Pupuk Subsidi Sulit di Akses? Bukti Kapitalisme Gagal Mensejahterakan Petani


Oleh: Masriana


Persoalan sektor pertanian di negeri ini masih pelik. Salah satunya adalah sulitnya para petani mengakses pupuk, khususnya pupuk bersubsidi.  Pasalanya sebagian besar petani negeri ini berasal dari kalangan menengah bahkan miskin. 


Dikutip dari media setkab bahwa untuk mengatasi hal tersebut, pada bulan Februari lalu pemerintah memutuskan untuk menaikkan kuantum pupuk pada anggaran tahun 2024 dari 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton. Menteri pertanian mengatakan, dengan adanya penambahan ini para petani tak perlu risau akan ketersediaan pupuk karena saat ini dalam kondisi cukup. Ia pun berharap agar petani dapat fokus untuk meningkatkan produktivitas guna mewujudkan swasembada pangan. 


Kemudian dikutip dari bisnis. tempo, bahwa beberapa waktu lalu PT Pupuk Indonesia (Persero) menyebutkan pupuk subsidi sudah bisa di tebus di kios pupuk lengkap (KPL) resmi wilayah masing-masing. Stok pupuk subsidi ini diperuntukkan kepada 24 Kabupaten dan Kota. Namun, pupuk bersubsidi tidak dapat ditebus oleh petani yang tidak terdapat dalam Rencana Defenitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). 


Akan tetapi pupuk subsidi hanya akan bisa diakses oleh petani yang menggarap sembilan komoditas yang telah ditentukan dalam aturan yaitu padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kopi, tebu dan kakao. Petani yang menggarap di luar komoditas tersebut tidak lagi berhak mendapat alokasi pupuk bersubsidi. Pembatasan ini tentu menjadi problem tersendiri. Para petani yang menggarap komoditas pangan ini juga memerlukan pupuk murah untuk menekan biaya produksi. 


Negeri ini memang telah lama menghadapi persoalan minimnya stok pupuk untuk petani. Selama ini negara masih mengandalkan impor untuk memenuhi kekurangan stok. Memang ada upaya dari pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor dengan membangun pabrik pupuk namun bahan baku yang digunakan yakni (amonium nitrat) tetap mengandalkan impor. Artinya kemandirian negara dalam membangun sektor pertanian negeri ini belum terwujud. Kebijakan negara dalam menyediakan saranapertania-prasarana pertanian bagi petani demi mewujudkan swasembada pangan menemui jalan buntu. Pasalnya meski ada bantuan berupa subsidi pupuk, nyatanya tidak semua petani merasakan bantuan tersebut. Dalam beberapa kasus pupuk subsidi tetap dijual melebihi HET akibat bermunculannya para mafia pupuk. 


Lemahnya negara dalam memberantas mafia pupuk ini menjadikan mafia pupuk menjamur di masyarakat. Inilah gambaran ketidakseriusan negara dalam mengurus urusan rakyatnya termasuk menyejahterakan rakyat. 


Kebijakan pupuk subsidi bisa disebut kebijakan setengah hati. Sebab, keterbatasan bantuan dan distribusi yang macet. Karut-marutnya problem pertanian di negeri ini sejatinya akibat diterapkannya sistem Kapitalisme yang telah memberikan jalan bagi pemodal asing untuk menyediakan bahan baku pertanian. Negara bercorak kapitalis meniscayakan abai terhadap pengurusan urusan rakyatnya. Negara hanya bertindak sebagai regulator bukan sebagai penanggung jawab seluruh kebutuhan rakyat. Negara seperti ini akan menyerahkan urusan rakyatnya kepada pihak swasta termasuk dalam menyediakan pupuk. Meski ada subsidi, jumlahnya tidak sebanding dengan kebutuhan rakyat untuk sektor pertanian. Bahkan seringkali hal-hal yang berbaur subsidi disediakan dengan kualitas sekedarnya. Semua ini hanya berujung pada semakin malangnya nasib petani. 


Pemerintah seharusnya mengambil paradigma Islam dalam mengatur seluruh urusan dalam bernegara. Karena pengaturan dengan menggunakan peraturan Islam merupakan kewajiban dan pasti membawa kebaikankebaikan serta keberkahan bagi rakyat dan negara. 


Prinsip penting pengaturan dan pelayanan publik dalam islam adalah pemerintah harus kembali pada fungsinya yang shahihshahih, yaitu sebagai pelayan/pengurus dan pelindung bagi rakyat. Sebab Rasulullah Saw bersabda "Imamadala(Khalifah) adalah raain (pengurus rakyat)  dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya"(HR.Ahmad,  Bukhari). 


Karena itu pelayanan negara harus bersih dari aspek bisnis. Tidak boleh ada sedikitpun kepentingan profit dalam mengurusi hak rakyat. Termasuk negara tidak boleh menyerahkan pengaturan hak publik pada swasta/korporasi. Khilafah bertanggung jawab mendorong produksi pertanian berjalan maksimal. Islam akan menjamin semua rakyatnya dapat melakukan usaha termasuk petani.Apalagi petani memiliki posisi strategis dalam menjamin ketersediaan bahan pangan dalam negeri. Dan merupakan kewajiban negara dalam menjamin pemenuhan kebutuhan pangan seluruh rakyatnya. 


Khilafah akan memberikan bantuan modal, berupa saprotan, atau sarana produksi pertanian dalam membangun infrastruktur pendukung pertanian. Semua bantuan ini berorientasi pelayanan, bukan mencari untung. 


Negara IsIam sebagai raa'in akan menyediakan sumber dana untuk membantu petani. Sumber pendapatan dalam negara Islam sangat banyak dan bertumpu pada sistem anggaran Baitul Maal sehingga dapat membantu semua petani. Islam juga menjadikan negara mandiri dalam membangun sektor pertanian termasuk menyediakan bahan baku pupuk.  Sebab negara khilafah berlepas diri dari segala bentuk intervensi negar-negara lain di bawah payung perjanjian internasional. Pasalnya perjanjian tersebut hanya menekan dan mendikte Khilafah seperti ketergantungan pada impor dan lain-lain. Dengan dukungan dan perhatian Khilafah yang begitu besar, para petani akan bersemangat untuk berproduksi. Para petani tidak akan berbenturan dengan harga pupuk yang tinggi. Bahkan profesi petani dalam Khilafah akan sangat diminati oleh masyarakat dan akan terus dikembangkan. Gambaran inilah yang tampak dalam sejarah Kekhilafahan Islam masa lalu yang berhasil mencapai kemajuan pertanian yang gemilang dengan produktivitas melejit. Sungguh hanya Khilafah negara yang mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya termasuk para petani.

Post a Comment

Previous Post Next Post