Mungkinkah Negara Digdaya, Zero Hutang Riba?

Oleh : Diana Wijayanti

Baru-baru ini, Menteri Keuangan (Menkeu)Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati menjadi sorotan publik. Menteri yang pernah dianugerahi sebagai Menteri Keuangan Terbaik Tahun 2018 di Asia Pasifik Timur itu, mengelak jika dirinya dianggap melakukan kesalahan dan membahayakan bangsa.

Menkeu menanggapi kritik tersebut dengan mengeluarkan statement, bahwa  "Semua Negara Islam di dunia juga berhutang, mau Saudi, UEA, Qatar, Tunisia, Maroko, Pakistan, Afganistan, Khazakhtan." Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI, 19 Juli 2020.(CNBC Indonesia)

Pernyataan ini, mempertegas bahwa kebijakan negara dengan terus menumpuk hutang riba itu sudah benar. Penguasa menganggap hutang, adalah keharusan untuk membangun negara, bukan membahayakan kedaulatan negara. Sehingga ketika banyak pihak debitur (IMF, Word Bank) menawarkan hutang, itu adalah kebanggaan bagi negara karena dianggap terpercaya untuk diberi hutang.

Kritikan pedas dilontarkan oleh utas (thread) Twitter Fadli Zon, yang menyinggung soal utang pemerintah yang dinilai sudah melampaui batas aman.

Dalam utas tersebut, ia mengatakan seharusnya pemerintah tidak berbangga diri dengan penerbitan utang global berdenominasi dolar AS sebesar US$ 4,3 miliar atau setara Rp 68,8 triliun (mengacu kurs Rp16 ribu) pada Selasa, 7 April lalu. Ia menilai para pejabat publik seharusnya memperbesar rasa malu lantaran utang membengkak.CNN Indonesia, Selasa (14/04/2020).

Senada dengan kritik diatas, Mantan Menko Bidang Perekonomian Rizal Ramli juga mengkritik langkah yang dilakukan pemerintah Presiden Joko Widodo untuk memperlebar defisit anggaran menjadi 5,07 persen. Dia menilai ini adalah tindakan gegabah. Ia menyarankan untuk "  Melakukan realokasi anggaran secara radikal, dibandingkan melebarkan defisit. Yakni menghentikan sementara semua proyek-proyek infrastruktur, termasuk pemindahan ibu kota baru," ujar Rizal Ramli, Selasa, 31 Maret 2020.Tempo.co.

Seolah tak mau menggubris masukan dan kritikan maka Menkeu tetap kekeh dengan pendiriannya untuk terus menumpuk hutang. Kenapa bisa demikian?

Apabila kita mengkaji lebih mendalam terkait sistem ekonomi yang diberlakukan di negeri +62, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa Sistem Ekonomi kita mengadopsi sistem ekonomi Kapitalisme yang berpijak pada asas sekulerisme. Dimana manusia diberi hak untuk menentukan apapun yang ia kehendaki, terbebas dari aturan agama.

Faktor yang menonjol dalam sistem ini adalah kebebasan kepemilikan, dalam memecahkan persoalan-persoalan ekonomi. Akibatnya, muncul pihak kuat, serakah, konglomerat dan korporasi yang mampu mengeruk kekayaan yang besar sementara rakyat tidak mendapatkan bagian dari kekayaan negara.

Korporasi inilah yang akhirnya mengendalikan negara untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Mereka mengendalikan Negara dengan hutang yang ditawarkan, disertai kesepakatan regulasi yang sangat menguntungkan korporasi tersebut. Lalu bagaimana negara mendapatkan kekayaan? 

Negara dituntut sebagai regulator saja yang tunduk pada korporasi sehingga kekayaan negara semakin berkurang. Untuk mencukupi kebutuhan negara, Kapitalisme membuat regulasi bahwa sumber pendapatan negara terbesar adalah dari pajak dan hutang riba.

Beginilah sistem ekonomi Kapitalisme, yaitu pertumpu pada pajak yang menyedot dari rakyat dan hutang kepada swasta asing dan aseng untuk mencukupi kebutuhan. 

Maka jelaslah bahwasanya hutang riba adalah suatu keniscayaan dalam sistem ekonomi Kapitalisme, tak akan pernah berubah selamanya. Bila mau lepas dari jeratan sistem bathil ini harus mencari sistem lain yang anti hutang riba.

*Menyikapi pernyataan Menkeu*

Tak selayaknya, Pejabat Publik menjadikan dalih 'Negara Islam' untuk membenarkan hutang riba. Karena Negara Islam (Khilafah Islam) belum ada di dunia, saat ini.

Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Tunisia, Maroko, Pakistan, Afganistan, Khazakhtan adalah negera yang berideologi Kapitalisme-Sekuler, meskipun mayoritas muslim.

Ini dinilai dari sudut pandang Islam. Merujuk pendapat Alim Ulama  Faqih fiddin dan seorang mujahid yaitu menurut pendapat Syeikh Taqiyuddin An Nabhani, beliau telah mendefinisikan Negara Islam dalam kitab Mafahim. 

