Oleh Nia Kurniati, S.Si
(Mei 2024)
Korupsi seolah telah menjadi budaya bangsa ini, bagaimana tidak, lini masa pemberitaan media masih saja intens mengangkat kasus-kasus korupsi. Mulai dari korupsi kelas atas yang melibatkan para elit pejabat seperti menteri, sampai pejabat birokrat tingkat terendahpun, tak luput dari perilaku korup ini.
Kasus korupsi yang terungkap di awal tahun 2024 di Mukomuko misalnya, menyita perhatian publik sebab yang dikorupsi adalah angaran Rumah Sakit Umum Daerah. Disaat rakyat begitu mendamba pelayanan kesehatan yang baik dan terjangkau, justru harus menelan pil pahit kenyataan bahwa sarana pelayanan kesehatannya dicuri tikus berdasi. Korupsi pengelolaan anggaran RSUD Mukomuko tahun anggaran 2016-2021 tersebut merugikan negara sebesar Rp 4,8 miliar. Sebanyak 7 mantan petinggi RSUD Mukomuko telah ditetapkan sebagai tersangka, 6 diantaranya berstatus PNS dan satu orang berstatus pensiunan pegawai.Kerugian Negara yang mencapai Rp 4,8 miliar itu dihasilkan dari modus belanja fiktif yang mencapai angka Rp 1,1 miliar. Lalu, terjadi markup senilai Rp 490 juta, dan belanja tidak dilengkapi Surat Pertanggungjawaban (SPJ) sebesar Rp 3,1 miliar. (regionalkompas.com)
Selain itu, kasus korupsi Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat atau Dana Bergulir Eks PNPM MPd di kecamatan Ranah Pesisir tahun 2018 sampai 2023 yang merugikan negara hingga Rp 2,79 Miliar. Ketua Badan Koordinasi Antar Nagari (BKAN) Balai Selasa ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Pesisir Selatan di Cabang Kejaksaan Negeri Balai Selasa, Selasa (07/05/2024). Sebelumnya, pada tanggal 24 April 2024 silam, Kejaksaan Negeri Pesisir Selatan telah lebih dahulu menetapkan empat orang sebagai tersangka yakninya pengurus dari PNPM MPD di Unit Pengelaolaan Kegiatan Kecamatan Ranah Pesisir. (rakyarsumbar.id).
Begitu pula dana desa yang dijadikan ujung tombak pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, pun tidak luput dari tindakan korupsi. Seorang Wali Nagari Barung-Barung Belantai Tengah, Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, ditetapkan jadi tersangka korupsi dana desa. Tersangka AU (40), Wali Nagari Barung-Barung Belantai Tengah periode 2016-2024 itu diduga korupsi dana nagari Rp 376 juta lebih. Berdasarkan laporan masyarakat, penyidik menemukan dugaan penyelenggaraan 14 proyek fisik dan non fisik yang fiktif. (regional.kompas.com)
Selain kasus-kasus lokal tersebut, sudah bermunculan kasus-kasus korupsi lainnya, bahkan di antaranya menjadi sorotan publik secara nasional. Misalnya kasus korupsi yang melibatkan crazy rich Pantai Indah Kapuk (Helena Lim) dan suami seorang pesohor Tanah Air (Harvey Moeis), yakni korupsi penambangan timah ilegal di wilayah izin usaha pertambangan atau IUP PT Timah dengan kerugian negara yang fantastis mencapai Rp271 triliun, berikutnya korupsi pengadaan sistem proteksi TKI di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) tahun anggaran 2012, kasus korupsi suap DJKA di Kemenhub, kasus TPPU Ditjen Bea dan Cukai, kasus TPPU ratusan miliar Lukas Enembe, kasus korupsi proyek pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan di Kementerian Komunikasi dan Informatika yang melibatkan Menkominfo Jhonny G. Plate dan Anggota BPK Achsanul Qosasi yang merugikan negara hingga Rp8 triliun, serta kasus Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) yang menjadi tersangka pemerasan dan tindak pidana pencucian uang sebanyak Rp13,9 miliar.
Namun, di luar itu, kasus yang paling menghebohkan pada 2023 lalu adalah terkait Ketua KPK sendiri, yakni Firli Bahuri yang diduga melakukan pemerasan terhadap SYL. Kasus ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah karena selain menambah daftar panjang kasus korupsi sejumlah petinggi lembaga penegak hukum, juga makin menjauhkan harapan kasus kejahatan extra ordinary ini bisa dihapuskan.
