Infrastruktur Ala Kapitalistik Bikin Belajar Daring Pelik

Oleh: Anggun Permatasari

Sejak virus covid-19 mewabah di Indonesia, kegiatan belajar mengajar (KBM) dilakukan secara daring. Bagi masyarakat ibu kota, memiliki dan berinteraksi dengan gawai merupakan hal biasa. Sayangnya, tidak demikian dengan masyarakat pedesaan atau rakyat berpenghasilan menengah ke bawah. KBM secara daring membutuhkan smartphone dan kuota internet. Namun, tidak semua masyarakat Indonesia memiliki smartphone dan wilayahnya terjangkau signal internet. (Media Indonesia.com., 24/07/2020) 

Mendikbud Nadiem pun mengakui penerapan sistem daring tidak semulus dugaan. Dia mengaku “kaget” bahwa banyak siswa tidak memiliki akses listrik dan sinyal internet memadai. Bahkan ada yang bilang tidak punya sinyal televisi dan tidak ada listrik. Katanya, pada acara peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020 yang disiarkan melalui kanal YouTube Kemendikbud (2/5),

Menurutnya, kondisi tersebut tidak terbayangkan bagi dirinya yang hidup di Jakarta. Dia pun menyadari bahwa pandemi ini kian menelanjangi ketimpangan yang mengakar di Indonesia. (Asumsi.co., 12/5/2020) 

Pembelajaran jarak jauh imbas pandemi menuntut sarana telekomunikasi dan ketersedian jaringan, memaksa puluhan juta peserta didik kehilangan hak nya. Saat ini, baik pihak sekolah, orang tua dan pemerintah masih maju mundur membuka sekolah seperti sedia kala. Pasalnya, panduan protokol kesiapan new normal masih sulit diterapkan oleh lebih dari separuh sekolah-sekolah di Indonesia.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melansir hasil survei kepada 1.656 responden sekolah dari 245 kabupaten/kota di Indonesia mengenai kesiapan tahun ajaran baru di masa pandemi. Di dalam surveinya 53,4 persen responden menjawab kendala terbesar sekolah adalah kesiapan sarana prasarana untuk penanganan covid-19. (Republika.id., 31/7/2020)

Selain itu, tentunya sumber dana merupakan kendala utama yang harus dipenuhi. Sebab, untuk menyediakan sarana prasarana kesehatan dan kebersihan di sekolah, memerlukan sumber dana yang cukup besar. Belum lagi sekolah harus membayar honor guru dan tenaga pembantu.

Benar yang dikatakan Mendikbud bahwa pandemi covid-19 semakin menelanjangi ketimpangan yang mengakar di Indonesia. Tidak hanya itu, kehadiran corona membuka mata publik akan ketidakbecusan pemerintah selama ini mengurus rakyat.

Pemerataan pembangunan dan ekonomi meroket yang selama ini diagung-agungkan seakan dimentahkan saat wabah datang. Jangankan jaringan internet, listrik sebagai kebutuhan dasar masyarakat kota besar masih belum merata dirasa manfaatnya.

Buktinya, berdasarkan data Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), masih ada 55.840 rumah di Banten yang belum teraliri listrik. Tahun ini, Pemprov Banten melalui Dinas ESDM mengalokasikan anggaran Rp8,57 miliar untuk mengaliri listrik ke rumah mereka. (Radar Banten, 30 Maret 2020)

Sebenarnya, bukan hanya jaringan yang akhirnya mengamputasi hak pelajar. Sarana prasarana sekolah tatap muka pun nyatanya masih jauh dari ideal. Di daerah terpencil anak-anak harus berjalan jauh melewati sawah dan sungai untuk bisa mencapai sekolah. Akses jalan yang terjal dan berbahaya kerap luput dari mata penguasa. 

Masih banyak gedung sekolah yang tidak layak namun masih digunakan untuk kegiatan KBM. Belum semua siswa bisa memiliki buku pelajaran yang memadai sebagai pendamping belajar. Sarana seperti perpustakaan, laboratorium dan kelengkapan bahan ajar juga masih jauh dari yang sepatutnya.

Padahal, setiap tahun pemerintah memberi jatah anggaran cukup besar untuk sektor pendidikan. Pada saat membuka Rakornas LKPP di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2019), Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa dalam APBN 2020 telah mengalokasikan dana sebesar Rp. 508 triliun untuk pendidikan. Jokowi meminta kementerian/lembaga hingga Pemda berhati-hati mengelola anggaran. (Detiknews.com., 6/11/2019)

Fakta di atas hendaknya mengetuk mata batin penguasa. Betapa infrastruktur yang ada saat ini belum menunjang sistem pendidikan. Baik tatap muka maupun daring. Pembangunan merata harus segera direalisasikan agar pendidikan yang berkualitas bisa dirasakan rata bagi seluruh siswa di Nusantara. 

Tapi, kebobrokan tersebut tidaklah aneh. Selama negeri ini masih memeluk erat sistem sekulerisme kapitalis, mutu pendidikan yang bagus tidak akan pernah terwujud. Sangat berbeda dengan sistem Islam/khilafah yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Pendidikan ditempatkan sebagai prioritas pembangunan dalam kondisi apa pun. 

Aturan Islam mewajibkan negara menyediakan pendidikan yang baik dan berkualitas secara gratis untuk seluruh rakyatnya. Sarana dan prasarana pendidikan seperti gedung sekolah, kampus, buku-buku pelajaran, laboratorium untuk keperluan pendidikan dan riset, serta tunjangan penghidupan yang layak baik bagi para pengajar maupun kepada para pelajar disiapkan oleh negara.

Philip K Hitti menulis dalam Sejarah Bangsa Arab bahwa Madrasah Nizamiyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu. Madrasah Nizamiyah menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang. Madrasah Nizamiyah merupakan perguruan pertama Islam yang menggunakan sistem sekolah. Artinya, dalam Madrasah Nizamiyah telah ditentukan waktu penerimaan siswa, kenaikan tingkat, dan juga ujian akhir kelulusan. (Republika.co.id., 11/8/2009) 

Selain itu, Madrasah Nizamiyah telah memiliki manajemen tersendiri dalam pengelolaan dana, punya fasilitas perpustakaan yang berisi lebih dari 6.000 judul buku laboratorium, dan beasiswa yang berprestasi.

Pada 1227 M terdapat Universitas Al-Mustansiriyah. Sekolah ini termasuk salah satu perguruan tinggi tertua dalam sejarah. dan diresmikan pada 1234 M. Gedung universitas yang dibangun Khalifah Al-Mustansir ini dilengkapi dengan beragam fasilitas kebutuhan pelajar, seperti dapur, tempat shalat, kamar tidur, dan tempat mandi. Bangunan universitas ini juga sempat dipugar oleh Sultan Abdul Aziz--Khalifah Turki Usmani--ketika kerajaan Islam yang berpusat di Turki itu menguasai Baghdad.

Dari uraian sejarah di atas jelas sistem Islam sangat memperhatikan infrastruktur sebagai sarana utama dan peninjang bagi pendidikan. Tapi tentunya sistem pendidikan yang unggul tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan sistem politik dan ekonomi yang handal. Dan sarana prasarana yang disediakan secara gratis dengan kurikulum pendidikan ideal hanya bisa di wujudkan dalam sistem Islam. Wallahu alam.
Previous Post Next Post