Reuni Mujahid 212 : Gejolak Kerinduan Persatuan Umat

Oleh : Mahrita Julia Hapsari
Pegiat Literasi

Ada momen yang selalu dinanti umat muslim di akhir tahun. Bukan cairnya gaji ke-13 atau 14, bonus dan diskon akhir tahun, liburan semester dan cuti akhir tahun. Bukan itu semua, bukan perkara dunia. Momen ini adalah rihlah hati, recharge iman, serta meluaskan rasa ukhuwah Islamiyah. Momen itu adalah reuni mujahid 212.

Kesadaran beragama umat muslim Indonesia telah meningkat. Jika dulu kaum muslimin merasa cukup dengan ritual agama di ranah individu, kini tak cukup sampai di situ. Ada yang perlu dipikirkan dan dibela, tak bisa sekedar memikirkan urusan pribadi saja.

Allah Swt. sebaik-baik pembuat skenario. Tahun 2017, ketika mulut jamban, cagub DKI incumben, telah membangkitkan ghirah umat muslim untuk membela agamanya. Video penistaannya pada agama Islam terlanjur viral di jagat maya. Lidahnya keseleo dan berkata “Jangan mau dibohong-bohongi pakai Al-Maidah ayat 51”. Kata-kata itu telah menyentak kesadaran umat muslim setidaknya dalam dua hal. Pertama, Islam tak sekedar ibadah ritual, namun juga tentang memilih pemimpin. Kedua, pengakuan Islam tak cukup hanya di KTP, namun perlu pembuktian, salah satunya menjadi pembela Islam ketika Islam dinistakan.

Aksi 212 tahun 2017 tersebut dihadiri jutaan umat muslim dari segala penjuru tanah air. Beragam upaya dan cara dilakukan demi hadir di Monas dalam rangka menunjukkan pembelaannya terhadap Islam. Umat muslim melebur menjadi satu, tanpa ada satu pun sekat diantara mereka. Tak satupun gelar keduniaan yang dibawa di aksi 212. 

Yang pengusaha, direktur, tukang ojek, tukang becak, pemulung, pedangang asongan berlomba-lomba memberikan yang terbaik, pelayanan prima kepada jama’ah aksi 212. Yang profesor, guru, tukang sapu, pelajar pun tak mau ketinggalan dalam nuansa syahdu fastabiqul khairat di 212. Satu tuntutan mereka, si penista agama segera dihukum Dan vonis 2 tahun pun menjawab tuntutan umat. Yang paling telak adalah kekalahan si mulut jamban di pilkada. Inilah energi potensial umat.

Sejak tahun 2017 tersebut, geliat persatuan dan kebangkitan umat muslim seakan diasah oleh Allah. Umat muslim terus diuji dengan ketidakadilan dan kezaliman yang ditampakkan oleh rezim dan buzzer pendukungnya. Mereka seakan-akan berlomba menyakiti hati umat muslim. 
April 2018, sebuah puisi tak etis telah dibacakan oleh Sukmawati Soekarno Putri. Dengan gaya seolah lugu namun ngenyek, diakuinya bahwa dia tak tau syariat Islam. Namun yang dia tau suara kidung ibu Indonesia lebih merdu dari azan, konde lebih indah dari cadar. Sungguh perbandingan yang tak elok. Syariat Islam buatan Allah dibandingkannya dengan karya manusia yang penuh kekurangan dan kelemahan.

Umat muslim kembali terusik. Tuntutan  penjarakan Sukmawati ternyata kandas di tangan aparat yang tersandera tirani kuasa rezim. Sandiwara derai air mata dan mencium tangan ketua MUI pun menjadi tanda penyesalan Bu Sukmawati. Berharap umat muslim memaafkan dan melupakan puisi intoleran Bu Sukmawati.

Tak menunggu setahun, masih di 2018, sebuah ormas mengaku Islam namun kerap membubarkan pengajian, menyulut kemarahan umat. Pada upacara hari santri nasional, oknum ormas tersebut merebut bendera tauhid dari peserta upacara. Tanpa rasa bersalah serta sambil bernyanyi, mereka membakar bendera tauhid. Aksi pembakaran bendera tauhid tersebut divideo oleh mereka kemudian diunggah dan akhirnya viral di jagat maya. 

Sungguh skenario yang sangat apik dari Allah Swt. Aksi pembakaran tersebut menyadarkan umat muslimbahwa mereka memiliki bendera  persatuan. Bendera tauhid yang dulunya dikira bendera HTI, kini telah kembali pada pemiliknya yaitu umat muslim. Dengan penuh bangga jama’ah reuni 212 mengibarkan bendera tauhid berwarna-warni di aksi bela tauhid pada tahun 2018. 

Ar-Roya dan Al-Liwa raksasa berjalan di atas jama’ah. Balon udara bertuliskan kalimat tauhid pun membumbung tinggi di langit Jakarta. Alam pun syahdu, membasahi dahaga rindu bersatu di bawah bendera tauhid. Jumlah umat muslim yang hadir di reuni 212 tahun 2018 tersebut jauh melebihi dari tahun 2017.

Memasuki tahun 2019, tahun politik. Banyak hal yang terjadi. Kecurangan yang nyata di lapangan namun tak terbukti di persidangan semakin meluluhlantakkan kepercayaan umat muslim pada rezim. Apalagi saat oknum-oknum penista agama tak kunjung dipenjarakan. Laporan-laporan dari umat muslim dikacangin oleh aparat. Sebaliknya, laporan dari buzzer pendukung rezim justru ditanggapi secepat kilat. 

Para ustaz dan ulama ceramah hanya untuk memperkuat aqidah umat, tidak menghina agama lain, malah dipersekusi, dilaporkan dan ditangkap. Sementara Ade Armando yang mengatakan Al-Qur’an sumber ajaran terorisme dan radikalisme, masih aman-aman saja. Atau Abu janda yang senantiasa menistakan Islam berkali-kali pun masih bisa tertawa. Dan apa kabar Denny Siregar yang selalu nyinyir pada aksi persatuan umat muslim? Masih melenggang santai.

Penistaan itu terus berlanjut. Bahkan Sukmawati yang tahun lalu bersimbah air mata pun tak jera melakukan penghinaan terhadap Islam. Kali ini dia bandingkan Rasulullah saw. dengan presiden Soekarno. Pidato Sukmawati Soekarnoputri dalam acara “Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Teroris”, mengundang kontroversi. Simaklah cuplikannya, “sekarang saya mau tanya yang berjuang di abad 20 itu Nabi Yang Mulia Muhammad apa Insinyur Soekarno untuk kemerdekaan.”

Inilah pentingnya reuni 212. Sebab para penista agama masih terus bermunculan. Sistem demokrasi liberal tak memberi ketenangan hidup bagi kaum muslimin. Sistem ini pula yang mencetak penista agama dan berlindung dibalik jubah HAM. Dengan reuni 212, kita tunjukkan pembelaan terhadap agama. Di reuni 212 kita jalin ukhuwah, saling menguatkan dalam perjuangan menuju Islam kaffah, agar para penista tak mampu berucap lagi. Wallaahu a’lam.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post