Maraknya kasus korupsi di Indonesia ini menunjukkan bahwa kejahatan korupsi sudah begitu mengakar hingga menjadi sebuah budaya. Penanganan kasus-kasus dan penegakan hukumnya pun seakan tidak memberi pengaruh terhadap berkurangnya kasus korupsi, justru kian hari kian menjadi. Tidak ada satu bidang pun yang luput dari korupsi. Mengapa korupsi di Indonesia seolah menjadi budaya kotor yang masih saja dilestarikan? Bahkan, lembaga yang terdepan memberantas korupsi kini mulai menjadi ladang korupsi. Mengapa korupsi tidak pernah terselesaikan tuntas?
Ilusi Pembarantasan Korupsi di Alam Demokrasi
Berderetnya kasus-kasus korupsi menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini seolah hanya ilusi. Pemerintahan yang bersih seolah menjadi hal yang tidak mungkin terwujud. Yang ada, korupsi justru makin menjadi-jadi.
Sepanjang semester I tahun ini saja, KPK telah menerima 2.707 laporan dugaan korupsi. Berdasarkan laporan yang dirilis Transparency International, skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 sebesar 34 dan berada di peringkat 110 dari 180 negara. Capaian ini turun dari tahun sebelumnya yang mencatat skor 38 di peringkat 96.
Wajar jika banyak pihak yang pesimis bahwa Indonesia bisa bebas dari korupsi. Bahkan pada Juli 2022 lalu, lembaga KedaiKOPI (Kelompok Diskusi & Kajian Opini Publik Indonesia) pernah mewawancarai 906 orang secara acak melalui telepon. Hasilnya menunjukkan tingkat optimisme generasi muda Indonesia pada sektor isu korupsi makin rendah pada masa depan.
Sulitnya memberantas korupsi sejatinya menunjukkan buruknya sistem hidup yang sedang diterapkan. Sistem politik demokrasi yang memang tegak di atas paham sekuler liberal yang menafikan peran agama atau prinsip halal haram dalam kehidupan. Wajar jika kebebasan perilaku menjadi hal yang lumrah dan diniscayakan.
Begitu pun dengan berbagai aturan hidup atau undang-undang yang ditegakkan, semuanya lahir dari pemikiran manusia dengan pandangan kemaslahatan yang berbeda-beda. Semuanya dipastikan sarat dengan berbagai kepentingan. Terlebih sistem demokrasi adalah sistem politik berbiaya mahal. Jabatan kekuasaan dalam sistem ini identik dengan adu kekuatan modal sekaligus bancakan proyek penghasil cuan. Wajar jika celah keburukan dan kelemahan dalam sistem ini senantiasa terbuka lebar. Bahkan mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang berniat curang.
Jika kita menelaah fenomena korupsi di tubuh pemerintah yang telah ada dari mulai awal kemerdekaan negeri ini, kita bisa melihat pangkal dari semua itu adalah akibat penerapan sistem demokrasi. Setidaknya ada tiga alasan demokrasi dikatakan sebagai pangkal dari maraknya korupsi.
Pertama, demokrasi adalah sistem politik yang berasaskan sekularisme. Agama bukan menjadi pedoman dalam berpolitik, tetapi hanya pelengkap dan digunakan sesuai kepentingan. Di dalam sistem demokrasi, agama hanya dijadikan pendulang suara alias politik identitas.
Gara-gara sekularisme, para kandidat yang akan bertarung memperebutkan jabatan hanya memiliki tujuan dunia, yaitu perolehan harta dan kuasa. Mereka tidak mengerti agama sehingga tidak menjadikan jabatan sebagai amanah yang akan mengantarkan pemegangnya pada keberlimpahan pahala. Jadilah korupsi dianggap salah satu jalan menjemput rezeki.
Kedua, kontestasi demokrasi yang mahal menjadikan para kandidat harus menggandeng pengusaha. Bukan rumor, untuk menjadi bupati saja harus ada uang puluhan miliaran, apalagi untuk menjadi anggota dewan dan presiden. Inilah yang nantinya akan melahirkan politik transaksional. Setelah kandidat menjabat, ia akan disibukkan untuk mengabdi kepada para sponsornya. Bukankah ini yang mengantarkan pada makin maraknya korupsi?
Ketiga, sistem pemerintahan demokrasi—yang membagi kekuasaan menjadi tiga—mengantarkan pada keterpurukan hukum. Hukum kerap dikangkangi oleh kepentingan politik. Lihat saja pemilihan ketua KPK dan jaksa agung, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik. Hukum tumpul pada kawan politik dan tajam pada lawan politik.
