Oleh Alfaqir Nuuihya
Ibu Pemerhati Sosial
Perhelatan Riyadh season 2023 pada akhirnya resmi dibuka pada Sabtu (28/10/2023). Ini merupakan sesi ke-4 dengan slogan "waktu besar". Turki Al-seikh, kepala otoritas hiburan umum Arab Saudi (GEA), mengumumkan pada hari Minggu bahwa pertunjukan tersebut digelar di medsos dan berbagai cuplikan acara bertabur bintang.
Adapun tujuan festival ini untuk menciptakan lebih dari 200.000 lapangan kerja langsung atau tidak langsung, bahkan memberdayakan hampir 2.000 perusahan lokal dan internasional untuk menciptakan pengalaman hiburan paling terkemuka dari seluruh dunia. (see.news, 18/09/2023)
Riyadh season merupakan event hiburan tahunan dan berlangsung dalam waktu lama, terbagi menjadi beberapa zona dan tema, diisi oleh para entertainer kelas dunia, wajar jika perhelatan ini disebut perhelatan yang megah nan spektakuler.
Sayangnya, perhelatan ini berlangsung di tengah pembantaian rakyat Palestina oleh zionis Israel. Hal ini memantik gelombang kontroversi bahkan banyak pihak yang menyayangkan acara tersebut tetap digelar meskipun tetangganya dilanda bencana genosida besar-besaran.
Meskipun pada akhirnya Turki Al-seikh kembali memberikan pembelaan bahwa, "Bahkan selalu ada event-event lain yang tidak berhenti ketika ada perang Lebanon dan konflik lainnya di Timur Tengah," dikutip dari tribunnews, (03/10/2023)
Saudi Arabia sebagai negara mayoritas muslim harusnya lebih peka dengan apa yang menimpa Palestina saat ini. Meskipun pada akhirnya kita dibuat sadar, fakta Arab Saudi mayoritas muslim, nyatanya negara ini menjadi negara penggila sekuler kapitalis, jadi wajar jika tidak ada empati terhadap genosida di Palestina.
Bukan hanya Arab Saudi, bahkan negara muslim lainnya hanya piawai di atas podium saja. Bagaikan singa podium, mereka berapi-api, beretorika mengecam dan hanya mengecam setiap agresi brutal yang dilakukan oleh Israel. Namun, tidak pernah ada tindakan nyata untuk menghentikan agresi kaum zionis ini.
Mesir, bertahun-tahun menutup gerbang Rafah sehingga menghambat pengiriman bantuan ke wilayah Gaza. Bahkan Yordania justru membuka jalan bagi masuknya militer Amerika Serikat yang membantu entitas Yahudi melancarkan agresi militernya ke Palestina. Sungguh miris, naudzubillah tsumma naudzubillah.
Tidak akan pernah ada harapan dari sebuah negara meskipun mayoritas muslim untuk menolong saudara-saudaranya sesama muslim. Sebab sejatinya mereka terbelenggu oleh sistem yang tengah mereka emban saat ini.
Sebuah kebuntuan bagi mereka kala memutuskan untuk membantu Palestina, mereka khawatir dengan reaksi Amerika dan sekutunya akan berbalik memerangi mereka. Bahkan mereka mempertimbangkan apa keuntungan duniawi yang didapat jika mereka membantu Palestina, yang ada adalah kerja sama yang diputuskan sepihak oleh para sekutu.
Namun, mereka lupa bahwa Palestina adalah saudara seakidah yang wajib dibela. Mereka enggan dengan hadis yang mengatakan, "Perumpamaan orang-orang mukmin yang saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagikan satu tubuh. Apabila ada satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas." (HR. Muslim)
Padahal jelas pula di dalam surat al-Hujurat ayat: 10. "Sungguh kaum muslim itu bersaudara."
Kalau hanya speak up, bahkan negara-negara mayoritas nonmuslim pun berani dan tersadarkan akan kebiadaban Israel. Bahkan pemimpin tertinggi Korea Utara, sebuah negara komunis, Kim Jong-un, memberikan dukungan penuh kepada Palestina di tengah agresi militer Israel yang membabi buta ke tanah suci ke-3 umat islam ini.
Lain halnya dengan Bolivia, negara mayoritas nonmuslim ini berani ambil sikap yang mencengangkan, memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Melalui wakil Menteri Luar Negeri, Freddy Mamani, menyatakan bahwa Bolivia menyerukan genjatan senjata dan akan memasok bantuan ke jalur Gaza yang diblokade Israel. Dikutip dari (BBCnews, 1/11/2023).
