Budaya Kekerasan Sadis Buah Sistem Kapitalis


Oleh Nur Fitriyah Asri
Pegiat Literasi Akademi Menulis Kreatif

Miris, berita kekerasan saban hari mengguncang negeri ini. Fenomena penganiayaan sadis yang dilakukan oleh MDS alias Dandy (20), anak mantan Direktorat Jenderal Pajak, kepada CDO alias David (17), anak pengurus pusat GP Ansor. Tentu, menyedot perhatian publik dan menjadi viral di sosial media. Penganiayaan bermula saat Dandy marah lantaran mendengar kabar dari seorang wanita (APA) yang menyebut pacarnya AGH (15) mendapat perlakuan tidak baik dari David. Selanjutnya, David dianiaya dan mengalami koma selama 4 hari. 

Penganiayaan sadis berbuntut AGH dikeluarkan dari sekolahnya, begitu pula Dandy dikeluarkan dari kampusnya. Tidak hanya itu, Dandy dan temannya dijadikan tersangka dan mobil mewah Jeep Rubicon bernilai ratusan juta berplat palsu menjadi barang bukti. Sementara itu, ayah Dandy dicopot dan mengundurkan diri dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Berlanjut dalam penyelidikan dan pemeriksaan terkait kepemilikan kekayaan yang fantastis hingga Rp56 miliar. Uang pajak milik rakyat? (Kompas.tv/Ant. 23/2/2023)

Banyaknya kasus penganiayaan sadis merebak di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Seakan sudah membudaya terutama di kalangan remaja. Contohnya, siswi SMP di Bone Sulawesi Selatan, yang sempat dirawat di rumah sakit berujung kematian akibat diperkosa beramai-ramai oleh teman sekolahnya.

Fenomena banyaknya kasus kekerasan sadis yang terjadi pada remaja, menggambarkan betapa rusaknya tatanan kehidupan di negara ini. Banyak faktor penyebabnya, di antaranya:

1. Gagalnya sistem pendidikan dalam membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami (berkepribadian Islam). Semua ini akibat kurikulum yang meminggirkan peran agama. Agama diberikan porsi sangat minim hanya dua jam pelajaran setiap pekannya. Wajar, jika anak didik tidak mengenal agamanya sehingga berperilaku amoral dan tidak  berakhlak. Hal lumrah, jika mendorong pergaulan bebas, tingginya dispensasi nikah dini karena hamil di luar nikah. Ketidaksiapan sebagai orang tua inilah faktor penyebab rusaknya generasi dan hancurnya peradaban. 

2. Mahalnya biaya pendidikan menjadikan orientasi sekolah bukan lagi tempat menimba ilmu. Namun, untuk mencari pekerjaan dan mendorong balik modal. Inilah penyebab maraknya korupsi sebagaimana yang dipertontonkan oleh perpajakan juga institusi lainnya. Gampangnya mencari uang memicu gaya hidup mewah dan hilangnya empati. Sebab, dengan membiasakan anak mendapatkan sesuatu dengan mudah akibatnya anak memiliki interaksi sosial yang buruk, tidak pandai bersyukur, dan memandang sebelah mata pada orang lain.

3. Gagalnya pola asuh orang tua. Ditengarai dengan tidak berhasilnya orang tua menanamkan akidah dan meletakkan dasar perilaku terpuji pada anaknya. Ironisnya, para orang tua lebih mengedepankan urusan duniawi dari pada kehidupan akhiratnya. Sehingga banyak orang tua terlalu memanjakan atau overprotective pada anaknya. 

Akibatnya, membuat anak menjadi ketergantungan pada orang tuanya, anak sulit mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, lemah akal, mudah menyerah, dan tidak bertanggung jawab karena terjebak zona nyaman. Apalagi, sikap pembiaran orang tua terhadap kesalahan anak. Hal ini membuat anak bersifat semena-mena, egois, selalu ingin menang sendiri, mudah sakit hati, dan mudah berbuat anarkhis. Itulah karakteristik generasi stroberi yang digambarkan oleh Prof. Rhenald Kasali, Ph.D., Guru Besar FEUI, penulis, dan pengusaha.

Sistem Kapitalis Penghancur Peradaban

Sejatinya semua itu, buah dari sistem kapitalis dengan sekularismenya. Kapitalisme adalah ideologi yang diemban oleh negara Barat untuk menjajah dan menjarah negeri-negeri muslim. Lebih dari itu, penghancur peradaban agar umat Islam tidak kembali bangkit. Kapitalisme yang berasaskan sekularisme inilah sebagai alat penjajahan. Nyata benar kerusakan yang ditimbulkannya.

Akibat negara ini mengadopsi sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama tidak dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Melainkan, aturan yang diterapkan  adalah bersumber dari akal manusia yang terbatas, berdasarkan pada asas manfaat dan kepentingan.

