Kongres Sana-Sini Tapi Tak Kunjung Membuahkan Solusi

Oleh : Anggun Permatasari

Seketaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (KUII), Anwar Abbas mengatakan MUI akan menggelar Kongres Umat Islam ketujuh pada akhir Februari 2020.

Kongres tersebut akan mengangkat tema Strategi Perjuangan Umat Islam Indonesia untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Maju, Adil, dan Beradab.

Anwar menjelaskan tema tersebut sejalan dengan penilaian Pricewaterhousecoopers yang mengatakan Indonesia akan menjadi empat negara besar dalam produk domestik bruto.

Namun, Anwar menilai masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi untuk menjadikan Indonesia menjadi empat negara besar dunia. (Republika.co.id) 

Memang, sampai saat ini setumpuk permasalahan di Indonesia belum berjumpa dengan jalan keluarnya. Kemiskinan, kelaparan, pelecehan, penyimpangan orientasi seksual, kasus kenakalan remaja, harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, pendidikan, kesehatan dan kejahatan terus menggelayuti kehidupan rakyat Indonesia.

Berbagai muktamar, konferensi dan kongres-kongres seperti KUII digelar guna membahas jalan keluar dari persoalan tersebut. Faktanya, umat Islam masih terbelakang dalam segala hal.

Pada pemaparan FGD Pra Kongres Umat Islam Indonesia ke-7 yang diselenggarakan di Gedung MUI Pusat Jakarta. Pendiri Media Kernels Indonesia (Drone Emprit), Ismail Fahmi mengatakan bahwa narasi atau perbincangan yang hadir di media sosial Indonesia, khususnya twitter, menceminkan kondisi yang kurang sehat.  (VoaIslam.com)

Bertolak belakang dengan pernyataan beliau, saat ini netizen (sebutan pengguna media sosial) sudah mulai objektif dalam merespon isu-isu dan pemberitaan yang sedang booming di masyarakat. Masyarakat sudah bisa menilai bahwa media sosial merupakan sarana alternatif untuk mendapatkan berita yang netral dan mempunyai kecenderungan pada kenyataan dan kebenaran.

Bukan rahasia lagi kalau saat ini stasiun TV baik negeri maupun swasta lebih sering menyajikan konten yang jauh dari fakta sesungguhnya. 

Masih menurut pernyataan Ismail Fahmi, "Sekalipun tema ekonomi masih menjadi pembahasan paling menonjol, namun pembahasan mengenai khilafah dan radikalisme berada di posisi ke dua dan ke tiga sebelum disusul tema pendidikan. Ini mengindikasikan bahwa perbincangan umat tidak terlalu produktif."

Kongres sedianya akan berlangsung di Pangkalpinang. Dengan total peserta yang hadir ditargetkan mencapai 800 peserta ini akan membahas bagaimana peran besar umat Islam dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Dari pernyataan Ismail Fahmi di atas, perbincangan mengenai khilafah yang dikatakan mencerminkan kondisi yang kurang sehat dalam bersosialisasi di dunia maya dan mengindikasikan umat yang kurang produktif sungguh memprihatinkan. Pernyataan seperti itu, akan menyeret umat pada sikap moderat dan secara tidak langsung membawa umat terjebak pada pro-kontra khilafah. Kenyataannya, khilafah merupakan keniscayaan dan janji Allah swt. serta rasulNya. 

Bukankah sangat ganjil ketika sebuah Kongres yang mempunyai "tag line" utamanya adalah Umat Islam justru anti dengan pembahasan mengenai khilafah. Padahal, ulama yang duduk di struktur organisasi selevel MUI tentunya sangat mahfum tentang apa itu khilafah.

Bagaimana mungkin kaum intelektual yang harusnya memberi edukasi kepada masyarakat justru alergi terhadap khilafah? Sedangkan khilafah itu sendiri adalah ajaran Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw.

Pembahasan berkenaan khilafah justru harus dijadikan sebagaimana seharusnya umat Islam memandang setiap ajaran Islam. Umat Islam tidak boleh memilah-milah mana hukum yang disuka kemudian diambil layaknya makanan prasmanan. 

Ajaran khilafah tidak boleh dikriminalisasi bahkan harus diyakini sebagai sumber lahirnya solusi atas problem sistemik yang melanda negeri ini. 

Bagai menulis di atas air, Kongres atau pertemuan yang diselenggarakan penguasa baik dalam negeri maupun luar negeri seperti yang rutin dilakukan OKI (Organisasi Kerja sama Islam) tidak akan menghasilkan solusi praktis apabila para petinggi negeri dan ulamanya masih bersandar pada sistem ekonomi kapitalis liberal.

Lagipula, oin-poin yang dibahas dalam KUII masih seputar masalah cabang. Dikutip dari laman republika.co.id., Mendagri Tito Karnavian sangat mendukung KUII dan berharap program kedepannya bisa membina manusia beradab dan berakhlak mulia.

Anggota Wantim MUI, KH Hasan Abdullah Sahal turut memberikan masukan untuk KUII ke-7. Dia mengingatkan bahwa ada dua hal yang hilang dari semua pihak, yaitu uswah dan amanah. Organisasi masyarakat, organisasi politik, dan organisasi apa saja yang ada di Indonesia kehilangan uswah dan amanah. (Republika.co.id) 

Menurutnya, Uswah adalah keteladanan dan amanah adalah kejujuran. Kejujuran menjadi keteladanan dan keteladanan menjadi kejujuran. Inilah kelemahan semua unsur di masyarakat,"

Kiranya sangat tidak mungkin adab dan akhlak mulia akan dicapai apabila masyarakat masih berkubang dalam sistem yang rusak. Keteladanan, amanah dan kejujuran hanya dongeng-dongeng yang dibacakan penguasa sebagai pemanis pi

Urgensi KUII sebagai forum tokoh umat Islam sejatinya menjadi wadah yang akan mengarahkan orientasi umat. Maka, bahasan KUII semestinya adalah problem umat yang sangat mendasar dan erat berhubungan dengan masa depan Islam di negeri ini. Harus diingat bahwa segala masalah yang menimpa negeri ini diakibatkan tidak diterapkannya hukum Allah swt. secara sempurna.

Allah swt. berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 96:
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”

Sudah sangat jelas terlihat bahwa problem ekonomi, korupsi yang semakin menggurita dan bergesernya nilai-nilai akhlakul karimah adalah buah busuk sistem sekuler kapitalistik.

Post a Comment

Previous Post Next Post