Meski satu hal yang patut kita ingat dan waspadai, entah ada kepentingan apa di balik sikap kedua negara ini.
Nasionalisme, menyebabkan sekat bahwa persoalan Palestina bukanlah persoalan Arab Saudi, Mesir, Turki, atau bahkan Indonesia. Perbedaan nasionalisme ini nyatanya memisahkan status kenegaraan.
Inilah penyebab mereka abai dan tak berkutik. Meski nyatanya Amerika Serikat dan negara Barat lainnya, sebagai pengurus nasionalis, justru melanggar nasionalisme yang mereka junjung.
Pada krisis Palestina negara bersikap sesuai kepentingan pragmatisnya. Tidak ada mobilisasi untuk menjegal kejemawaan Israel. Karena di dalam nasionalisme, hanyalah mementingkan negara masing-masing, tidak memedulikan negara lainnya, bahkan terhadap Baitul Maqdis sekalipun tidak akan ada rasa memiliki.
Nasionalisme nyatanya menjadi hambatan terbesar terealisasinya jihad. Tentara yang hendak jihad kesulitan karena tidak ada perintah negara. Nasionalisme nyatanya telah membuat dunia Islam bercerai berai, menghilangkan ukhuwah atas nama mengancam keamanan dalam negeri, suatu hal yang sangat menguntungkan musuh.
Nasionalisme telah membuat umat yang satu dengan lainnya tidak saling mengenal bahkan peduli, tidak ada perasaan saudara seakidah. Padahal jelas bahwa Rasulullah saja melarang paham nasionalisme, "barang siapa yang mengajak kepada ashabiyyah (fanatisme golongan) maka dia tidak termasuk golonganku.” (HR. Muslim)
Ditambah dengan kenyataan bahwa penguasa muslim nyatanya adalah kaki tangan barat khususnya Amerika. Mereka memilih sami'na wa atha'na kepada Amerika dibanding membela atau mengirim pasukan ke Palestina.
Turki, nyatanya di bawah Erdogan telah menjalin kerja sama bisnis dengan Israel. Bahkan lama sebelumnya, negara muslim seperti Sudan, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko sepakat membuka jalur diplomatik dengan Israel. Dan kini Arab Saudi, yang sedang gencarnya menggemakan sekuler kapitalis, tengah merencanakan normalisasi hubungan dengan Israel pada 2024 mendatang atas sambungan Amerika.
Selain butuh bantuan logistik dan kemanusiaan lainnya, Palestina lebih membutuhkan kekuatan yang riil berupa institusi politik yang siap memobilisasi kekuatan muslim dunia termasuk senjata dan tentara. Jihad dan bersatunya umat di bawah naungan sistem Islam adalah satu-satunya solusi hakiki.
Sangat jauh dengan fakta sekarang, pintu Jihad tersekat nasionalisme sehingga mustahil untuk menyeru jihad dan memobilisasi militer. Bahkan seruan jihad global dari negeri muslim nyatanya omong kosong belaka. Sebab sejatinya mereka adalah boneka negara kafir.
Kepongahan Israel harus dijawab dengan jihad.
Jihad yang hanya akan terwujud dengan upaya keras mewujudkan kepemimpinan yang akan menyerukan jihad. Sistem Islam, keberadaan yang sangat vital dan wajib bagi muslim. Karena sistem Islam kafah adalah perisai umat yang mampu menjamin rasa aman dan nyaman, bahkan darah dan jiwa tak akan tumpah sia-sia.
Di dalam sistem Islam kafah, kita akan memiliki pemimpin yang sangat kuat sehingga mampu memerangi dan mengalahkan Israel.
Wibawa umat akan tampak dalam aspek kehidupan termasuk konstelasi politik internasional. Dengan ikatan akidah Islam akan mempertemukan cita-cita Palestina dan semangat jihad tentara muslim. Tentunya, penggabungan militer ini setelah sebelumnya dinding nasionalisme dicabut. Sehingga semua wilayah kaum muslim dalam satu kepemimpinan sistem Islam maka seruan jihad dalam satu komando akan terwujud.
Khatimah, menolong kaum muslim Palestina adalah sebuah konsekuensi akidah dan ukhuwah Islamiyyah. Akiidah yang menjadi pemersatu umat dan hanya sistem Islam kafah yang mampu mewujudkannya, kita mampu menjadi umat yang solid, independen, berwibawa, dan ditakuti musuh.
Waallahualam bissawab.