Wajar, jika negara justru menganut paham kebebasan (liberalisme) dan memfasilitasi apa pun yang dapat menghasilkan uang atau materi tanpa mempertimbangkan risikonya. Derasnya arus media digital berhasil menerobos bilik-bilik keluarga, seperti, ide-ide kufur, konten-konten pornografi dan pornoaksi. Alih-alih negara memberikan pendidikan dan membekali pengasuhan yang baik. Justru yang ada malah menjauhkan rakyatnya dari agamanya, apalagi hukum dapat diperjualbelikan. Walhasil, tak heran jika penganiayaan sadis membudaya di kalangan remaja, ini merupakan indikasi hancurnya peradaban.

Sistem Islam Solusi Tuntas

Sangat berbeda dengan sistem Islam (Khilafah) yang bersumber pada aturan Allah Swt. Sistem yang berasaskan akidah Islam dalam semua aspek kehidupan. Menuntut pemeluknya menyadari bahwa semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

Pemahaman tersebut akan menjaga semua individu muslim untuk senantiasa menjaga perbuatannya sesuai dengan aturan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, negara wajib menjadi perisai bagi semua warga negaranya. Serta wajib menerapkan aturan Islam secara kafah (menyeluruh), sebagaimana firman Allah dalam (QS. Al-Baqarah ayat 208), yakni dengan:

Pertama, menerapkan sistem pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam, pemuda atau remaja adalah tulang punggung negara. Oleh karena itu, Islam mewajibkan semua elemen baik keluarga maupun masyarakat dilibatkan untuk membentuk kualitas generasi terbaik menjadi garda terdepan peradaban Islam.

Oleh sebab itu, 
pendidikan dalam keluarga sangat penting. Orang tua tidak hanya membekali anaknya agar dapat mengarungi kehidupan di dunia, tetapi juga selamat di akhirat. Dalam pendidikan keluarga, Islam mewajibkan seorang ibu bertanggung jawab sebagai ummun wa rabbatul bait, yakni pendidik yang pertama dan utama serta pengatur rumah tangganya.

Tuntutan tersebut akan diintegrasikan dalam sistem pendidikan menjadi bagian kurikulum pada semua jenjang pendidikan. Mengingat, setiap individu baik laki-laki atau perempuan akan menjadi orang tua. 

Pendidikan dalam perspektif Islam  bertujuan untuk:
1. Membentuk kepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola sikapnya dilandaskan pada akidah Islam.

2. Menguasai tsaqafah Islam. Untuk itu, setiap muslim harus berilmu dengan menyadari bahwa menuntut ilmu adalah wajib.

3. Menguasai ilmu kehidupan (sains, teknologi, dan keahlian) yang memadai. Dengan demikian dapat menjalankan fungsinya dengan baik sebagai khalifah Allah di muka bumi.

Sedangkan pendidikan dalam masyarakat, Islam memiliki budaya khas yaitu amar makruf nahi munkar. Masyarakat berperan aktif mengawasi anggota masyarakat lain dan penguasa dalam melaksanakan syariat Islam.

Kedua, Khilafah akan mengatur sistem sosial, yakni terkait interaksi antara laki-laki dan wanita. Dengan demikian, tidak terjalin hubungan-hubungan yang dilarang oleh hukum syarak, seperti pacaran, berkhalwat (berduaan yang bukan muhrimnya), berikhtilat (campur baur), dan lainnya.

Ketiga, Khilafah akan mengatur media. Dalam Islam media memiliki fungsi strategis di antaranya sebagai sarana edukasi (mendidik) masyarakat agar makin paham syariat.

Keempat, Khilafah memberlakukan sanksi hukum tanpa melihat status. Bagi pelanggar syariat yang berusia baligh, dan berakal akan dikenai sanksi hukum tanpa pandang bulu.

Untuk kasus penganiayaan sanksinya berupa jinayah yaitu hukuman setimpal (qishas), karena sudah membahayakan nyawa orang lain. Sedangkan kasus kekerasan, qadhi akan memutuskan perkaranya sesuai dengan sanksi ta'zir.

Adapun untuk pemerkosaan, pelaku akan diberikan sanksi hudud ghairu muhshan (belum menikah), yakni dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun.

Sanksi hukum Islam bersifat tegas dan adil yang tidak dimiliki oleh sistem pemerintahan mana pun. Karena bersifat sebagai jawabir (penebus siksa di akhirat) dan sebagai jawazir, artinya mencegah terjadinya tindak kriminal yang baru karena memberikan efek jera bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain.

Walhasil, hanya sistem Islam (khilafah) yang mampu menggantikan sistem kapitalis yang rusak dan merusak peradaban. Dengan diterapkan syariat Islam secara kafah tidak hanya kekerasan dan penganiayaan sadis yang bisa dicegah dan diberantas. Namun, semua problem akan tersolusi tuntas. Dengan demikian, akan lahir generasi khairu ummah. Dimana para pemudanya menjadi garda terdepan menyongsong kebangkitan dan membangun peradaban Islam yang mulia.

Wallahualam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post