KKB Menjadi OPM, Akankah Merubah Sikap Negara Mengatasi Separatisme?




Oleh Nurul Aini Najibah

Aktivis Dakwah


Penyebutan KKB bagi kelompok pemberontak di Papua kini telah menjadi perbincangan. Adapun kali ini, Polri dan TNI memiliki pandangan yang berbeda mengenai perubahan dalam penyebutan kelompok separatis di Papua dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) menjadi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, menginisiasi pergantian ini dengan alasan bahwa kelompok tersebut secara resmi mengidentifikasi diri mereka sebagai OPM, bukan KKB. Meskipun istilahnya berubah, ia masih menolak keberadaan OPM. Agus menyatakan bahwa kelompok tersebut terlibat dalam tindak teror seperti pembunuhan, pemerkosaan terhadap guru, tenaga kesehatan, masyarakat, TNI, dan Polri. Sementara itu, Polri sendiri masih menggunakan istilah KKB daripada OPM. Alasannya adalah karena mereka belum menerima perintah dari atasan mereka untuk mengubah penyebutan tersebut. (media online cnnindonesia, 12/4/2024)


Polemik antara TNI dan Polri tentang perubahan nama KKB menjadi OPM bukanlah hal yang patut diperdebatkan apalagi jika melihat sepak terjang KKB terhadap warga sipil dan aparat demikian sadis dan terus membuat keonaran serta kekacauan hingga saat ini. Akan tetapi, yang harus diperdebatkan adalah bagaimana sikap negara dan pihak aparat dalam menindaklanjuti keberadaan KKB/OPM agar mereka berhenti membuat makar dan masyarakat merasa aman. Bahkan, baru-baru ini Komandan Koramil (Danramil) 1703-04/Aradide, Letda Inf Oktovianus Sogarlay (OS) menjadi korban kelompok tersebut. Ia tewas dalam serangan dan penembakan yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kejadian tersebut terjadi di Pasir Putih, Distrik Aradide, Kabupaten Paniai, Papua Tengah pada Kamis (11/4). (media online cnnindonesia, 13/4/2024)


Sejatinya, kehadiran OPM di Papua telah berlangsung selama beberapa dekade. Keberadaannya telah menyebabkan masyarakat Papua terus diliputi oleh konflik. Hingga saat ini, belum ada penyelesaian yang signifikan. Telah banyak penduduk dan bahkan anggota TNI yang menjadi korban. Hal ini menimbulkan indikasi bahwa negara tidak mengambil langkah tegas dan terkadang terlihat lamban dalam menangani situasi tersebut. 


Masalah di Papua memang sangat rumit dan kompleks. Berbagai faktor saling terkait. Dimulai dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap Papua yang menyebabkan sebagian warga Papua merasa terpinggirkan dari Indonesia, dan bahkan merasa dijajah oleh negara itu sendiri. OPM sendiri mendapat sokongan dari luar negeri, termasuk dukungan politik, keuangan, dan senjata. Mereka terus mendorong warga untuk menuntut kemerdekaan dari Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka terlibat dalam tindakan kriminal yang merugikan masyarakat dan akan terus melakukan aksi semacam itu sampai negara memenuhi tuntutan kemerdekaannya.


Pihak TNI bahkan tidak dapat mengatasi OPM dengan tindakan keras, karena situasi Papua menjadi perhatian dunia internasional. Jika mereka bertindak terhadap penduduk Papua, hal itu akan dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia seperti yang terjadi di Timor Leste sebelumnya. Dan Indonesia berisiko menerima sanksi dari lembaga internasional seperti PBB. 


Oleh karena itu, permasalahan OPM ini merupakan masalah sistemik, yang disebabkan oleh penerapan sistem kapitalis. Kapitalisme membuat negara hanya berperan sebagai regulator yang tidak bertanggung jawab langsung terhadap urusan rakyat, padahal semestinya bertanggung jawab sebagai pengurus dan pelayan yang memperhatikan kepentingan rakyat. Sistem ini juga melegitimasi eksploitasi sumber daya alam atas nama investasi. Akibatnya, negara menjadi abai terhadap kebutuhan rakyat Papua, dan karena kapitalisme, kekayaan alam Papua dibiarkan dijarah oleh investor asing. Dengan demikian, solusi fundamental untuk masalah ini adalah mengganti sistem kapitalis yang diterapkan di Indonesia dengan sistem Islam. 


Dalam pandangan Islam, penguasa atau pemerintah berfungsi sebagai raa’in dan junnah. Ia bertanggung jawab mengatasi berbagai hal yang bisa mengancam keamanan dalam negeri termasuk nyawa manusia. Sebab itu, memelihara persatuan dan kesatuan adalah sebuah kewajiban, sedangkan memisahkan diri darinya dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Maka, Islam menetapkan sanksi yang sangat keras, berupa hukuman atau perang bagi siapapun yang melakukan tindakan pemberontakan (bughat) terhadap negara. Namun, perang dalam konteks ini bukanlah untuk memusnahkan, tetapi sebagai bentuk pembelajaran.


Maksud pembelajaran ini adalah mereka tidak diatasi dengan serangan militer, melainkan dengan pendekatan edukatif. Karena itu, dilarang menyerang mereka dengan cara yang dapat mengakibatkan kematian massal, kecuali dalam situasi yang sangat darurat. Keluarga mereka dan orang-orang yang melarikan diri tidak boleh dibunuh. Begitu juga, harta mereka tidak boleh diambil. Hal ini karena mereka adalah warga yang mendapatkan perlakuan edukatif.


Demikian pula dalam menangani pemberontakan yang dilakukan oleh OPM. Mereka perlu diberikan pemahaman untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya persatuan dan kesatuan wilayah suatu negara. Allah Swt berfirman:

"Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah." (TQS. Al Hujurat : 9)


Selain memberlakukan sanksi yang tegas, Islam juga menganggap masalah ini sebagai qadhiyyah mashiriyyah, yaitu isu yang harus diselesaikan dengan risiko hidup dan mati seperti yang terjadi dalam pertempuran Shiffin yang dipimpin oleh Khalifah Ali r.a melawan Muawiyah. Meskipun penggunaan kekuatan militer untuk menegakkan peraturan tegas, pendekatan politik tetap diperlukan dan tidak boleh diabaikan. Bahkan, mengungkap rencana jahat negara asing dan menekan semangat separatisme adalah langkah yang sangat penting dalam konteks ini. 


Di samping itu, upaya untuk mencegah campur tangan asing, mengawasi aktivitas musuh Islam, memutuskan hubungan atau kerjasama dengan entitas luar negeri, dan mengadopsi kebijakan tunggal melalui departemen luar negeri merupakan serangkaian tindakan untuk menangani gerakan separatis. Ini menunjukkan kesempurnaan Islam dalam memelihara persatuan dan menentang perpecahan dengan tegas. Namun, Islam juga tidak mengabaikan perbedaan dan konflik yang bisa mengancam persatuan. Sebagai agama yang menyembuhkan dan melindungi, Islam berfungsi sebagai penangkal terhadap segala kerusakan.


Wallahualam bissawab

1 Comments

Post a Comment

Previous Post Next Post