Oleh : Tuti Sugianti
Praktisi Pendidikan
Kenaikan drastis tarif air Perumda Batiwakkal Kab. Berau membuat Warga Tanjung Redeb terkejut di awal tahun 2025. Kenaikan tarif air Perumda Air Minum Batiwakkal yang tidak terduga ini membuat beberapa pelanggan harus membayar tagihan hingga Rp1,7 juta, padahal biasanya hanya Rp300 ribu. Tidak sedikit pelanggan Perumda di berbagai wilayah di empat kecamatan kota mengeluh lantaran tagihannya melonjak hingga berkali-kali lipat.
Direktur Perumda Air Minum Batiwakkal, Saipul Rahman, menyampaikan permintaan maaf atas kenaikan tarif air minum yang membuat banyak pelanggan terkejut. Dikatakannya bahwa langkah ini diambil untuk menghindari kerugian yang mengancam operasional perusahaan.
PDAM melakukan penyesuaian harga karena dinilai mengalami kerugian. Hal ini disebabkan pandangan kapitalis melihat layanan masyarakat (penyediaan air bersih) sebagai komoditas dagang, sehingga penyediaan air bersih selalu dilihat hanya ada dari sudut pandang ekonomi dan regulasi.
Mengapa PDAM bisa melonjak? Seharusnya PDAM dengan segala biaya operasional menjadi tanggung jawab negara.
Kapitalisasi air bersih untuk menutupi kerugian PDAM dengan mengambil solusi menaikkan tagihan air ke masyarakat. Perusahaan negeri selalu mengeluh mengalami kerugian, apakah hal ini bertanda bahwa air tak lama lagi akan dipindahkan ke swasta?
Faktanya, pengelolaan sumber daya air saat ini diserahkan pada segelintir pihak Masyarakat kelas menengah bawah sangat sulit mendapatkan akses air bersih dan dipaksa harus membeli. Sementara itu, korporasi swasta diberikan kebebasan menguasai sumber mata air, penguasaan air bersih perpipaan, hingga akses lebih pada sumber air tanah. Begitu banyak berdiri korporasi air minum dalam kemasan maupun korporasi perhotelan/pariwisata yang bisa bebas mengambil air tanah, juga korporasi pengadaan air bersih untuk publik.
ekonomi yang liberalistik mengizinkan praktik privatisasi/kapitalisasi aset milik publik, termasuk air dan SDA yang berlimpah. Dalam politik demokrasi meminimalkan peran negara, yaitu sebagai regulator/fasilitator. Negara dicukupkan sebatas penyusun aturan/UU, tetapi dilarang untuk terjun langsung mengurusi kebutuhan rakyat. Sebaliknya, fungsi operasional dari pengurusan rakyat diserahkan kepada perusahaan/korporasi, baik swasta maupun BUMN.
Dengan konsep pengelolaan seperti ini, lahirlah komersialisasi air bersih dan minum. Rakyat harus membayar untuk bisa mendapatkan layanan air bersih, layak, dan aman.
Penyediaan air bersih merupakan kewajiban negara dan hak komunal rakyat seharusnya gratis dan berkualitas.
Solusi satu-satunya yang mampu mewujudkan layanan air bersih bagi seluruh rakyat adalah Islam.
Sistem Islam memiliki seperangkat hukum yang apabila dijalankan akan menyelesaikan krisis air bersih dan aman, serta jaminan terhadap kualitas kehidupan yang sehat. Di antara konsepnya adalah sebagai berikut.
Pertama, secara politik, Islam menegaskan bahwa negara harus hadir sebagai pengurus (penanggung jawab) dan pelindung ummat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Negaralah yang berperan sentral untuk mengelola sumber daya air dan SDA sehingga terwujud pemerataan pemenuhan pada seluruh rakyat, melakukan berbagai kebijakan untuk mitigasi ataupun mengatasi kesulitan air. Mulai dari membiayai riset-risetnya, pengembangan teknologi, hingga pengimplementasiannya untuk mengatasi masalah. Tanggung jawab ini harus dijalankan langsung oleh pemerintah, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, apalagi korporasi.
Kedua, secara ekonomi, sistem ekonomi Islam memiliki konsep dan hukum terkait pengelolaan harta. Di antaranya terkait harta milik umum, seperti air, energi, hutan, laut, sungai, dan sebagainya, ditetapkan sebagai milik seluruh rakyat.
Berdasarkan ketentuan syariah Islam, BBM, energi dan sumberdaya alam lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak hakikatnya adalah milik rakyat. Hal ini di dasarkan pada sejumlah hadits. Di antaranya riwayat Ibnu ‘Abbas ra. yang menuturkan bahwa Rasulullah saw., pernah bersabda: Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api. Harganya adalah haram (HR Ibn Majah dan ath-Thabarani).
Berdasarkan hadits ini, ketiga jenis sumberdaya alam ini adalah milik umum. Hanya saja, statusnya sebagai milik umum adalah berdasarkan sifatnya, yakni sebagai barang-barang yang dibutuhkan masyarakat secara umum (As-Siyaasah al-Iqtishadiyah al-Mutslaa, hlm. 67).
Setiap benda/barang (sumberdaya alam) yang menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat secara luas adalah milik umum (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islaamiyyah, 3/466).
Dengan demikian tak hanya air, api dan padang rumput. Semua sumberdaya alam yang menjadi kebutuhan masyarakat secara luas (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi, hlm. 201).
Alasannya, Rasulullah saw. pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar kepada seseorang. Air tersebut tidak menjadi tempat bergantung masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa larangan penguasaan ketiga jenis barang dalam hadis di atas mengandung ‘illat. ‘Illat-nya adalah barang tersebut min maraafiq al-jamaa’ah (kebutuhan bersama masyarakat). Dalam kaidah ushul dinyatakan: “Ada atau tidak adanya hukum bergantung pada ‘illat-nya.
Ketiga, pada aspek infrastruktur, pengadaan air bersih dan layak juga merupakan tanggung jawab negara. Infrastruktur yang termasuk fasilitas publik, seperti pipa, reservoir air (waduk, bendungan, dsb.), wajib disediakan oleh negara sampai ke rumah-rumah penduduk.
COMMENTS