Menampik Isu Radikalisme di Perguruan Tinggi

Oleh : Sitti Nurlyanti Sanwar
(Mahasiswa Pasca Sarjana Hukum Kesehatan)

Isu radikalisme tampil kembali dimimbar perguruan tinggi negeri. Bila menelisik radikalisme adalah isu masa lalu yang kembali digaungkan di negeri ini. 

Radikal dan radikalisme memiliki perbedaan. Radikal diambil dari bahasa Latin yakni radix yang berarti ‘akar’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal memiliki arti : mendasar (sampai pada hal prinsip): sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan): maju dalam berpikir dan bertindak. 

Baru-baru ini, Kementerian riset teknologi dan pendidikan tinggi (Kemenristedikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Hal ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi (Republika.co.id).

 Selain itu, Kemenristedikti akan bekerja dengan BNPT dan BIN terkait penjagaan kampus. Apabila ada mahasiswa yang terdeteksi melakukan radikalisme ataupun intoleransi maka akan diberi edukasi. 

Sejatinya frame radikalisme dan intoleransi digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti mahasiswa, dosen atau civitis kampus. Anehnya sebutan radikalisme dan intoleran hanya disematkan kepada umat Islam bukan   yang lain. Sangat miris ketika ada individu, kelompok atau ormas yang ingin mengkaji tentang khilafah lebih dalam lagi serta menginginkan penerapan peraturan yang shohih dicap radikalisme. Bukti nyata Islamphobia telah menyerbak di negeri mayoritas Islam.

Lebih parahnya lagi,  “Kemenristedikti membolehkan adanya pengkajian marxisme dan LGBT dengan syarat pengkajian tersebut dilakukan di dalam ranah akademik, dilakukan secara terbuka, dosen dan pembina mahasiswa harus ada di dalamnya” ujar Nasir (tirto.id/27/7/2019).
Padahal mengkaji paham marxisme suatu tindakan yang tidak diperbolehkan karena menyangkut aqidah umat. Meskipun diperbolehkan untuk dikaji dalam lingkungan kampus namun dikawatirkan paham ini dapat menyebar dilingkungan kampus jika tidak dilakukan pengawasan.  
Sekalipun kajian radikalisme dan intoleran diperbolehkan, tetapi hanya dalam lingkungan kampus saja, tidak boleh dibawa keluar kampus. Sebuah kebiasan dan pengkaburan berpikir dari seorang intelektual. 

Isu radikalisme menjadi sasaran empuk di civitas kampus untuk mendiskritkan khifalah yang semakin menggema. Miris ketika hal tersebut dilakukan yang mengakui dirinya muslim tapi menolak khilafah. Padahal khilafah adalah ajaran Islam dan itu telah disepakati oleh empat mazhab.

Hal ini terjadi disebabkan ideologi yang masih ‘dipeluk’ dengan cinta yang fana yakni ideologi kapitalis sekuler (memisahkan kehidupan dan agama) dimana ideologi kapitalis akan terus melancarkan hegemoninya untuk melenyapkan kebangkitan Islam. Barat sebagai ibu kandung dari ideologi kapitalis tidak akan pernah ridho dengan persatuan umat Islam, hanya menjadikan umat menjauh dari agamanya. Berbuat sesuka hati menuruti hawa nafsu karena telah terbuai oleh harta dan tahta yang semu. Kerusakan, kedzoliman, ketidakadilan akan terus terjadi serta tidak menjadikan umat taqwa.

Berbeda halnya dengan Islam, Islam bukan sekedar agama ritual tetapi lebih dari itu, Islam  adalah mabda atau ideologi yang mengatur segala lini kehidupan umat, akan menjadikan umat bertaqwa dan taat pada aturan yang telah tetapkan sehingga Allah akan memberikan keberkahan, sebagaimana  dalam firman Allah 
Allah SWT berfirman, "Jika sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf: 96). 

Oleh karena itu, mengkaji Islam bukanlah bentuk radikalisme, tetapi kewajiban sebagai bentuk konsekuensi aqidah Islam yang kita yakini kebenarannya, serta bentuk ketaatan umat kepada Sang Pencipta bahkan wajib untuk diterapkan dalam kehidupan.
Previous Post Next Post