Korupsi Di Negeri Demokrasi


By : Wiwik Afrah
 (Aktivis Muslimah)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak tiga kali jelang idul fitri. Puluhan koruptor ditangkap hanya dalam waktu delapan hari. KPK berhasil meringkus Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil, sejumlah pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJIKA) Kemenhub, terakhir Wali Kota Bandung Yana Mulyana. (Kompas, 15-4-2023).

Yang terbaru Direktur Utama Waskita Karya Destiawan Soewardjono yang ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung ternyata memiliki pundi-pundi kekayaan cukup fantastis. Ia diduga terlibat dalam penyimpangan penggunaan fasilitas pembiayaan dari beberapa bank yang dilakukan oleh Waskita dan anak usahanya PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP). 

Setidaknya, KPK sudah menangani 1.351 kasus tindak pidana korupsi untuk periode 2004—2022. Perincian wilayah pemerintahan pusat sebagai wilayah dengan kasus korupsi paling banyak, yaitu sebanyak 430 kasus atau 31,82% dari total kasus, pada 19 tahun terakhir. (Katadata, 18-4-2023)

Skandal KPK yang demikian ini justru menjadi sorotan publik lantaran KPK pun tengah tersandung skandal. Mantan Ketua KPK Abraham samad dan Saut Situmorang, eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana, serta sejumlah komunitas, melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewan Pengawas (Dewas) atas dugaan pelanggaran kode etik dan malaadministrasi. Firli diduga terlibat dalam pembocoran dokumen penyelidikan dugaan korupsi tunjangan Kinerja Tahun Anggaran 2020-2022 di Kementerian ESDM.

Sebenarnya, nama Firli Bahuri telah menjadi kontroversi sejak awal pemilihan calon pimpinan KPK. Sehari sebelum diangkat menjadi ketua KPK, Firli sudah diadukan atas dugaan pelanggaran kode etik. Namun, pada akhirnya Firli tetap saja dilantik. Inilah yang aktivis antikorupsi sebutkan sebagai “kemenangan oligarki pada era Jokowi”.

Bukan hanya Firli, anggota KPK lainnya pun diduga banyak terlibat, bahkan beberapa sudah terbukti melakukan korupsi. Sebut saja penyidik KPK Stepanus Robin Patujju yang telah divonis 11 tahun penjara karena terbukti melakukan jual beli jabatan di Pemerintahan Tanjungbalai, Sumatra Utara pada 2020-2021.

Belum lagi bukan sekadar rumor jika KPK kerap tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. Buktinya, kasus-kasus besar yang diduga melibatkan petinggi di pemerintahan kerap tidak terselesaikan. Seperti kasus Bank Century, BLBI, KTP-el, dan lainnya, semua kasus tersebut mandek. KPK seolah tidak berdaya menghadapi oligarki.

Keberadaan Dewas KPK pun bukan tanpa kontroversi. Buktinya Dewas tidak bisa menyelesaikan kasus Firli sedari awal. Lantas, jika lembaga pemberantasnya melakukan korupsi, maka siapa yang akan mengawasi tindak pidana korupsi?

Berharap kepada lembaga penegak hukum pun rakyat sudah makin apatis. Keterlibatan jaksa agung dalam skandal korupsi juga bukanlah isapan jempol semata. Walhasil, rakyat makin sulit mencari keadilan karena hukum selalu tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Pangkal persoalan saat ini bukan hanya korupsi semata yang dianggap sebagai pangkal dari seluruh persoalan di  negeri ini. Namun kemiskinan yang makin akut dan buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan, misalnya, dianggap berpangkal dari korupsi para pejabat dari level pusat hingga akar rumput.

Para pejabat seolah berlomba-lomba melakukannya demi kepentingan pribadi dan partainya. Tidak peduli rakyatnya mati kelaparan, mereka saling melindungi agar bisa mengerat lebih banyak lagi.

Seluruh kebijakan sulit berhasil sebab implementasinya yang selalu saja berbenturan dengan korupsi. Pembangunan infrastruktur menjadi buruk lantaran digerogoti tikus-tikus berdasi.

Kemaslahatan pembangunan pun bukan untuk rakyat melainkan untuk oligarki. Jika untuk rakyat, yang masif dibangun harusnya bukan jalan tol yang beruas-ruas, bandara internasional, pelabuhan internasional, ataupun kereta api cepat yang mewah, melainkan jembatan dan jalan antardesa, bangunan sekolah, puskesmas dan lain-lainnya.

Gara-gara korupsi, rakyat makin sengsara, hidupnya penuh penderitaan. Kebutuhan hidup rakyat yang seharusnya dibantu oleh pemerintah, malah sebaliknya justru mencekik rakyat.

Alih-alih subsidi makin banyak diberikan untuk rakyat miskin, pemerintah malah justru terus menambah pajak. Pajak sembako, pajak nasi bungkus, pajak pulsa diberlakukan di tengah gaya mewah para pejabat pajak yang makin mengiris rasa keadilan rakyat.

