Pajak Dikejar, Rakyat Tak Bisa Menghindar



Penulis: Eva Rahmawati 
Komunitas Penulis Bela Islam

"Bayar Pajak Semudah Isi Pulsa", sebuah tagline yang sedang digalakkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hal ini dilakukan demi mendorong kesadaran wajib pajak. Ide tagline tersebut datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani yang muncul lewat pengalaman pribadi bersama keluarganya. Diceritakan saat sedang makan bersama, salah satu anggota keluarga membutuhkan pulsa, dalam hitungan detik pengisian pulsa berhasil dilakukan. Dengan melihat kemudahan tersebut, Sri Mulyani berpikir untuk menerapkannya dalam dunia perpajakan.

Ide tersebut langsung direalisasikannya, dengan melibatkan Ditjen Pajak bersama e-commerce seperti Tokopedia untuk mempermudah pembayaran pajak. "Nah sekarang ini jadi tagline membayar pajak semudah beli pulsa dan kita sekarang sudah kerja sama nanti dengan Tokopedia dan lainnya. Mereka akan melakukan jadi channel bayar pajak. Artinya willing to mengadopsi teknologi, mengubah bisnis proses, menciptakan momentum untuk menggunakan itu," ungkap Sri Mulyani. (detik.com, 2/8/19)

Di samping itu, Indonesia saat ini sudah ikut dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Dari situ negara-negara yang tergabung di dalamnya akan mendapatkan data informasi perpajakan secara otomatis. Oleh karena itu, Sri Mulyani memperingatkan wajib pajak bahwa mereka tak bisa lagi menghindarkan diri dari kewajibannya. Ditjen Pajak kini bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan.

Menurutnya saat ini ada sekitar 47 juta transaksi yang dilaporkan dalam pertukaran data perpajakan. Nilai harta yang dilaporkan bahkan mencapai ribuan triliun. Oleh karena itu, saat ini bagi pemilik harta banyak akan sulit menyembunyikan hartanya demi menghindari pajak. Bahkan upaya seperti pengakalan pajak seperti tax avoidance dan tax evasion tidak akan mempan dilakukan. 

"Jadi anda mau pindah nggak jadi ke bank tapi ke insurance ya tetap akan laporin. Kalau mau ya gali aja sumur di belakang rumah taruh duitnya di situ. Oh masih ada yang seperti itu? nanti saya pakai drone cari di situ," tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu. (detik.com, 2/8/19)

Langkah-langkah tersebut ditempuh pemerintah untuk menggenjot pendapatan dari sektor pajak yang dari tahun ke tahun selalu rendah. Untuk diketahui, pendapatan negara di semester I-2019 baru sebesar Rp 898,76 triliun atau 41,5% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan kali ini hampir seluruh pos pada pendapatan negara tercatat mengalami penurunan tingkat realisasi terhadap target. 

Hal yang paling menjadi perhatian adalah realisasi penerimaan perpajakan yang baru sebesar 38,6% pada semester I-2019. Pos pajak penghasilan (PPh) yang seharusnya menjadi penyumbang terbesar penerimaan perpajakan juga tercatat baru sebesar Rp 376,32 triliun atau 42,07% dari target APBN. Selain itu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) malah mencatatkan pertumbuhan negatif alias terkontraksi sebesar 2,9%. Kementerian Keuangan mengklaim hal tersebut disebabkan adanya peningkatan restitusi. (cbncindonesia.com, 17/7/19)

Sebagai informasi PPh dan PPN merupakan dua komponen terbesar dalam penerimaan pajak, yang mana akan berpengaruh signifikan terhadap total pendapatan negara. Jika penerimaan perpajakan lesu, maka total pendapatan negara terancam. Padahal, hampir 80% dari total anggaran Indonesia masih dibiayai dari pajak. Wajar jika pemerintah terkesan terus mengejar wajib pajak untuk segera membayarkan pajaknya. 

Pemerintah juga terus menambah pos-pos mana saja yang bisa dipajakin. Bahkan, di Palembang pembelian nasi bungkus dan empek-empek dikenai pajak. Pemungutan pajak ini didasari Perda Nomor 84/2018 tentang pemungutan pajak restoran sebesar 10%. Pajak ini dikenakan bagi masyarakat yang makan di tempat ataupun dibungkus atau take away. Sampai-sampai dipasang alat tapping-box di restoran dan rumah makan untuk memantau dan menarik pajak.

Harta kekayaan, penghasilan, usaha baik offline maupun online, dari urusan perut hingga pemakaman semua dikenai pajak. Hal ini membuktikan bahwa sistem ekonomi liberal lah yang 'bermain' dalam kebijakan ekonomi negeri ini. Dalam perspektif sistem ekonomi liberal, pajak dan hutang menjadi sumber utama APBN dalam pembangunan ekonomi. Maka menjadi wajar jika semuanya dipajakin. Alhasil hidup rakyat semakin sulit dengan aturan pajak yang membebani. Kembali rakyat menjadi korban. 

Berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang mengandalkan pajak dan utang sebagai penopang pembangunan ekonomi negara atau APBN. Dalam sistem Islam sumber pendapatan bukan dari pajak apalagi dari hutang riba, melainkan dari tiga sumber, yaitu:

Pertama, pengelolaan negara atas kepemilikan umum.
Dalam sistem ekonomi Islam, Sumber Daya Alam seperti kekayaan hutan, minyak, gas dan barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum (rakyat). Wajib dikelola negara dan hasilnya merupakan sumber utama pendanaan negara. Negara melarang individu maupun kelompok/swasta baik lokal maupun asing untuk memilikinya. Potensi SDA di negeri ini sangat berlimpah, jika benar-benar dikelola oleh negara sesuai dengan syariah Islam dapat dipastikan APBN surplus dan rakyat tak lagi dibebani dengan pajak. 

Kedua, pengelolaan fa'i, kharaj, ghanimah dan jizyah serta harta milik negara.

Ketiga, harta zakat.

Pengelolaan sumber pendapatan tersebut akan masuk ke baitul mal. Yang nantinya dapat digunakan untuk menyelenggarakan pemeliharaan urusan umat. Penarikan pajak (dharibah) hanya diberlakukan ketika kondisi baitul mal kosong atau tidak cukup untuk memenuhi urusan umat. Hanya saja negara tidak boleh mewajibkan pajak tidak langsung seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak jual beli, dan sebagainya, sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalisme.

Dengan demikian hanya dalam sistem Islam rakyat hidup sejahtera tanpa dikejar-kejar pajak. Hal ini sudah terbukti secara historis selama 1400 tahun. Sungguh, hanya dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah terwujudlah rahmatan lil 'alamin. Sudah saatnya umat kembali melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakkan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Semuanya hanya bisa terlaksana di bawah naungan khilafah 'ala minhajjin nubuwwah.
   
 Wallahu a'lam bishshowab.
Previous Post Next Post