Ditambah lagi, hukuman bagi koruptor begitu ringan tanpa menimbulkan efek jera. Jaksa Pinangki yang merugikan negara triliunan rupiah saja hanya dipenjara dua tahun. Belum lagi, para terpidana korupsi terbuka lebar mendapatkan remisi, penguraman masa tahanan hingga hukuman yang dijalani lebih singkat dari putusan pengadilan. Bukankah ini pula yang makin melanggengkan praktek korupsi kian menjadi-jadi? Makin jelas, pemberantasan korupsi di negara demokrasi hanyalah sekedar ilusi.
Membabat Habis Korupsi, Butuh Solusi Syar’i
Dalam pandangan syariah Islam, korupsi termasuk perbuatan khianat. Orangnya disebut khâ`in. Korupsi adalah tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu menggelapkan harta, yang memang diamanatkan kepada dirinya (Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 31).
Pada dasarnya, faktor utama penyebab korupsi adalah faktor ideologi. Ini berarti, langkah paling utama dan paling penting yang paling wajib dilakukan adalah menghapuskan pemberlakuan ideologi demokrasi-kapitalis. Selanjutnya, diterapkan syariah Islam sebagai satu-satunya sistem hukum yang semestinya berlaku di negeri ini. Penerapan syariah Islam akan sangat efektif untuk membasmi korupsi, baik terkait pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Sebab sistem Islam (Khilafah) tegak di atas landasan akidah yang terwujud dalam seluruh amal perbuatan. Halal haram benar-benar menjadi patokan. Celah keburukan tertutup rapat karena kukuhnya keimanan menjadi pengawasan melekat, baik pada individu pegawai dan pejabat, maupun seluruh rakyat.
Secara preventif paling tidak ada 6 (enam) langkah syar’i yang ditunjukkan Islam untuk mencegah korupsi, yaitu:
1. Rekrutmen SDM aparat negara wajib yang amanah serta berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Tentang sikap amanah, Allah SWT telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Jangan pula kalian mengkhianati amanah-amanah kalian. Padahal kalian tahu” (TQS al-Anfal [8]: 27).
Di antara sekian banyak amanah, yang paling penting adalah amanah kekuasaan. Rasulullah saw. Bersabda, “Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Lalu terkait profesionalitas dan integritas, Rasulullah antara lain pernah bersabda. “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat.” (HR Bukhari).
2. Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Rasul saw. mencontohkan hal itu. Tidak ada yang meragukan ketakwaan Sahabat Muadz bin Jabal ra. Namun, tatkala Rasul saw. mengutus Muadz ke Yaman menjadi ‘âmil (kepala daerah setingkat bupati) dan ia sudah dalam perjalanan, Rasul saw. memerintahkan seseorang untuk memanggil Muadz agar kembali. Lalu Rasul saw. bersabda kepada Muadz, “Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izinku karena hal itu adalah ghulûl (khianat). Siapa saja yang berkhianat, pada Hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu(TQS Ali Imran [3]: 161). Karena inilah aku memanggilmu. Sekarang, pergilah untuk melakukan tugasmu.” (HR at-Tirmidzi dan ath-Thabarani).
3. Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Nabi saw. bersabda, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tetapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Jika tak punya istri, hendaklah dia menikah. Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad).
4. Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Rasul saw. bersabda:
“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulûl” (HR Abu Dawud dan al-Hakim).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR Ahmad).
Berdasarkan ini harta yang diperoleh aparat, pejabat dan penguasa selain pendapatan (gaji) yang telah ditentukan, apapun namanya (hadiah, fee, pungutan, suap, dsb), merupakan harta ghulûl dan hukumnya haram.
5. Islam memerintahkan untuk melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab ra. biasa menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Jika Umar ra. mendapati kekayaan seorang wali atau ‘âmil (kepala daerah) bertambah secara tidak wajar, beliau meminta pejabat tersebut menjelaskan asal-usul harta tambahan tak wajar tersebut. Jika penjelasannya tidak memuaskan, kelebihannya disita atau dibagi dua. Separuhnya diserahkan ke Baitul Mal. Hal ini pernah beliau lakukan kepada Abu Hurairah, Utbah bin Abu Sufyan juga Amr bin al-‘Ash (Ibnu ’Abd Rabbih, Al-’Iqd al-Farîd, I/46-47).
Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, akan ada pengawasan ketat dari Badan Pengawasan/Pemeriksa Keuangan yang menghitung kekayaan pejabat serta mengawasi pertambahan harta pejabat dan menindaknya jika pertambahan harta pejabat tidak secara wajar.
6. Pengawasan oleh negara dan masyarakat. Pemberantasan korupsi tentu akan menjadi lebih sempurna jika disertai dengan kontrol dari masyarakat, khususnya para ulama. Pada sistem kehidupan Islam, pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan diberlakukan. Masyarakat bisa menjadi penjaga sekaligus pengawas terterapkannya syariat atas dasar keimanan. Jika ada anggota masyarakat yang terindikasi berbuat kriminal atau korupsi, mereka dengan mudah bisa melaporkannya pada pihak berwenang. Tradisi saling menasihati dan berbuat amal saleh seperti ini akan tercipta seiring tegaknya hukum Islam di tengah mereka. Individu bertakwa dan adanya masyarakat yang berdakwah akan menjadi habits yang mampu menyokong negara dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana hukum Islam.
Adapun secara kuratif maka membasmi korupsi dilakukan dengan cara penerapan sanksi hukum yang tegas dan tanpa tebang pilih. Sistem sanksi Islam ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penebus dosa bagi pelakunya dan efek jera bagi pelaku maupun masyarakat secara umum sehingga akan segan dan mengurugkan niat untuk berbuat kejahatan/kemaksiyatan. Dalam Islam hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zîr, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim/penguasa. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan seperti teguran dari hakim; bisa berupa penjara, pengenaan denda atau pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhîr); bisa hukuman cambuk; hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman ta’zîr ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 78-89).
Terlebih sistem Islam punya pilar lainnya dalam pencegahan kerusakan di tengah masyarakat. Yakni penegakan aturan Islam secara konsisten oleh negara dan perangkatnya, mulai dari sistem ekonomi, politik, sosial atau pergaulan, pendidikan, media massa, dan lain-lain. Aturan Islam inilah yang akan menjaga fitrah kebaikan dan menjamin berbagai kemaslahatan yang didambakan oleh manusia, termasuk diraihnya kesejahteraan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Betapa tidak, peradaban Islam yang lahir dengan penegakan syariat Islam mampu merealisasikan semua nilai yang dibutuhkan oleh manusia, mulai dari nilai ruhiyah, nilai insaniyah, nilai materi, dan nilai-nilai moral. Oleh karenanya, dalam sistem Islam, manusia tidak akan terdorong melakukan apa pun hanya demi memuaskan hawa nafsu, seperti perilaku konsumtif atau hedonistik yang justru dibudayakan dalam sistem sekuler hingga menjadi pendorong perilaku jahat dan korup.
Demikianlah, Islam mampu mewujudkan sistem antikorup, yaitu penerapan Islam kafah dalam bingkai Khilafah. Memberantas korupsi dalam demokrasi itu ilusi, sama mustahilnya menegakkan kebenaran dan kejujuran dalam sistem sekuler yang menggerus keimanan serta menjauhkan umat dari aturan Islam.
Khatimah
Dari fenomena maraknya kasus korupsi, secara khusus semestinya menjadi pintu masuk kesadaran tentang buruknya sistem sekuler demokrasi kapitalisme neoliberal yang sedang diterapkan. Dari tipikal kepemimpinan dan pengaturannya saja sudah menyusahkan rakyat dan bertentangan dengan sistem Islam. Semuanya jelas-jelas telah membawa pada kemudaratan.
Adapun secara umum, kemelut korupsi ini hanyalah secuil potret dari rusaknya sistem hidup yang jauh dari tuntunan syariat Islam. Tanpa syariat, kekuasaan di tangan pejabat menjadi ajang mengeruk manfaat. Kezaliman dan kerusakan merajalela hingga kehidupan masyarakat dipenuhi berbagai kesempitan. Sungguh benar firman Allah Taala,
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124).
Oleh karena itu, jelas pemberantasan korupsi hanya akan berhasil dalam sistem Islam. Sebaliknya, sulit sekali bahkan mungkin mustahil terwujud dalam sistem sekuler seperti sekarang ini. Alhasil, upaya mengembalikan kehidupan Islami dengan penerapan dan penegakan syariah Islam dalam bingkai Daulah Khilafah secara menyeluruh dan total harus segera diwujudkan dan menjadi agenda utama bagi kita para pengemban dakwah khususnya dan umumnya bagi seluruh umat Islam.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
COMMENTS