Waspada, Isu KKG Di Balik Peringatan Hari Keluarga

Oleh : Djumriah Lina Johan
(Founder dan Owner PAUD Islam Qurrota A’yun)

Ada udang di balik batu, ialah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan peringatan Hari Keluarga baik nasional yang jatuh pada tanggal 29 Juni maupun internasional yang diperingati 15 Mei yang lalu. Sebab, ditengarai peringatan Hari Keluarga dijadikan momentum menderaskan paham keadilan dan kesetaraan gender (KKG).

Dilansir dari Fajar.co.id, pada Selasa (5/2/2019) tanggal 29 Juni mendatang bangsa Indonesia akan kembali  memperingati Hari Keluarga Nasional atau Harganas. Ini merupakan peringatan yang ke-26 kali sejak Harganas diselenggarakan pertama kali tahun 1993.

Mengambil lokasi di Kota Banjarbaru, puncak peringatan Harganas XXVI Tahun 2019 secara nasional akan digelar pada awal Juli 2019. Tema Harganas 2019 adalah “Hari Keluarga, Hari Kita Semua”, dengan slogan “Cinta Keluarga, Cinta Terencana”.

Berbagai kegiatan akan digelar dalam mewarnai peringatan Harganas, baik pra puncak peringatan maupun pasca acara. Di antaranya Festival  Penggalang Ceria, GenRe Edu Camp, One Stop Service pelayanan untuk anak anak, One Day for Children untuk anak-anak terlantar. Dan beberapa kegiatan seminar di antaranya tentang kependudukan dan perkawinan anak yang mencapai 30 persen di Kalimantan Selatan hingga lomba pencegahan perkawinan anak. Selain itu, untuk meningkatkan kesertaan peserta KB jangka panjang, diadakan pelayanan KB gratis untuk pasangan usia subur. Gelanggang dagang juga ikut digelar, dengan menghadirkan kelompok UPPKS dan UMKM, dengan diikuti ratusan unit Usaha Kecil Menengah (UKM).

Adapun tujuan dari peringatan Harganas adalah meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat terhadap pentingnya keluarga kecil, bahagia dan sejahtera dalam kerangka ketahanan keluarga. Meningkatkan pemahaman masyarakat dalam penerapan delapan fungsi keluarga yakni agama, cinta kasih, perlindungan, ekonomi, pendidikan, reproduksi, sosial dan budaya serta lingkungan. Mewujudkan penerapan empat pendekatan ketahanan keluarga yakni keluarga berkumpul, keluarga berinteraksi, keluarga berdaya serta keluarga peduli dan berbagi.

Disadur dari UNWomen.org, perempuan PBB meluncurkan laporan utama dengan judul Kemajuan Perempuan Dunia 2019: Keluarga di Dunia yang Berubah. Progress of the World's Women edisi 2019 adalah penilaian luas terhadap realitas keluarga saat ini, dengan mempertimbangkan transformasi ekonomi, demografis, politik dan sosial. Laporan ini menyatukan data global, regional dan nasional, dan analisis mendalam tentang isu-isu inti yang menjadi perhatian, termasuk undang-undang keluarga, pendapatan dan pekerjaan, pekerjaan perawatan yang tidak dibayar, kekerasan terhadap perempuan, dan keluarga dan migrasi, antara lain.

Laporan tengara ini mengusulkan agenda komprehensif untuk hukum, kebijakan ekonomi dan sosial, dan tindakan publik untuk memastikan kesetaraan gender dalam keluarga dan untuk mempercepat hak dan pemberdayaan perempuan, yang menguntungkan kita semua.

Hal ini dilatarbelakangi seri laporan Kemajuan Perempuan Dunia, penyelidikan tematis berkala tentang hak-hak perempuan dengan tujuh edisi sejak tahun 2000, berupaya memacu perubahan dalam undang-undang, kebijakan dan program di tingkat global, regional dan nasional, menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi perempuan dan anak perempuan untuk menyadari hak mereka. Laporan ini menyediakan data resmi, analisis pakar dan rekomendasi kebijakan untuk mewujudkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.

Laporan ini akan mencakup lembar fakta regional yang luas dan kisah-kisah perubahan yang menampilkan inisiatif masyarakat sipil di berbagai negara, bersama dengan tujuh set data yang dapat diunduh oleh jurnalis. Ini termasuk data baru tentang komposisi rumah tangga dan partisipasi angkatan kerja.

