Kehadiran wabah korona
ibarat booster waktu yang menjadikan hari demi hari tak terasa, sebab segala
lini tengah berburu dengan adaptasinya dengan kebiasaan baru, hidup
“berdampingan” dengan Covid-19 hingga kini.
Dalam adaptasi dunia pendidikan menghadapi wabah korona tentu penuh dengan turbulensi. Perumusan kebijakan yang extraordinary tak ayal membuat gagap pihak-pihak terkait.
Pembelajaran jarak jauh
(PJJ) dengan sistem daring yang menjadi formulasi setiap sekolah meski
dipermukaan terlihat instan tak luput dari keluhan-keluhan.Entah itu persoalan
sarana, teknis, hingga psikologis.
Pemerintah pusat telah
berupaya menanggulangi keluhan-keluhan tersebut dengan beberapa kebijakan
seperti, alokasi kuota gratis bagi pelajar bahkan tunjangan guru di masa
pandemi.
Kini, respon teranyar
berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri bahwa sekolah tatap muka
dapat dilakukan pada Semester Genap Tahun Ajaran 2020/2021. Dengan sederet
catatan, syarat, dan ketentuan yang wajib dipenuhi. Pihak pemda, sekolah, dan
komite sekolah memiliki peran dominan dalam eksekusi pembelajaran tatap muka.
Dengan waktu yang sangat
singkat setiap sekolah akan kembali beradaptasi dengan sekolah tatap muka
bersama syarat dan ketentuannya, tatkala pandemi belum melandai dengan
signifikan. Bersama dengan opsi tersebut, stakeholder wajar mendalami perihal
ditangan “siapa” pemenuhan instrumen protokol kesehatan (prokes) dalam proses
belajar tatap muka? Namun, kenyataannya negara hanya sekadar regulator.
Di sisi lain beberapa
pihak menyangsikan penerapan opsi sekolah tatap muka yang cenderung prematur.
Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman, menurutnya bahwa, dari sisi
kondisi dan data epidemiologi saat ini, serta kriteria pelanggaran dari
organisasi kesehatan dunia (WHO), kriteria pembukaan sekolah ini belum
terpenuhi.
Senada dengan hal
tersebut, pakar kesehatan dari Pusat Kajian Lingkungan Hidup (PKLH) UNP dr.
Elsa Yuniarti, M. Biomed, AIFO-K, menyatakan “Saya lebih tertarik memberikan
pembelajaran secara tatap muka kepada siswa yang akan mengikuti ujian nasional
saja. Ingat, pada saat ini protokol kesehatan 3M belum menjadi budaya dan
kebiasaan bagi masyarakat kita. Saat ini saja, telah terjadi mutasi virus.
Jangan korbankan anak ketika kita tidak mampu mendampinginya dalam proses
pembelajaran secara daring”. (Dilansir, rakyatsumbar.id 28/12/2020)
Di lapangan kebijakan ini
cenderung kontroversial seperti tarik-ulur belajar tatap muka. Tentu saja hal
kontroversial ini menghabiskan waktu-waktu berharga dalam pengambilan
keputusan. Meski begitu, perlu digaris bawahi perlunya pemda, pihak sekolah dan
komite sekolah tetap memegang prinsip bahwa keselamatan anak didik tetap
menjadi prioritas.
Tak bisa dimungkiri pula,
opsi ini justru melahirkan simalakama stakeholder pendidikan. Apatah lagi,
orang tua siswa yang tak bisa menafikkan ancaman keberadaan wabah korona yang
kini bermutasi. Meski begitu orang tua anak yang bersangkutan harus tetap
memiliki keputusan BDR atau sekolah tatap muka.
Di kota Kendari diakui
pemda, Wali kota Kendari telah memberikan izin pada delapan sekolah yang lulus
verifikasi. Tiga diantaranya, SMP Frater, SMPN 19 dan SMPN 21 menjadi sekolah
percontohan atau uji coba Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Harap-harap cemas
tatkala beberapa pihak masih menyangsikannya.
Konsekuensi Sistem
Pendidikan Kapitalisme
Ancaman lost of learning
hingga lost of generation tengah menjadi kegamangan utama dunia pendidikan
kini. Sayangnya pandemi terkadang seolah menjadi alasan untuk kekhawatiran akan
ancaman kedua hal tersebut. Kenyataannya penerapan sistem pendidikan ala
kapitalisme memang sedari awal telah menggawangi dan pandemi hadir menjadi
validasinya.
Berdasarkan tujuan sistem
pendidikan di Indonesia menurut UU NO. 20 Tahun 2003 pasal 3 bahwa tujuan
pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional
yang amat mulia ini sayangnya tak sepadan dengan adopsi sistem pendidikan yang
kapitalistik untuk mewujudkannya. Sistem kapitalistik yang sefrekuensi dengan
sekularisme (ide pemisahan agama dari kehidupan) tentu saja hanya melahirkan
SDM yang materialistik.
Aib kasus korupsi anak
bangsa, dekadensi moral, LGBTIQ adalah produk dari kegamangan lost of
generation. Disisi lain, sulitnya pemerataan hak pendidikan masih menjadi
persoalan yang tak kunjung usai.
Kini masa pandemi
berlangsungnya aktifitas Belajar Dari Rumah (BDR) cenderung mempertegas
kesenjangan infrastruktur, mekanisme, hingga permasalahan kemasan muatan materi.
Hal seperti ini patut menjadi keadaan yang perlu dimuhasabahi setiap pihak
terkait. Bahwa hasil proyeksi yang tak proporsional dalam dunia sistem
pendidikan di Indonesia memang amat darurat untuk dievaluasi kembali.
Berbenah dengan Sistem
Pendidikan Islam
Islam sebagai petunjuk
jalan hidup seluruh manusia menuju kebaikan tak semata ajaran spritualitas.
Islam mampu hadir sebagai pengatur muamalah manusia. Allah SWT berfirman “Dan
tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
seluruh alam” (TQS. Al Anbiya [21]:107)
Meyakini sistem pendidikan Islam maka wajib
terikat dengan syariat Islam. Adapun mengenai aturan administratif, maka hal
ini bersifat umum dan kondisional. Negara dapat menerapkannya sesuai
perkembangan dengan tetap mengacu pada tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan yang mengatur manusia
dengan tsaqofah, syakhsiyyah & nafsiyyah Islam melahirkan generasi-generasi
yang takut akan melanggar hukum-hukum Allah SWT. Serta bervisi-misi besar
hingga ke ukhrawi bukan duniawi semata. Bukan untuk kepentingan kelompok,
apalagi demi individualitas.
Sistem pendidikan Islam memastikan belajar
tetap berjalan meski tidak di sekolah. Sebab, akidah Islam menjadi landasan
dalam menuntut ilmu. Ilmu bersifat praktik bukan teori. Standar hasil bukan
capaian akademik semata namun, pembentukan perilaku.
Dalam pengaturan sistem pendidikan Islam
negara sebagai pengelola langsung (operator) pelayanan pendidikan dan bukan
sebagai regulator. Negara bertanggung jawab penuh baik dalam memberikan
anggaran sesuai kebutuhan, menyediakan guru berkualitas, menyediakan sarana
prasarana tanpa bergantung pada pihak swasta.
Pembenahan dengan sistem pendidikan Islam
tak mampu berdiri sendiri untuk perbaikan SDM . Tentu saja sistem politik,
ekonomi, sosial dan keamanan negeri perlu saling berkelindan memelihara
tercapainya proyeksi SDM yang kaya akan ilmu dan adab. Wallahu ‘alam bisshawab.
Post a Comment