"The Mukaab" dan Ambisi Saudi menjadi Kiblat Ekonomi Dunia


Oleh Sartinah
(Pegiat Literasi)

Ambisi Arab Saudi untuk menjadi pemimpin dunia dalam bidang pariwisata, teknologi, dan industri kreatif kian tak terbendung. Berbagai proyek megah dengan dana fantastis pun terus dibangun. Mulai dari kota futuristik NEOM, proyek Laut Merah, resort super megah Amaala di pantai barat laut Arab Saudi, proyek warisan budaya di Ad Diriya, serta taman hiburan mewah Qiddiya. Teranyar, Saudi kembali membangun proyek fantastis yang bertempat di Ibu Kota Riyadh bernama "The Mukaab".

Dana Fantastis

Proyek The Mukaab merupakan bagian dari New Murabba yang bertujuan memodernisasi Ibu Kota Riyadh. Dikutip dari Arab News, The Murabba akan didirikan di hamparan luas lantai yang mencapai 25 juta kilometer persegi dengan spesifiknya, 1,4 juta meter persegi perkantoran, 1,8 juta meter persegi fasilitas publik, 980.000 area perbelanjaan, 104.000 hunian, dan 9.000 kamar inap hotel. (Tempo.co, 22/02/2023)

The Murabba akan menawarkan fasilitas universitas teknologi dan desain, teater serbaguna, museum, area hijau dan pejalan kaki, serta 80 tempat hiburan, dan di tengahnya akan dibangun "The Mukaab". The Mukaab dalam bahasa Arab berarti kubus, sebagaimana dilansir Arab News. Jika terealisasi, proyek ini akan menjadi pusat kota modern terbesar di dunia yang berada di Riyadh.

Dalam video promosinya, The Mukaab disebut mampu menampung 20 Empire State Building sekaligus, saking luasnya wilayah tersebut. Bangunan kubus raksasa ini akan memiliki tinggi, panjang, dan lebar masing-masing 400 meter. Tak ketinggalan, bangunan yang didesain dengan gaya arsitektur khas Najh tersebut, nantinya akan ditutup dengan muka segitiga tumpang tindih (fasad). Najd adalah tanah leluhur di sisi Arab Tengah dari dinasti Al Saud. (Tempo.co, 22/02/2023)

Proyek tersebut akan berlokasi di barat laut Riyadh, di area sekitar 19 kilometer persegi. Middle Fast Monitor menyebut, pembangunan The Mukaab yang berbarengan dengan pendirian kota pintar futuristik NEOM diperkirakan menelan biaya sebesar US$500 miliar atau setara Rp7.600 triliun. Pembangunan kota super mahal tersebut juga mencakup kota besar The Line yang mencapai 170 kilometer. 

Menuai Kontroversi

Kepemimpinan Muhammed bin Salman memang nyaris selalu diwarnai kontroversi. Baik soal pelonggaran aturan di bidang agama dan budaya, maupun terkait liberalisasi ekonominya demi menyukseskan Visi Saudi 2030. Salah satunya adalah keputusannya membangun proyek The Mukaab. Banyak kalangan menilai desain The Mukaab yang dipilih oleh MbS menyerupai bangunan Ka'bah yang merupakan kiblat dan situs suci umat muslim. Tak ayal, bangunan tersebut pun dikritik banyak pihak.

Salah satunya adalah kritik dari seorang akademisi bernama Dr. Muhammad Al Hachimi Al Hamidi, yang mengunggah cuitannya di Twitter dengan sebuah pertanyaan, "Apakah Muhammed bin Salman akan membangun Ka'bah sendiri di Riyadh? Ini adalah desain yang dipilih untuk proyek terbarunya yakni sebuah Ka'bah!"

Tak hanya desain The Mukaab yang menuai banyak kecaman. Dalam pembangunan megaproyek lainnya pun, pemerintah Saudi diduga melakukan pelanggaran terhadap hak-hak sipil. Misalnya saja dalam pembangunan kota pintar futuristik NEOM. Mengutip laporan Middle East Eye, setidaknya ada 47 warga dari suku Howeitat di Arab Saudi yang ditahan aparat kepolisian setempat karena menolak penggusuran guna memberi jalan bagi proyek NEOM. Bahkan, sebuah organisasi hak asasi manusia (HAM) Alqst, sampai menerbitkan tulisan bertajuk The Dark Side of NEOM yang menjelaskan nama-nama yang 'dihilangkan' akibat kegigihannya menentang proyek tersebut. 

Ilusi Kemandirian 

Pembangunan proyek The Mukaab dan megaproyek super mahal lainnya memang sejalan dengan Visi Saudi 2030. Visi 2030 sendiri merupakan rencana Arab Saudi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor minyak bumi yang selama ini menjadi sumber utama pemasukan negara. Termasuk mendiversifikasi ekonomi, serta mengembangkan sektor layanan umum seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata. 

Semua demi mewujudkan misi Arab Saudi agar tidak sekadar menjadi pusat dunia Arab dan Islam, tetapi juga sebagai kekuatan investasi dunia dan pusat yang menghubungkan benua Asia, Afrika, dan Eropa. Namun perlu diingat, upaya untuk mendiversifikasi minyak dan ekonomi dengan membangun proyek The Mukaab dan semacamnya tetaplah tidak memiliki jaminan bahwa lokasi tersebut akan memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan pusat komersial lainnya. Sebut saja Dubai dan Singapura atau pusat-pusat manufaktur lainnya yang lebih dahulu maju seperti di Asia, Eropa, maupun Amerika Utara. 