Ringkasan eksekutif dan lembar fakta laporan akan tersedia dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Spanyol. Peluncuran Progress of the Women World 2019 bertepatan dengan kampanye “Persamaan Generasi Perempuan PBB: Mewujudkan hak-hak perempuan untuk masa depan yang sama” - menandai peringatan 25 tahun Deklarasi Beijing dan Platform Aksi tahun 1995, yang dianggap sebagai salah satu dari agenda paling visioner untuk pemberdayaan perempuan dan anak perempuan, dimana-mana. Sejak saat itu, meskipun ada beberapa kemajuan, perubahan nyata lambat bagi mayoritas wanita dan anak perempuan di dunia. Namun, rekomendasi yang diajukan dalam Progress of the World's Women menunjukkan bahwa campuran hukum, kebijakan, dan tindakan publik dapat membawa perubahan dan menggerakkan jarum pada kesetaraan.

Dalam pemberitaan di atas secara gamblang dipaparkan bahwa agenda peringatan Hari Keluarga sejatinya untuk mengokohkan ide kesetaraan gender. Keadilan dan kesetaraan gender serta pemberdayaan perempuan pada dasarnya hanya akan merusak tatanan keluarga muslim. Bagaimana tidak? Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara ini hanyalah negara pembebek yang menurut saja apa kata penjajah. Ketika penjajah memerintahkan untuk meliberalkan keluarga dengan menyuruh para wanita keluar dari rumahnya untuk bekerja dan meninggalkan peran utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Maka negara dengan “ketawakalannya” kepada negara penjajah akan menurut tanpa banyak tanya ataupun membantah.

Realitas kini tatanan keluarga muslim di Indonesia diambang kehancuran. Data pada tahun 2011 saja menunjukkan bahwa dari 2 juta pernikahan setiap tahun, 12-15% berakhir dengan perceraian (80% diantaranya terjadi pada perkawinan di bawah 5 tahun). Tidak hanya itu, kasus perceraian ini 70% diantaranya terjadi karena gugat cerai (artikelindonesia.com, 29 Juli 2011).

Di antara penyebab perceraian tersebut adalah faktor ekonomi, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga. Dan masih banyak fakta suram lain terkait kerusakan pada tatanan keluarga.

Malapetaka yang menimpa keluarga muslim tersebut bermuara pada tidak dijadikannya hukum-hukum Islam sebagai pedoman dalam kehidupan keluarga-keluarga muslim. Nilai-nilai Islam di tengah keluarga sedikit demi sedikit luntur. Di sisi lain derasnya arus globalisasi yang hakikatnya adalah kapitalisasi dan liberalisasi, turut menggerus nilai-nilai Islam dalam keluarga.

Penerapan kapitalisme pun akhirnya menghasilkan kemiskinan dan kesulitan hidup dan telah mengantarkan pada pelalaian tugas dan fungsi keluarga. Maka tidak aneh ketika sekarang terjadi pergantian peran dan tugas. Ibu berperan sebagai pencari nafkah dan ayah sebagai pengurus rumah tangga.

Selama ini, analisa terhadap permasalahan keluarga hanya berkutat pada beratnya beban ekonomi. Padahal persoalan keluarga sesungguhnya bukan hanya kemiskinan, namun juga hancurnya nilai-nilai mulia keluarga dan pelalaian tugas serta fungsi keluarga. Karenanya yang harus dilakukan adalah menghilangkan kapitalisme liberal dan menggantinya dengan sistem Islam.

Islam memandang keluarga muslim adalah keluarga bahagia sebagaimana yang dijanjikan Allah swt dalam firmanNya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang.” (TQS. Ar Ruum ayat 21).

Syeikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nidza Al Ijtima’iy Fil Islam, menjelaskan konteks ayat ini yang artinya, pernikahan itu menjadikan seorang suami merasa tentram dan damai di sisi isterinya, begitu pula sebaliknya. Mereka akan saling cenderung satu sama lain dan bukannya saling menjauhi. Jadi, ketentuan dasar sebuah perkawinan adalah kedamaian, dan dasar dari kehidupan suami isteri adalah ketentraman. Ketentraman dan kedamaian ini merupakan awal dari suasana bahagia.

Gambaran kebahagiaan keluarga muslim yaitu ketika kewajiban suami isteri dijalankan sesuai dengan perintah dan larangan Allah swt. Sebagai contoh, suami berkewajiban untuk mempergauli isteri dengan makruf, menjadi pemimpin dalam rumah tangga, serta memberikan nafkah yang layak kepada isteri dan anak-anaknya. Sedangkan isteri berkewajiban menaati suami, menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Suami dan isteri pun memiliki kewajiban yang sama dalam hal mendidik anak.

Ketika semua itu dijalankan kemudian ditopang dengan penerapan Islam secara paripurna dan fundamental di seluruh aspek kehidupan maka tidak perlu lagi isteri, anak perempuan, dan wanita-wanita lajang untuk terjun ke dunia kerja demi membantu menopang ekonomi keluarga. Sebab, rezeki dan kesejahteraan keluarga telah Allah swt atur dengan syarat beriman dan bertakwa pada Al Quran dan As Sunnah. Wallahu a’alam bi ash shawab.
Previous Post Next Post