Konstruksi Peran Mahasiswa Dalam Arus Perubahan Bangsa

Oleh: Siva saskia

Masih ingatkah dalam benak kita, Tahun 1998 lalu tepatnya bulan mei terjadi suatu Gerakan reformasi dan tragedy trisakti hingga terjungkalnya kekuasaan presiden soeharto. Hal itu terjadi karena merupakan akumulasi kekecewaan dan penderitaan yang dirasakan masyarakat Indonesia selama kurang lebih 32 tahun. Dalam peristiwa tersebut, Mahasiswa memiliki peran besar dalam menggulingkan pemerintahan saat itu. (Jakarta.go.id, 01/01/2017). Namun Pasca reformasi, gerakan mahasiswa lebih banyak mati suri. Hal ini karena kesibukan kuliah, adanya kapitalisasi pendidikan, dan berbagai upaya depolitisasi dengan arus pemberdayaan ekonomi pemuda (ekonomi kreatif) cukup mengalihkan peran utama mahasiswa sebagai pengontrol kebijakan zalim penguasa. 

Berkaca ke belakang, pernyataan Jas Merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah, demikian kata Bung Karno dalam melihat pergerakan mahasiswa di Indonesia. Tahun 1966 menjadi penanda awal mahasiswa menjadi oposisi di era pemerintahan Soekarno. Lahirnya sejumlah organisasi kemahasiswaan menjadi motor penekan terhadap pemerintahan Soekarno. Sebagai organisasi katalis yang memperjuangkan perubahan, mahasiswa adalah representasi gerakan pemuda yang menjadi pengontrol kekuasaan saat itu. Peristiwa Tritura yang berisi pembubaran PKI, Perombakan kabinet Dwikora, dan penurunan harga pangan, lahir dari generasi awal gerakan mahasiswa yang memilih model gerakan di jalanan sebagai kekuatan penekan. Gerakan mahasiswa memiliki agenda utama kritik kebijakan hingga tumbangkan rezim sebagai puncak perjuangannya untuk membela kepentingan rakyat. Krisis ekonomi yang terjadi pada masa Orde Baru dengan meningkatnya harga kebutuhan pokok, isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) kemudian memicu lahirnya gerakan reformasi.

kezaliman semakin nyata dipampangkan rezim oligarki (penguasa sekaligus pengusaha) yang hendak melemahkan KPK demi melindungi para koruptor. Menjadi titik tolak bangkitnya kembali pergerakan mahasiswa. Aksi turun ke jalan dalam skala sangat luas dan masif, tidak hanya di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogya, tapi meluas sampai kota-kota kecil. (Kompas, 24/09/2019).

Dan 2020 ini, mahasiswa kembali membara akibat pengkhianatan rezim oligarki berupa pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker). Ketok palu UU Omnibus Law Cipta Kerja menyisakan polemik berkepanjangan. UU yang diusulkan Jokowi saat pidato pelantikannya ini awalnya bertujuan untuk menyederhanakan berbagai regulasi yang dinilai tumpang tindih. Pendekatan Omnibus Law dipakai untuk menghimpun dan mengintergrasikan 79 Undang-Undang yang berbeda. Dengan harapan, mampu mereformasi perizinan agar lebih sederhana, kemudahan investasi, dan memberikan dampak bagi penyerapan tenaga kerja serta pertumbuhan ekonomi. Di tengah kegagalan pemerintah RI menangani pandemi Covid-19, ada defisit APBN, pelemahan fiskal, kebakaran hutan, skandal Jiwasraya, defisit BPJS, harga-harga kebutuhan pokok terus melambung, ataupun daya beli masyarakat terus menurun.

Pergerakan turun jalan mahasiswa bersama elemen buruh menuntut cabut UU Ciptaker, alih-alih diperhatikan pemerintah, yang terjadi justru dihadapi oleh tindak represif aparat kepolisian. Banyak sekali kerugian yang ditimbulkan, seperti rusaknya fasilitas-fasilitas, korban-korban terluka berjatuhan hingga kasus adanya orang hilang. Aksi yang banyak menimbulkan korban dari kalangan mahasiswa, lagi-lagi berkutat pada tuntutan cabut kebijakan dan puncaknya turunkan rezim.

