, tanpa memikirkan bagaimana kondisi masyarakat. Hal ini sudah menjadi lumrah ketika negeri ini masih berharap dan menegakkan sistem rusak ini.

Berbeda dengan Islam, Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang melahirkan aturan -aturan sempurna dan menyeluruh untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan. Islam telah mewajibkan terealisasinya jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok individu dan masyarakat. Islam memberikan serangkaian hukum syariah untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang bagi tiap individu rakyat dengan mekanisme langsung dan tak langsung; oleh laki-laki, keluarga, masyarakat dan negara. Adapun terkait kebutuhan akan keamanan, kesehatan dan pendidikan, maka Islam mewajibkan negara untuk menyediakan semua itu bagi masyarakat. 

Rasulullah Saw bersabda, “Siapa dari kalian yang bangun pagi dalam keadaan hatinya aman atau damai, sehat badannya dan memiliki makan hariannya, maka seolah-olah telah dikumpulkan dunia untuk dirinya.” (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah, al-Bukhari).
Adapun Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan masyarakat. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari). Urgensitas kedudukan penguasa dalam Islam yang merupakan pelayan umat, maka semestinya tidak untuk mengeruk agar mendapatkan keuntungan pribadi saja apalagi memperkaya kelompoknya tetapi untuk mengurusi hajat hidup rakyatnya.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah kegemilangan peradaban Islam dahulu, Rasulullah Saw sebagai pelopor pemimpin yang luar biasa memberikan periayahan terbaik kepada masyarakat Madinah saat masa tersebut. Namun, hal ini tidak berhenti pada Nabi Saw dalam menjalankan amanah kepemimpinan, akan tetapi juga para Khalifah setelahnya.

Seperti, Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, telah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksanya berlutut kepada Khalifah. Al-Mu’tashim di era Khilafah ‘Abbasiyyah, memenuhi jeritan wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah, yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang menolak upaya Yahudi untuk menguasai tanah Palestina. Semua ini adalah representasi dari fungsi junnah para Khalifah.
Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang berusaha keras memakmurkan rakyat dalam 2,5 tahun pemerintahannya sampai-sampai tidak didapati seorang pun yang berhak menerima zakat. Ini menjadi bukti bahwa Khalifah di bawah kepemimpinan Islam yakni sistem Khilafah Islamiyah telah melahirkan pemimpin adil, terbaik dan amanah dalam menjalankan syariah Islam. Sebab, kesejahteraan rakyat adalah hal utama yang jadi perhatian negara dalam Islam. Namun, pemimpin seperti ini hanya bisa lahir dalam sistem Khilafah Islamiyah.

Demikianlah, kaum muslimin menyadari bahwa bantuan saja tidaklah mampu tuntaskan problem sistemik saat ini, apalagi bantuan dari penguasa tidak merata. Maka, sudah saatnya kaum muslimin untuk tidak berharap dan menerapkan sistem kapitalisme demokrasi, sebab inilah biang kerok dan akar dari problem hidup masyarakat sampai saat ini. Saatnya kembali pada solusi paripurna ialah Islam kaffah. Allah Swt berfirman : Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? Wallahu ‘alam bishowab. [].

Post a Comment

Previous Post Next Post