Oleh Ari Wiwin
Ibu Rumah Tangga
Beras adalah salah satu makanan pokok masyarakat di Indonesia, peran petani adalah menjadi ujung tombak dalam menjaga ketersediaan pangan. Karena itu pemerintah sangat memperhatikan dan berupaya agar lahan pertanian tidak beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian maupun nonpangan.
Seperti halnya pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung yang terus mendukung sektor pertanian. Menurut Ningning Hendasah di Puteri Gunung Hotel Jln Raya Tangkuban Perahu, Desa Cibogo Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat (KBB) telah menerima penghargaan dari Dinas Pertanian Kabupaten Bandung atas keberhasilan Kelompok Tani Bumi Mekar Laksana dengan budidaya organik tanaman holtikultura terluas di Jawa Barat. Selain itu, Kelompok Tani Gapoktan Organik Sarinah juga meraih penghargaan sebagai kelompok tani yang telah mengekspor hasil pertanian dengan budidaya organik tanaman pangan terluas di Jawa Barat. Ini mencerminkan pencapaian komitmen Dinas Pertanian Kabupaten Bandung dan kelompok tani dalam mengembangkan pertanian (satumedia.id, Kamis 28/11/2024)
Menetapkan suatu daerah berhasil mewujudkan ketahanan pangan hanya karena adanya penghargaan, sepertinya terlalu terburu-buru. Apalagi fakta di lapangan yang menunjukkan banyaknya alih fungsi lahan pertanian menjadi infrastruktur dan berbagai industri, sehingga akses untuk sentra pangan kian menyempit.
Ditambah lagi banyaknya masyarakat yang kesulitan mendapat bahan pokok seperti beras karena harganya masih cukup tinggi, menunjukkan bahwa ketahanan pangan belum sepenuhnya benar terjadi.
Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) Jawa Barat menjadi provinsi yang jumlah penduduknya terbanyak di Indonesia, yang mencapai 50,35 juta jiwa pada Juni 2024. Pada setiap tahunnya mecapai 1,13 persen, artinya Jawa Barat berkontribusi 18 persen dari total populasi penduduk dan memiliki kepadatan penduduk yang tinggi mencapai 1.359 jiwa perkilometer persegi. Tentunya menyebabkan tekanan penggunaan lahan pertanian semakin sempit. (datagood stats.id 22 Oktober 2024)
Penyebab lain lahan semakin sempit adalah karena negara memberikan wewenang kepada para investor atau pemilik modal untuk mengembangkan usahanya. Memberikan kebebasan untuk membeli tanah atau lahan pertanian untuk di bangun infrastruktur, perumahan, jalan tol, bandara, dan pabrik. Sehingga membuat lahan pertanian yang produktif beralih fungsi menjadi bangunan atau komplek perumahan. Bahkan terkadang pengembang tidak menyediakan penyerapan air hujan. Alhasil, bangunan pabrik dan pemukiman yang mengabaikan saluran irigasi membuat para petani gagal panen karena sulitnya pengairan di musim kemarau dan di musim hujan terdampak banjir.
Contoh lain pengembangan lahan yang beralih fungsi yaitu Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Majalengka Jawa Barat, yang lahan pertaniannya beralih fungsi menjadi bandara, juga adanya kereta cepat jurusan Jakarta-Bandung Woosh yang berada di Cimekar Kabupaten Bandung telah mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi infrastruktur sekaligus merampas hak hidup publik yang mengandalkan usahanya lewat pertanian. Tentu saja ini membuat para petani kehilangan mata pencaharian yang membuat rakyat semakin sulit dan terjepit. Akibat lain yang ditimbulkan adalah kesenjangan sosial yang makin tinggi serta angka kemiskinan yang bertambah.
Seharusnya pemerintah tidak mengambil lahan yang masih produktif untuk infrastruktur, karena masih bayak cara atau solusi tanpa harus mengorbankan hak dan hajat hidup rakyat. Masih banyak lahan kosong dan tidak subur untuk dipakai dan diperbaharui kembali. Namun nyatanya jauh panggang dari api, rakyat semakin miskin, pengangguran semakin banyak, dan kebutuhan pokok sulit terjangkau.
Inilah buah dari sistem kapitalisme yang diterapkan negara. Pemerintah memberi kebebasan kepada para investor dan pemilik modal untuk mengembangakan usahanya tanpa memikirkan para petani dan rakyat. Para petani seolah menjadi budak di lahan miliknya sendiri hanya demi sesuap nasi. Selain itu persoalan pendistribusian hasil pertanian juga tidak diperhatikan oleh negara.
Persoalan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian tidak hanya terjadi di Indonesia tapi terjadi juga di dunia yang mengadopsi sistem yang sama. Ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme tidak mampu mencegah alih fungsi lahan dan justru merenggut kehidupan dan martabat manusia.
Sangat berbeda jauh dalam sistem Islam, karena dalam Islam negara akan memperhatikan ketercukupan dan ketersediaan sandang, pangan, dan papan. Di antara upaya negara terkait tanggung jawabnya memenuhi kebutuhan masyarakat dan mewujudkan ketahanan pangan adalalah: Pertama, menetapkan kepemilikan sesuai peruntukannya seperti kepemilikan individu. Misalnya tanah atau lahan tersebut berasal dari warisan, hadiah, dan penjualan. Seandainya tanah tersebut terkandung atau terdapat bahan tambang seperti emas, nikel, dan sebagainya, negara akan mengolah hasilnya selajutnya akan diberikan untuk kesejahteraan masyarakat berupa pemenuhan kebutuhan primer serta layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lainnya yang sifatnya kolektif. Negara tidak akan memperbolehkan pihak asing ataupun pemilik modal untuk mengolah dan memonopoli. Sedangkan bagi pemilik tanah atau lahan yang terdampak akan diberikan tunjangan yang layak sebagai kompensasi.
Kedua, negara akan menghidupkan tanah mati (ihya al mawat). Tanah mati adalah tanah yang terbengkalai atau tidak tampak dimiliki oleh individu, tidak ditanami apapun tidak dipagari. Apabila ada seseorang yang telah menghidupkannya maka menjadi milik yang bersangkutan.
Dari Aisyah ra.
“Siapapun yang telah mengelola sebidang tanah yang bukan menjadi hak orang lain maka dialah yang berhak atas tanah tersebut.” (HR Bukhari)
Ketiga, negara akan menekankan kepada setiap pemilik tanah atau lahan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Negara akan memberikan modal serta fasilitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan sektor pertanian dan sektor pendukung lainnya dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan. Dengan langkah-langkah yang dilakukan tersebut, negara Islam ingin memastikan tidak ada masyarakat yang kesulitan mendapat akses pekerjaan dan terjaminnya ketersediaan pangan dalam negeri, sehingga masyarakat mendapatkannya secara merata.
Begitu indahnya jika sistem Islam yang mengatur seluruh kebutuhan umat manusia. Oleh karenanya hanya aturan Islamlah yang layak diterapkan dan menjadi solusi tuntas dalam mengatasi problematika kehidupan termasuk solusi pengelolaan lahan serta terwujudnya ketahanan pangan.
Wallahu a’lam bi as shawab.
COMMENTS