Dengan banyaknya pasal-pasal bermasalah sehingga munculnya penolakan publik terhadap UU ini sangatlah wajar, karena hal ini berdampak akan menguntungkan korporasi saja. Bukan hanya manusia, lingkungan pun bisa terdampak bila UU ini diterapkan. Sejumlah organisasi lingkungan ikut bersuara lantang menolak UU ini. Sebab, UU ini berpotensi mencelakakan lingkungan hidup. Beberapa pasal dalam UU yang bertujuan menjamin keselamatan lingkungan justru dihapus dengan dalih mempermudah investasi dan perizinan usaha. Pemerintah dinilai memberikan hak imunitas terhadap korporasi melalui UU ini. Dengan memberikan hak istimewa itu, apa yang dilakukan pemerintah mirip dengan masa kolonial Hindia Belanda di masa lalu. VOC mendapat hak istimewa mengeksploitasi sumber daya alam, sementara rakyat diperlakukan bak sapi perah. Ruang hidupnya terisolasi oleh penjajah.

Klaim pemerintah yang menyebut UU ini tidak melemahkan namun memperkuat hukum, hanyalah ilusi. Sebab bila dikaji lebih mendalam, UU ini tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan, akan tetapi Lebih banyak mudaratnya daripada maslahatnya.

Kenyataan kezaliman rezim penguasa dari masa ke masa, semakin blak-blakan berpihak pada kapitalis. Liberalisasi SDAE semakin kaffah dengan legalisasi kebijakan UU prokapitalis lokal, asing, maupun aseng. UU Ciptaker menjadi karpet merah kepentingan asing meskipun harus menggadaikan kedaulatan bangsa. Berdasarkan fakta di atas, muara pergerakan pemuda saat ini perlu dan mendesak untuk direevaluasi, mengapa sampai saat ini visi gerakan mereka tidak juga menampakkan hasil, bahkan terlihat kehilangan arah dan disorientasi.

Permasalahan bangsa ini adalah diterapkannya sistem kapitalisme dan demokrasi. Sistem ini telah melahirkan oligarki kekuasaan. Dampak yang terjadi ialah adanya tirani minoritas (pemilik modal) kepada mayoritas (rakyat). Jauh sebelum Omnibus Law digagas, sudah banyak UU yang dibuat Pemerintah dan DPR yang merugikan rakyat serta hanya menguntungkan segelintir penguasa dan pemilik modal. Semisal UU Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Penanaman Modal, dll. Melalui UU semacam inilah, para  modal swasta dan asing leluasa menguasai kekayaan alam negeri yang notabene milik rakyat, seperti minyak bumi, gas, emas, perak, hutan, lahan perkebunan, dll.

pergerakan pemuda harus diarahkan pada tujuan yang tidak pragmatis, melainkan perubahan fundamental dan sistemis. Oleh sebab itu, beberapa poin kritis perlu jadi bahan pertimbangan bagi gerakan pemuda saat ini untuk menyongsong kegemilangan dan kesuksesan perjuangan pemuda.  

Kegagalan gerakan yang dilakukan pemuda selama ini karena tidak paham sejarah terbentuknya negara Indonesia dan sistem pemerintahan demokrasi, lack of knowledge (Kurang ilmu dan pemahaman) Ideologi Islam dan sistem pemerintahan Khilafah. Tidak memahami metode perubahan sahih yang dicontohkan Rasulullah saw.

Selama ini, metode perubahan pergerakan mahasiswa tidak jelas dan membingungkan. Berbagai cara yang dilakukan pergerakan mahasiswa mulai dari mengkritik, masuk parlemen (jihad konstitusi), hingga aksi turun jalan (damai maupun anarkis), belum juga membuahkan hasil.

Faktual, sistem kapitalisme dan demokrasi terbukti gagal menyejahterakan. Saatnya mahasiswa dan para pemuda negeri ini mengkaji sistem alternatif yang mampu menjadi solusi problematik bangsa. Ketika kapitalisme telah gagal dan sosialisme-komunis meninggalkan luka menyayat, maka satu-satunya pilihan adalah Islam dengan sistem pemerintahannya yaitu Khilafah. Bahkan jika sistem ini kembali diterapkan, maka Allah SWT Maha Pencipta alam semesta sendiri yang menjanjikan keberkahannya. Oleh karenanya, jika menyadari agenda besar mahasiswa sebagai agen perubahan atau pembaharu, seyogianya gerakan mahasiswa segera melakukan refleksi dan reorientasi visi gerakan ideologis yang lebih terukur. Para aktivis pergerakan mahasiswa harus memahami kunci kebangkitan umat yaitu ideologi Islam dan sistem pemerintahan Khilafah sebagai metode penerapnya.
Wallohu ‘Alam Bi showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post