BPJS, Narasi Kosong Jamin Kesehatan

Oleh : Hasrianti 
(Pemerhati remaja)

Sehat itu mahal. Doktrin ini selaras dengan rencana kenaikan iuran BPJS. Masyarakat sekali lagi harus mengelus dada menerima kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar 100 persen pada Januari 2020 mendatang. 
Keputusan tersebut mengundang kontroversi di masyarakat pada umumnya. Ditengah beban hidup yang kian berat, menaikan iuran BPJS bukanlah kebijakan yang tepat. BPJS kesehatan merupakan badan hukum yang dibentuk berdasarkan UU No. 24/ 2011 yang bertujuan untuk memberikan jaminan kesehatan nasional sebagaimana tertera dalam UU No. 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Terbentuknya BPJS pada 1 Januari 2014 lalu, secara otomatis menghilangkan fungsional dari Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes yang telah lama menjadi penyelenggara jaminan kesehatan. Seluruh peserta empat penyelenggara jaminan kesehatan tersebut secara otomatis akan menjadi peserta BPJS. Namun, dibalik terbentuknya BPJS masalah kesehatan di negeri ini bukan semakin membaik, justru yang terjadi sebaliknyakian memburuk.

Sebagaimana dilansir oleh www.kompas.com – Jakarta, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan 49 potensi fraud atau penipuan yang dilakukan baik oleh peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, BPJS sendiri, maupun penyedia obatnya. Perwakilan ICW Dewi Anggraeni mengatakan, sejak tahun 2017 pihaknya memantau banyak jenis fraud yang dilakukan dalam penyelenggaraan BPJS. Hasil temuannya di seluruh Indonesia hampir sama (13/10/2019).

Selain pelanggaran yang ditemukan ICW, hal yang yang mengejutkan ialah Sejumlah sanksi bakal dipersiapkan bagi penunggak iuran BPJS Kesehatan. Sanksi tersebut diantaranya tidak bisa mengakses layanan SIM, Paspor, IMB, STNK, dan Surat sertifikat tanah (www.tagar.id.com 12/10/2019).

Tak cukup hanya sanksi pemerintah juga bakal mengerahkan 3.200 orang penagih yang disebut kader JKN. Sementara itu, Sekretaris Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno meminta pihak asuransi plat merah tersebut  membuka data ke publik tentang proses penagihan dari kader JKN (www.bisnis.tempo.com 23/10/2019).

Sejak awal, BPJS ini berisi seperangkat konsep yang terlihat baik namun pada faktanya, BPJS adalah kebijakan zalim sekaligus bukti pemerintah yang lepas tangan dalam mengurusi kesehatan rakyatnya. Sebelumnya, kritik atas kebijakan ini telah dilontarkan berbagai pihak. Kritik ini ditujukan pada konsep yang dibangun BPJS yang aromanya ranumdengan bisnis komersial bidang kesehatan.

Kebijakan pemerintah yang terlihat seenaknya membuat kebijakan kepesertaan wajib bagi seluruh warga adalah sinyal bahwa konsep BPJS ini ditunggangi korporasi.Peserta BPJS hanya bisa berhenti membayar iuran hanya ketika data kematian atau meninggalnya peserta BPJS. Ironinya, BPJS juga memiliki wewenang memberlakukan sanksi berupa denda bagi peserta yang menunggak premi.

Andai saja kesehatan bisa diperoleh rakyat secara gratis, tentu rakyat tak akan pusing memikirkan biayanya. Namun, berharap kesehatan murah di sistem yang kapitalistik sekuler seperti sekarang, ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tidak mungkin !

Memberikan jaminan dan pelayanan kesehatan rakyat adalah kewajiban negara, bukan kewajiban pribadi atau kelompok masyarakat terlebih elit korporasi. Untuk itu, negara tak boleh abai terhadap kewajiban ini. Regulasi kesehatan melalui mekanisme BPJS ini bukan hanya bentuk pengkhianatan negara, tetapi juga bentuk kezaliman yang merupakan dampak karena negeri ini mengadopsi sistem kapitalisme.

Bersebab adanya prinsip komersialisasi pelayanan kesehatan pada masyarakat menjadi tidak maksimal. Disisi lain, tata kelola kesehatan dengan cara seperti ini hanya mengedepankan aspek kuratif, tetapi kurang berorientasi dalam aspek preventif. Alhasil, pelayanan kesehatan kian memprihatinkan. Konsep Indonesia sehat dan sejahtera pun, rasanya kian sulit diwujudkan.

Islam Menjamin Kesehatan
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki seperangkat aturan yang dapat memecahkan seluruh problematika umat, tak terkecuali soal jaminan kesehatan.
Keberhasilan peradaban Islam dahulu disebabkan paradigma mendasar yang benar dalam meriayah kesehatan. Sebagaimana, Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda,
 “Setiap dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab untuk orang-orang yang dipimpin. Jadi, penguasa adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya.” (Bukhari dan Muslim).
Negara bertanggung jawab untuk memenuhinya secara optimal agar terjangkau oleh masyarakat. Khalifah memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyat, termasuk urusan kesehatan. Hal ini sangat diperhatikan.

Negara tidak boleh menyerahkan urusan kesehatan pada lembaga asuransi seperti BPJS. Lembaga asuransi bertujuan mencetak untung, bukan melayani rakyat. Islam meletakan jurang antara kesehatan dengan kapitalisasi, sehingga kesehatan bisa diakses oleh seluruh rakyat.

Dalam Islam, memiliki tiga unsur sistem. Pertama, peraturan baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan secara administratif. Kedua, sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis, dan sarana prasarana kesehatan lainnya. Ketiga, sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana sistem kesehatan, yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya.

Sepanjang peradaban Islam dalam memenuhi kebutuhan rakyat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi, banyak didirikan institusi layanan kesehatan. Salah satunya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8.000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4.000 pasien.

Selain memperoleh perawatan, obat, dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama tujuh abad. Sekarang, rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qalawun.

Dananya diambil dari baitulmal yakni, pertama, dari harta zakat, sebab fakir atau miskin (orang tak mampu) berhak mendapat zakat. Kedua, dari harta milik negara baik fai’, ghanimah, jizyah, ‘usyur, kharaj, khumus rikaz, harta ghulul pejabat dan aparat. Ketiga, dari harta milik umum seperti hutan, kekayaan alam dan barang tambang. Jika semua itu belum cukup, barulah negara boleh memungut pajak (dharibah) hanya dari laki-laki muslim dewasa yang kaya.

Demikianlah Islam melakukan peyalanan dalam aspek kesehatan secara tuntas tanpa adanya pungutan maupun asuransi seperti BPJS.  Hanya solusi Islam ini akan efektif mengatasi polemik BPJS Kesehatan. 
Wallahu a’lam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post