Jika kita menelaah korupsi di negeri demokrasi fenomena korupsi di tubuh pemerintah yang telah ada dari mulai awal kemerdekaan negeri ini, kita bisa melihat pangkal dari semua itu adalah akibat penerapan sistem demokrasi. Setidaknya ada tiga alasan demokrasi dikatakan sebagai pangkal dari maraknya korupsi.

Pertama, demokrasi adalah sistem politik yang berasaskan sekularisme. Agama bukan menjadi pedoman dalam berpolitik, tetapi hanya pelengkap dan digunakan sesuai kepentingan. Di dalam sistem demokrasi, agama hanya dijadikan pendulang suara alias politik identitas.

Gara-gara sekularisme, para kandidat yang akan bertarung memperebutkan jabatan hanya memiliki tujuan dunia, yaitu perolehan harta dan kuasa. Mereka tidak mengerti agama sehingga tidak menjadikan jabatan sebagai amanah yang akan mengantarkan pemegangnya pada keberlimpahan pahala. Maka jadilah korupsi dianggap salah satu jalan menjemput rezeki.

Kedua, kontestasi demokrasi yang mahal menjadikan para kandidat harus menggandeng pengusaha. Bukan rumor, untuk menjadi bupati saja harus ada uang puluhan miliaran, apalagi untuk menjadi anggota dewan dan presiden. Inilah yang nantinya akan melahirkan politik transaksional. Setelah kandidat menjabat, ia akan disibukkan untuk mengabdi kepada para sponsornya. Bukankah ini yang mengantarkan pada makin maraknya korupsi?

Ketiga, sistem pemerintahan demokrasi yang membagi kekuasaan menjadi tiga mengantarkan pada keterpurukan hukum. Hukum kerap dikangkangi oleh kepentingan politik. Lihat saja pemilihan ketua KPK dan jaksa agung, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik. Hukum tumpul pada kawan politik dan tajam pada lawan politik. Ditambah lagi, hukuman bagi koruptor begitu ringan. 

Jaksa Pinangki yang merugikan negara triliunan rupiah hanya dipenjara dua tahun. Bukankah ini pula yang akan makin mengencangkan arus korupsi? Para koruptor merasa aman untuk melipat uang sebab penegak hukumnya adalah kawan sendiri. Sistem Islam sangat berbeda dengan sistem Islam.

Dalam Islam ada tiga pilar sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, memiliki sejumlah aturan yang telah terbukti mampu menyelesaikan persoalan korupsi di tubuh pejabat.

Pertama, sistem politik Islam berlandaskan akidah Islam. Para politisi menginginkan jabatan bukan untuk kepentingan dunia, tetapi kepentingan akhirat. Ini karena Allah SWT menghadiahkan surga bagi para pemimpin yang amanah dalam mengurusi umat.

Kedua, kekuasaan di dalam sistem politik Islam bersifat tunggal, yakni di tangan Khalifah. Ini akan menghilangkan potensi korupsi anggaran dan terciptanya oligarki. Kontestasinya tidak membutuhkan para cukong politik. Pembuatan anggaran pun langsung di bawah kontrol Khalifah.

Ketiga, Islam memiliki tiga pilar dalam menegakkan aturan, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan penerapan aturan dalam negara. Walhasil, Islam akan mampu menyelesaikan kasus korupsi dengan tuntas.

Ketakwaan individu akan menjadikan para pejabat tergiur pada pahala, bukan harta. Dari sini, ada kontrol internal untuk pencegahan dari tindak korupsi. Selanjutnya, kontrol masyarakat dan sesama pejabat. 

Mayoritas pejabatnya bersih sehingga mereka tidak akan segan melaporkan pejabat lain yang terlibat korupsi. Begitu pun rakyat, akan terus mengawasi dan memuhasabahi para penguasa yang lalai akan amanahnya dan terjerumus pada dosa korupsi. Kemudian penerapan aturan yang sesuai syariat oleh negara dan pemberian sanksi yang tegas. Aturan Allah tidak akan menimbulkan celah untuk terjadinya korupsi.

Sistem sanksi dalam Islam pun sangat menjerakan. Hukuman bagi para koruptor termasuk takzir, yaitu bentuk dan kadarnya ditentukan oleh Khalifah. Bisa berupa penjara hingga hukuman mati jika terbukti menyebabkan dharar bagi umat.

Inilah yang akan menjerakan pelaku dan secara otomatis akan menghentikan tindak pidana korupsi.Oleh karenanya, persoalan negeri ini adalah korupsi dan pangkal korupsi adalah penerapan sistem demokrasi yang berasaskan sekuler.

Dengan demikian untuk menyelesaikannya, harus menggantinya dengan sistem politik yang berlandaskan akidah Islam agar negeri tanpa korupsi akan benar-benar terwujud di negeri ini.

Wallahu ‘alam bisshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post