Liberalisasi Keluarga Muslim di balik Peringatan Hari Keluarga

Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd

Harta yang paling berharga 
adalah keluarga .....
Istana yang paling indah 
adalah keluarga.......

Lirik lagu di atas adalah ciptaan dari Arswendo Atmowitoto yang dinyanyikan oleh Bunga Citra Lestari. Lagu tersebut menggambarkan begitu berharganya keluarga  Hingga Majelis Umum PBB pada tahun 1993 memproklamasikan hari keluarga Internasional pada 15 Mei lewat resolusi A/RES/47/237. Adapun harganas sendiri, Indonesia memperingatinya setiap tanggal 29 Juni. Peringatan harganas sudah berlangsung 26 kali sejak tahun 1993 hingga tahun 2019. 

Untuk tahun 2019, rencananya tanggal 29 Juni mendatang akan diadakan di Kalimantan Selatan tepatnya di Kota Banjarbaru. Adapun tema harganas untuk tahun 2019 ini adalah “Hari Keluarga, Hari Kita Semua”, dengan slogan “Cinta Keluarga, Cinta Terencana” (Fajar.co.id).

Menurut Haryono Suyono yang merupakan penggagas Hari Keluarga Nasional selaku Ketua Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di era Presiden Soeharto, ada beberapa hal yang menjadi inti peringatan harganas. Salah satunya adalah membangun keluarga menjadi keluarga yang bekerja keras dan mampu berbenah diri menuju keluarga yang sejahtera (Tribunnews.com).

Menelisik lebih jauh terkait inti dari harganas tersebut, berarti secara langsung menuntut anggota keluarga  tidak hanya  suami/bapak akan tetapi juga  istri/ibu harus bekerja keras. Tentunya hal ini harus diwaspadai karena harganas atau pun hari keluarga internasional menjadi momentum yang bagus untuk memaksimalkan paham gender. Ya,paham yang menyamakan  laki-laki dan perempuan. Jika laki-laki bisa bekerja keras maka perempuan pun harus bekerja keras.

Ide kesetaraan gender sendiri merupakan produk dari sistem kapitalisme sekuler. Dimana peran agama dihilangkan dalam lingkup kehidupan. Agama hanya diambil ketika itu menyangkut ibadah-ibadah ritual. Sistem yang rusak dan merusak ini juga telah memberikan kebebasan kepada individu untuk menentukan arah dan  cara hidupnya termasuk yang terkait dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga.

Dengan adanya ide kesetaraan gender ini maka keluarga muslim akan mengalami kehancuran. Bagaimana tidak? Jika bapak dan ibu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sementara anak-anak nya dititipkan  kepada pembantu/ pengasuh di rumah maka akan menyebabkan anak-anaknya tidak mendapat kasih sayang dari kedua orang tua khususnya kasih sayang dan pendidikan dari seorang ibu.


Dari sini harapan terbentuknya keluarga sejahtera tentu tidak bisa tercapai. Tentunya berbeda dengan sistem islam.

Sistem islam akan melahirkan keluarga yang hidup sesuai dengan syariat islam. Suami akan menjadi pemimpin dalam keluarga. Membimbing dan mengarahkan anggota keluarga  untuk senantiasa terikat kepada hukum yang telah ditetapkan Allah Swt. Menafkahi istri dan anak-anaknya. Adapun istri akan menjadi istri shalehah yang akan mencetak generasi-generasi hebat sehingga menjadi pejuang atau pembela agama Allah Swt.

Tentu kita tidak lupa dengan generasi-generasi hebat seperti Umar bin Abdul Aziz yang menjadi khalifah di usia muda, Imam Syafi'i menjadi pecinta ilmu yang bermanfaat bagi umat karena ilmu fiqih yang dihasilkannya, Muhamad Al-fatih pembebas Konstantinopel dan generasi-generasi hebat lainnya. Semua itu tidak lepas dari peran ibu. Ibu para generasi emas Islam dulunya mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk keluarga, mendidik anak-anak dengan al Qur’an dan as sunnah. Bayangkan bila mereka membagi waktu dengan pekerjaan di luar rumah, tentu kualitas hasil didikan mereka pun tidak akan maksimal.
Wallahua'lam.
Previous Post Next Post