Oleh: Risya Ziani Mudiya
Dinas Kesehatan Kota (DKK) menggelar Gerakan Aksi Bergizi di Balikpapan Sport and Convention Center (BSSC) Dome, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur pada Jumat 18 Oktober 2024.
Kegiatan ini diikuti 1.300 remaja putri, merupakan perwakilan dari SMP/MI dan SMA/SMK, yang juga berjalan di seluruh sekolah Kota Balikpapan.
Hal ini untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian terhadap pentingnya gizi seimbang, kesehatan remaja, dan cegah anemia melalui minum tablet tambah darah. Khususnya dalam pencegahan stunting dengan fokus pada pemenuhan gizi terutama remaja putri.
Stunting adalah masalah kegagalan pertumbuhan akibat nutrisi yang tidak cukup atau kurang pada anak. Periode krusial pemenuhan nutrisi pada anak dimulai dari masa kehamilan sampai anak usia 24 bulan. Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi yang terutama terjadi akibat gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun oleh balita. Selain gizi buruk, lingkungan balita dibesarkan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi faktor penentu seorang balita berpotensi terkena stunting atau tidak.
Setidaknya terdapat empat faktor penyebab stunting selain gizi buruk. Pertama, praktik pengasuhan kurang baik. Kedua, terbatasnya layanan kesehatan selama masa kehamilan ibu. Ketiga, kurangnya akses keluarga ke makanan bergizi. Keempat, terbatasnya akses ke air bersih dan sanitasi.
Berdasarkan riset Center for Indonesian Policy Studies, terdapat 21 juta jiwa atau 7% dari populasi penduduk Indonesia kekurangan gizi dengan asupan kalori per kapita harian di bawah standar Kemenkes, 2.100 kilo kalori (kkal). Tercatat pula, 21,6% anak berusia di bawah lima tahun mengalami stunting pada 2023. Sedangkan 7,7% lainnya menderita wasting alias rendahnya rasio berat badan berbanding tinggi badan.
Peran negara yang berjalan lambat dan kurang serius, sehingga program pencegahan stunting ini dibumbui dengan penyalahgunaan anggaran. Semisal, pemberian makanan tambahan yang mestinya mengandung sumber protein penting bagi pertumbuhan badan, hanya terwakili dengan pemberian biskuit dan susu dalam kegiatan posyandu.
Adanya program makan bergizi gratis cenderung beraroma bisnis ketimbang memperhatikan gizi generasi. Dari satu kebijakan, lahirlah peluang bagi korporasi mengambil alih peran negara. Program makan bergizi gratis terindikasi menjadi program industrialisasi korporasi dan investasi dalam sektor pangan. Negara seharusnya menyediakan layanan terbaik di semua bidang. Namun, sistem demokrasi yang transaksional membuat peran tersebut termarginalkan. Dari semua kebijakan penguasa, sektor strategis yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat kerap dikomersialisasi, semisal kesehatan, pendidikan, dan pangan.
Pemerintah seharusnya menetapkan kebijakan untuk menghilangkan atau meminimalkan kemiskinan. Masalahnya, sistem demokrasi kapitalisme meniscayakan kemiskinan terjadi karena negara lalai menjalankan fungsinya sebagai ra‘in (pengurus rakyat).
Sistem demokrasi kapitalisme menyebabkan tingkat kemiskinan makin menjulang, pendapatan masyarakat rendah, lapangan kerja sempit, dan tingginya kenaikan harga pangan bergizi bagi keluarga. Alhasil, kondisi ekonomi yang serba sulit mendorong peningkatan stunting dan gizi buruk.
Dalam Islam, setiap individu rakyat berhak mendapatkan makanan bergizi, bukan hanya orang miskin. Negara bertanggung jawab penuh dalam mempermudah rakyat mendapatkan akses makanan bergizi, seperti harga pangan terjangkau dan distribusi pangan yang merata ke seluruh wilayah sehingga tidak terjadi kelangkaan pangan di salah satu wilayah.
Pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, layanan makan bergizi gratis sudah diterapkan dalam bentuk pendirian imaret (dapur umum) berbasis wakaf yang telah dibangun sejak abad ke-14 sampai abad ke-19. Imaret pertama kali didirikan di Iznik Mekece oleh Sultan Orhan. Seluruh imaret diminta untuk menyiapkan makanan untuk didistribusikan secara gratis kepada masyarakat dari berbagai latar belakang, seperti pengurus masjid, guru, murid, sufi, pelancong, dan penduduk lokal yang membutuhkan.
Masalah stunting bukan hanya menjadi beban keluarga, melainkan merupakan tanggung jawab negara sebagai pelayan rakyat yang bertugas menjamin dan memenuhi kebutuhan mereka secara optimal. Stunting merupakan masalah sistemis yang multidimensi sehingga dibutuhkan solusi sistemis dan holistis.
Semua itu bisa terwujud dengan paradigma kepemimpinan dan sistem yang mengikuti aturan Maha Pencipta, yaitu Islam kafah. Jika masih menggunakan paradigma kapitalisme, pencegahan stunting tidak akan berjalan efektif sebab fungsi negara dalam kacamata kapitalisme hanya sebagai regulator kebijakan, bukan pelayanan.
Dengan mekanisme ini, negara tidak akan kebingungan mencanangkan program dan kebijakan untuk rakyat karena penguasa melakukan fungsinya sebagai ra’in dengan sangat baik. Sistem Islam kafah tidak akan membiarkan generasi memiliki fisik dan psikis lemah. Dari Abu Hurairah ra., Nabi ï·º bersabda, “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada mukmin yang lemah, dan pada keduanya ada kebaikan.”
Wallahu’alam
COMMENTS