Sejatinya proyek The Mukaab yang menjadi bagian dari NEOM, bukanlah megacity modern pertama yang dibangun Arab Saudi dalam satu dekade terakhir. Sebelumnya ada King Abdullah Economic City yang berada di luar Jeddah dan dibangun Arab Saudi pada 2005 silam. Para pengamat menilai, pembangunan proyek-proyek tersebut tidak akan banyak membantu mewujudkan masa depan ekonomi yang berkelanjutan serta kemandirian dalam jangka panjang. 

Justru, proyek-proyek ini dan yang sejenisnya hanya akan menciptakan ketergantungan pada perusahaan-perusahaan Barat, negara-negara, serta berbagai lembaga yang memiliki kendali atas sumber daya Arab Saudi. Lihat saja Arab Saudi saat ini, meski kekayaan negaranya melimpah tetapi manufaktur, persenjataan, keahlian, dan bakat masih sangat bergantung pada Barat. Hal ini disebabkan karena ketidaksempurnaan visi tentang bagaimana mengelola negara dan rakyatnya. Dengan demikian, meniru kapitalisme model Barat bukanlah solusi terbaik bagi masa depan ekonomi Arab Saudi.

Wujud Kemunduran

Upaya liberalisasi dan sekularisasi yang gencar dilakukan Muhammed bin Salman (MbS) baik dalam bidang ekonomi, budaya, maupun agama, sejatinya menunjukkan kegagalan Arab Saudi untuk bangkit menjadi negara besar. Mungkin saja MbS dan negara-negara penganut kapitalisme pada umumnya menilai bahwa mereka akan bangkit dengan mengadopsi ideologi sekuler dan liberal yang dianut Eropa dan Barat.

Padahal, apa yang dilakukan MbS pernah dilakukan sebelumnya oleh Kemal Attaturk, sang penghancur Khilafah Islam. Attaturk berambisi menjadikan Turki lebih modern dengan merombak banyak aturan Islam di dalam negerinya. Sayangnya, Turki tidaklah lebih bangkit dan maju ketimbang saat masih dalam bentuk negara Khilafah di masa-masa kejayaannya saat itu. 

Turki saat ini adalah negara sekuler yang mundur. Alih-alih bangkit, negara itu justru makin melebarkan pintu-pintu kemaksiatan. Di sisi lain, sekularisasi dan liberalisasi yang diemban Turki, makin menjadikannya tergantung pada Barat. Contohnya saja krisis ekonomi yang tengah dialami Turki saat ini dengan anjloknya mata uang Lira, sejatinya tidak bisa dilepaskan dari keterikatan negara itu dengan kapitalisme global.

Karena itu, jika Muhammed bin Salman menganggap bahwa sekularisasi dan liberalisasi yang banyak diemban oleh negara-negara Barat akan membuat Arab Saudi bangkit, maka hanya soal waktu untuk mengalami nasib yang serupa dengan Turki.

Kebangkitan Semu

Memang benar bahwa negara-negara Barat dengan ideologi kapitalismenya telah bangkit dan menjelma menjadi negara adidaya di dunia. Namun, kebangkitan tersebut tidak didasarkan pada landasan yang benar. Sebut saja Amerika Serikat, Inggris, dan lainnya yang notabene menganut ideologi kapitalisme, telah menjadi kaya raya dengan merampok kekayaan negara lain. Tentu saja perampokan legal dengan kekuatan ekonomi yang dimilikinya, yakni melalui Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), serta pasar bebas.

Selain tidak didasarkan pada landasan yang sahih, ideologi kapitalisme yang dianut mayoritas negara Barat telah gagal menciptakan keamanan dan kedamaian dunia. Lihatlah berapa banyak kerusakan yang ditimbulkan akibat penerapan kapitalisme. Hal ini pun terjadi pada Arab Saudi. Atas nama liberalisasi dan sekularisasi, Arab Saudi telah melonggarkan berbagai aturan konservatif di dalam negerinya.

Sebut saja izin pemakaian bikini di pantai privat di kawasan King Abdullah City serta bolehnya pria dan wanita yang bukan mahram bercengkerama di depan publik selama masih berada di seputaran wilayah pantai tersebut. Ditambah pula dengan izin bagi laki-laki dan perempuan asing untuk tinggal bersama selama berlibur di kerajaan Saudi. Termasuk izin penjualan minuman keras di Kota NEOM bagi mereka yang berumur di atas 21 tahun. Fakta-fakta tersebut makin menegaskan bahwa kebangkitan suatu negara di bawah ideologi kapitalisme tidaklah melahirkan kebaikan bagi manusia.

Kebangkitan Hakiki

Sesungguhnya persoalan kebangkitan tidak hanya semata-mata dilihat dari berlimpahnya materi seperti kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan, maupun pesatnya pembangunan infrastruktur. Namun, kebangkitan suatu negara haruslah dilihat apakah kebangkitan tersebut sahih atau tidak. Kebangkitan yang sahih adalah kebangkitan yang disandarkan pada ideologi Islam. 

Kebangkitan berdasarkan ideologi Islam bukan hanya menciptakan negara adidaya dari aspek sains dan teknologinya, tetapi juga melahirkan kebaikan pada semua manusia. Kebangkitan semacam ini hanya bisa terjadi jika Islam dijadikan sebagai landasan untuk mengatur seluruh urusan manusia. Hanya dengan syariat Islam pula, kaum muslim akan mencapai kemajuan dalam segala aspek kehidupan sebagaimana yang pernah diraih pada masa kejayaannya dahulu.

Saatnya setiap orang merenungkan firman Allah Swt. dalam surah As-Saff ayat 9, "Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama, meskipun orang-orang musyrik membencinya."
Wallahu a'lam

Post a Comment

Previous Post Next Post