Negara Islam adalah negara yang menerapkan Islam secara Kaffah, keamanannya di tangan kaum muslimin meskipun penduduknya mayoritas bukan muslim. Sementara Negara bukan Islam jika tidak diterapkan Islam secara kaffah dan keamanannya tidak ditangan kaum muslimin meskipun penduduknya mayoritas Islam.

Dengan definisi ini maka jelaslah bahwa saat ini Negara Islam (Khilafah Islamiyyah) itu belum ada, yang ada baru negeri muslim. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim, namun tidak diterapkan Syariah Islam secara kaffah dalam aturan masyarakatnya.

Oleh karena itu, perjuangan penegakan Negara Islam  yang sebenarnya harus terus dilakukan, agar kita bisa melihat penerapan Islam secara Kaffah dan menjadi negara Digdaya.

Sementara hutang riba, tentu antara sistem Kapitalisme dan sistem Islam berbeda memandangnya. Bila Kapitalisme menganggap hutang riba itu keharusan untuk membangun negara berbeda halnya dengan Islam memandangnya.

Islam sangat tegas dan jelas memerangi hutang Riba. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT :

ÙˆَØ£َØ­َÙ„َّ ٱللَّÙ‡ُ ٱلْبَÙŠْعَ ÙˆَØ­َرَّÙ…َ ٱلرِّبَÙˆٰا۟

"Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba".(QS Al Baqarah : 275)

Mengingat bahwa hutang riba itu haram maka, individu maupun negara dalam Islam tidak boleh melakukannya, Sanksi tegas harus dijatuhkan ke individu atau pejabat publik yang melakukan praktek riba, guna menjaga syariah Islam terus berlangsung.

Lalu bagaimana Negara bisa zero hutang riba?

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang merinci secara lengkap bagaimana individu maupun negara mendapatkan pendapatan yang sah dalam Islam. Harta dalam Islam hakikatnya milik Allah SWT, maka tidak boleh ada manusia dimuka bumi ini memiliki nya kecuali setelah mendapat idzin dari Allah SWT.

Apabila berkaitan dengan  negara maka dalam Islam Allah SWT telah memberikan hak bagi negara itu untuk memperoleh pendapatan diantaranya ada dalam tiga pos besar yang diizinkan Syara'.

Keuangan Khilafah dikenal dengan Baitul Mal. Ada tiga pos besar yang mampu menutupi seluruh kebutuhan warga negara, baik muslim maupun non muslim.

Pertama pos harta milik  negara, yaitu harta yang dimiliki oleh negara yang berasal dari pos fa'i, kharaj, usyur, jiziyah, harta berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya, harta tidak sah dari penguasa dan denda, khumus atas barang temuan dan barang tambang, harta yang tidak ada ahli warisnya, harta orang murtad dan pajak.

Kedua pos harta milik umum yaitu harta yang telah ditetapkan oleh Allah menjadi milik seluruh kaum muslimin.

Harta ini meliputi :
A. Sarana umum yang diperlukan kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari, seperti air, Padang rumput dan api. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda yang artinya" Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air, Padang rumput dan api" (HR Abu Daud).

B. Harta yang keadaan asalnya terlarang dimiliki oleh individu. Adapun contohnya adalah Mina,  jalan umum, terusan Suez, laut, sungai, danau telur, selat, lapangan umum dan masjid-masjid, rel kereta api, kabel dan tiang listrik, saluran air dan yang seterusnya.

C. Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas seperti tambang garam, tambang minyak bumi, batubara dan lain-lain.

Ketiga pos Zakat, selain dua pos besar diatas ada satu pos lagi yang juga menjadi pendapatan Baitul mal yaitu harta yang diperoleh dari Zakat. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh kaum muslimin yang memiliki harta dengan nishab tertentu dan mencapai haulnya. Harta ini hanya diperuntukkan untuk delapan ashnaf tidak boleh untuk keperluan yang lain.

Dengan sumber keuangan yang begitu besar, sebagaimana yang dijelaskan diatas maka negara tidak perlu mengemis pihak Asing maupun Aseng untuk memberikan hutang. Karena hutang adalah salah satu alat penjajahan modern, yang wajib ditolak.

Negara Islam yang memiliki kemakmuran luar biasa bisa dilihat dalam sejarah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, selama dua tahun beliau memerintah, tak ditemukan rakyatnya yang berhak menerima uang zakat, tak ada rakyatnya yang punya hutang dan tak terbayar, tak ada pemuda tidak menikah karena tidak ada uang, dan bahkan tak ditemui burung-burung yang kelaparan di musim dingin karena biji-bijian ditabur di bukit-bukit agar burung dapat hidup.

Keberhasilan Islam dalam menjamin Pendidikan, Kesehatan, keamanan serta kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan inipun diakui oleh Will Durant, seorang sejarawan Barat. 

Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, hal 151 menyampaikan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, dimana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Bila terbukti sistem Kapitalisme tak mampu mengurus keuangan negara, kenapa kita harus mempertahankannya?

Saatnya umat mengganti sistem bobrok ini dengan Sistem Islam yang diterapkan secara Kaffah dalam naungan Khilafah.

InsyaAllah Khilafah Islam akan tegak kembali, dengan idzin Allah SWT. Khilafah adalah Negara adidaya yang "Zero Hutang Riba".
Wallahu a'lam bishshawab.
Previous Post Next Post