UKT Tak Sesuai Pendapatan, Bukti Negara Abai pada Pendidikan

Oleh : Vega Rahmatika Fahra

Tahun ajaran baru dimulai, pertanda anak-anak usia sekolah dan juga mahasiswa untuk kembali memasuki bangku sekolah dan perkuliahan. Bagi mahasiswa yang baru menyelami kehidupan kampus sungguh bahagia jika bisa diterima di Perguruan Tinggi Negri ataupun Swasta, apalagi itu adalah Perguruan Tinggi favorit yang diminati banyak orang.

Tapi nyatanya kebahagiaan itu tidak bisa dinikmati oleh semua kalangan yang menginginkan pendidikan tinggi dan terbaik, karena terkendala oleh biaya UKT yang mahal.

Seperti uang kuliah di Unmul, Tahun 2019 Unmul telah menetapkan lima fakultas yang boleh menarik uang pangkal. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana. Di Fakultas Perikanan ditarik Rp 10 juta. Fakultas Farmasi dari Rp 30 juta hingga Rp 75 juta. Fakultas Kesmas Rp 20 juta, Fakultas Pertanian Rp 2,5 juta dan terakhir yang paling mahal Fakultas Kedokteran dari Rp 150 juta untuk golongan I, Rp 200 juta golongan II dan golongan III Rp 250 juta. (JawaPos.com, 19/07/2019)

Sejak sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) menerapkan sistem uang kuliah tunggal (UKT), tak sedikit orang tua dan/atau mahasiswa mengaku sangat terbebani. Sebagian mengaku jumlah UKT yang harus dibayar setiap semester tidak sebanding dengan penghasilan atau gaji yang diperoleh. Terlebih, penetapan UKT tidak didahului proses wawancara dan survei ke rumah para mahasiswa. (HarianHaluan.com, 13/02/2019)

Sepintas lalu, kebijakan UKT yang diterapkan kepada setiap Mahasiswa, seolah-olah telah memberikan hak yang sama dalam urusan memeroleh pendidikan dan pengajaran melalui PTN. Sebab penentuan uang kuliah diukur berdasarkan kemampuan ekonomi atau penghasilan orang tua mahasiswa. Jadi, mahasiswa yang kaya diwajibkan membayar uang kuliah dalam standar “mahal”. Sedangkan mahasiswa yang miskin membayar uang kuliah secukupnya, kalau memungkinkan bahkan “digratiskan” dari uang Kuliah Tunggal.

Namun kenyataannya yang terjadi, mahasiswa yang miskin harus membayar UKT yang tidak sesuai dengan pendapatan orang tua, sehingga banyak mahasiswa miskin yang tidak jadi melanjutkan kuliah.

Seperti pada sebuah rekaman yang viral diunggah oleh akun Twitter @ajemikk  tampak seorang pria paruh baya berjalan keluar sebuah gedung kampus. Pria yang menggandeng perempuan berhijab ini tampak menghapus air mata di wajahnya. orangtua ini menangis setelah mengetahui UKT anaknya yang tidak sesuai dengan pendapatan sehari-hari. Dengan keputusan tersebut, kemungkinan anaknya untuk melanjutkan pendidikan di bangku kuliah bisa saja terhenti. (Brilio.net, 19/07/2019)

Melepaskan Tanggung Jawab

“Orang miskin dilarang sekolah,” begitulah jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa.

Pemerintah yang semestinya bertindak sebagai pengayom telah berubah fungsi menjadi musuh yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.

Islam Menjamin Pendidikan

Berbeda dengan kapitalisme, dalan Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara.

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan “iwan” (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.

Dengan Islam, rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Sedangkan melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau paling tidak murah bagi rakyat.

Jelas bahwa pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup.

Yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya, yaitu pemerintahan Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah.
Previous Post Next Post