UU Perampasan Aset, Mampukah Mencegah Korupsi?


Oleh Rosmita
Pemerhati Kebijakan Publik

Kasus korupsi bukan hal yang asing lagi. Bahkan saking maraknya kasus korupsi di negeri ini, seolah sudah menjadi tradisi. Mulai dari pejabat, anggota dewan, atau ASN berlomba-lomba untuk memperkaya diri dengan cara korupsi. Yang lebih mirisnya lagi, korupsi dilakukan secara berjamaah. 

Meski sudah banyak koruptor yang tertangkap, tapi nyatanya tidak membuat jera pejabat lainnya untuk melakukan korupsi. Berbagai wacana digulirkan untuk mencegah korupsi, mulai dari hukuman mati bagi para koruptor hingga Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.

Sebenarnya Indonesia telah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melawan korupsi pada tahun 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006, namun hingga kini belum ada aturan baku tentang perampasan aset pelaku korupsi. 

Kini RUU Perampasan Aset kembali mencuat setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,  dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD membahas transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun. Mahfud MD meminta permohonan khusus kepada Komisi lll DPR terkait persetujuan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. (Kompas, 1/4/2023) 

Mampukah UU Perampasan Aset Mencegah Korupsi?

Kasus korupsi di negeri ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Ibarat penyakit kronis yang terus menggerogoti negeri ini dan membuat negeri ini berada di ambang kebangkrutan. Sudah tidak terkira banyaknya kerugian negara akibat korupsi. Contohnya saja tiga kasus korupsi terbesar di Indonesia yaitu Surya Darmadi sebesar Rp 78 triliun, lalu  mega korupsi Asabri dengan nilai Rp 23 triliun, kemudian Jiwasraya yang mencapai Rp 17 triliun. 

Belum lagi korupsi berjamaah yang dilakukan oleh anggota DPRD dan pejabat daerah seperti korupsi APBD Sumatera Barat pada tahun 2002 yang merugikan negara sebesar Rp 6,48 miliar. Kemudian korupsi APBD Sumatera Utara senilai Rp 10,4 miliar. Dan masih banyak lagi kasus korupsi lainnya, baik yang sudah terungkap maupun yang belum terungkap. 

Bahkan baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 10 tersangka kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 

Melihat banyaknya kasus korupsi di negeri ini menjadi bukti ada yang salah dengan sistem yang diterapkan oleh negara ini. Sistem ini melahirkan hukum yang lemah dan tidak menimbulkan efek jera, para pejabat bermental korup dan mudah dibeli, hingga pemilihan pemimpin berbiaya tinggi. Maka tidak heran bila korupsi tumbuh subur di negeri ini, bahkan menjadi cita-cita para pejabat terpilih. 

Dengan demikian sudah jelas bahwa korupsi adalah masalah yang tersistemis, maka untuk mengatasinya tidak cukup hanya dengan UU Perampasan Aset semata, tetapi harus dari akarnya yaitu mengganti sistem yang batil dengan sistem yang sahih. Sistem yang berasal dari Sang Pencipta yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam yaitu Islam. 

Cara Islam Mencegah Korupsi

Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dari mulai bangun tidur hingga bangun negara. Dalam upaya memberantas korupsi, Islam punya cara sendiri sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. 

Pertama, memberi gaji yang layak bagi para pejabat agar mereka menjalankan tugas sebaik-baiknya tanpa harus memikirkan kebutuhan hidupnya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak 

mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan siapa saja yang mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR. Abu Dawud) 

Kedua, melarang para pejabat menerima suap atau hadiah. Seperti sabda Rasulullah saw. “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad)

Ketiga, menghitung harta kekayaan para pejabat di awal dan di akhir masa jabatannya. Apabila ada kelebihan harta yang tidak wajar, maka akan diserahkan ke Baitul mal. 

Keempat, membina ketakwaan individu termasuk para pejabatnya, sehingga mereka memiliki mindset bahwa jabatan yang mereka emban adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. 

Kelima, memberikan hukuman yang setimpal bagi para koruptor sehingga memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lainnya agar tidak melakukan hal yang sama. Hukuman berupa pewartaan identitas koruptor, kemudian memecatnya, lalu menyita seluruh hartanya, kemudian diberikan hukuman penjara, potong tangan atau bahkan hukuman mati. 

Keenam, menyuburkan ammar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat agar masyarakat melakukan pengawasan kepada para pejabat. Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab diawal kepemimpinannya, "Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, maka luruskan aku walaupun dengan pedang."

Inilah cara Islam mencegah korupsi, semoga bisa segera diterapkan di negeri ini. Wallahualam bissawab. []

Post a Comment

Previous Post Next Post