Perbaikan Kualitas Pendidikan dengan Sistem Zonasi, Mungkinkah?

Oleh : Elin Nurlina 

Awal tahun ajaran baru di dunia pendidikan sedang mengalami kekisruhan. Para orang tua melakukan gelombang protes terhadap kebijakan sistem zonasi PPDB 2019 yang dikeluarkan Kemendikbud. Bagaimana tidak, kebijakan tersebut sangat membuat orang tua kebingungan. Beberapa waktu kemarin bahkan ada seorang ibu ada yang menangis menahan kecewa karena anaknya yang berprestasi tidak dapat masuk ke sekolah unggulan yang diinginkan. Hal ini diperparah dengan peristiwa pembakaran belasan piagam prestasi yang dilakukan oleh seorang siswa di Pekalongan. Katanya untuk pemerataan pendidikan, namun nyatanya sekolah-sekolah negeri yang unggulan karena memiliki infrastruktur dan fasilitas yang bagus kini hanya bisa dinikmati oleh penduduk yang memiliki KK sesuai domisili sekolahnya. Sementara, siswa yang bertetanggaan dengan sekolah tersebut, meski memiliki setumpuk prestasi dan rumahnya berdekatan dengan sekolah tidak dapat masuk ke sekolah tersebut hanya karena alamat yang tertera dengan KK berbeda dengan alamat sekolah tersebut. Mereka dipaksa untuk legowo untuk masuk ke sekolah terdekat, meski secara fasilitas dan kualitas tidak layak.
Belum berhenti sampai di situ, sistem zonasi telah meninggalkan wilayah-wilayah yang blank, yang di sana tidak ada sekolah yang layak untuk menjadi tempat menuntut ilmu. Mereka seperti anak haram yang tidak diinginkan, di sana tidak diterima, disinipun nasibnya tak jauh beda. Bayangkan betapa sedih dan kecewanya mereka. Akibatnya sekolah ada yang minus murid ada juga yang membludak, siswa jadi depresi karena tidak bisa masuk ke sekolah yang diinginkan, permainan KK,semua itu terjadi adalah fakta miris seputar penerapan sistem zonasi. 

Menurut Ombudsman, lemahnya penerapan sistem zonasi adalah kurangnya sosialisasi terkait penerapan sistem zonasi. Ombudsman juga mengungkapkan bahwa Kemendikbud dan dinas pendidikan kurang gencar dalam mensosialisasikan Permendikbud yang baru sehingga menimbulkan kesalahpahaman. Bukan hanya itu,Kemendikbud kurang berkoordinasi dengan Kemendagri dalam penerapan sistem zonasi. 

Pemerintah semula bermaksud menjadikan pendidikan di Indonesia agar lebih merata, bahwa tidak lagi ada istilah sekolah unggulan dan sekolah biasa. Hal ini dilakukan untuk menepis jurang kesenjangan antara sekolah biasa dengan sekolah unggulan. Namun, mimpi tinggalah mimpi. Maksud hati mengatasi masalah kesenjangan pendidikan, namun tidak didukung dengan itikad baik untuk menyamaratakan kualitas baik dari sisi SDM pengajar, infrastruktur dan fasilitas pendidikan. Sehingga, hasilnya malah menimbulkan masalah baru. Bila diperhatikan kebijakan tersebut membuktikan bahwa penguasa tak bijak dalam mengatasi problem pendidikan karena tak menyentuh akar masalahnya. Malahan masyarakat dipaksa untuk mendukung kebijakan sistem zonasi tersebut dengan alasan kebijakan di buat sebagai bagian dari penguatan demokrasi dan keadilan untuk pendidikan. 

Di luar soal kurikulum, akar problem pendidikan adalah pemerataan yang timpang baik bidang infrastruktur maupun suprastrukturnya. Ini menjadikan para orangtuanya lebih selektif memilah dan memilih kualitas sekolah. Setiap orangtua berhak memilih sekolah terbaik untuk anak-anaknya, di tengah mahalnya sekolah-sekolah swasta yang berkualitas. Pilihan para orangtua yang pas-pasan menjadi lebih sedikit saat ini. Seandainya pemerintah menyadari akar masalahnya dimana maka solusinya adalah memperbaiki paradigma pendidikan dan implementasinya. 

Demikianlah kalau penerapan sistem pendidikan jika ditopang dengan kekuatan ekonomi kapitalistik dan sistem politik sekuler demokrasi akan sulit diwujudkan sistem pendidikan yang ideal. Berbeda halnya, seandainya penerapan sistem pendidikan di negeri ini dijalankan dengan aturan Islam, maka tidak mustahil sistem pendidikan yang ideal bisa terwujud. Buktinya pada masa-masa masa kejayaan Islam, sistem pendidikan yang dijalankan mampu mewujudkan pendidikan yang adil merata dengan output generasi paripurna. Sebab dalam Islam, sistem pendidikan begitu diperhatikan. Mulai dari asas dan kurikulum pendidikan harus berlandaskan akidah islam, tujuan dan metode pendidikannya bagaimana, pengajaran tsaqofah dan ilmu pengetahuan diberlakukan di semua jenjang pendidikan, biaya pendidikan ditanggung negara, sarana dan prasarana pendidikan juga disediakan. 

Khusus dalam hal kualitas sekolah, dijamin semua sekolah akan merata. Sehingga orangtua tidak akan lagi bingung memikirkan sekolah mana yang terbaik untuk anak-anaknya. Selain gratis kualitasnya tidak diragukan lagi. Fasilitas apapun yang menunjang proses pendidikan ideal, maka penguasa akan menyediakannya. Dananya ? tentu saja ini sudah dipikirkan oleh penguasa. Pengelolaan sumberdaya alam yang melimpah tidak akan dikelola oleh swasta, Pemerintah akan mengambil alih dan mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat, termasuk pendidikan. Saat ini, kekayaan alam kita dijarah, dan kita sebagai empunya tak mendapatkan apapun. Pendidikan berkualitas memang mahal, tapi penguasalah yang menyediakan dananya. Disamping memenuhi hak pendidikan bagian dari kewajiban yang Allah bebankan, selain itu, memberikan pendidikan terbaik adalah untuk memastikan kemajuan dan kebangkitan suatu bangsa. Investasi yang tidak pernah akan merugi adalah investasi pendidikan, mencetak generasi tangguh yang taqwa dan menguasai sains dan teknologi. Jika mereka sudah begitu, tinggal tunggu saja, negara dengan kualitas pendidikan mumpuni akan melesatkan negara tersebut kepada peradaban tinggi dan mulia, meninggalkan negara-negara lain. Karya emas akan ditorehkan lewat tangan-tangan mungil mereka, ini sudah dibuktikan oleh peradaban Islam yang meroket jauh selama belasan abad. 

Oleh karena itu, bila menginginkan kemajuan kualitas pendidikan secara merata maka harus dengan suatu model pendidikan yang baik dan benar. Tentu aturan Islam lah sebagai satu satunya solusi.yaitu dengan menerapkan Islam secara kaffah. 
Wallohu'alaam bishshowwab.
Previous Post Next Post