Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah
Orang-orang yang membenci ajaran Islam tidak pernah berhenti menstigmatisasi ajaran Islam. Mulai dari dikatakan radikal, intoleran, ekstremisme hingga dikatakan terorisme. Seperti yang terjadi beberapa minggu lalu seorang oknum guru Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kecamatan Kota Sampang, Kabupaten Sampang, Jawa Timur ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Mabes Polri atas dugaan teroris.
Guru tersebut berininsial S bertugas sebagai wali kelas, namun kepala sekolah di sekolah tersebut memberikan tanggapan terkait hal ini bahwa S selama ngajar di sekolah tersebut tidak pernah menunjukan gelagat aneh, "Sikap dan bicaranya baik, sepertinya mustahil jika ada kaitannya dengan teroris," ungkapnya. (Kompas.com, 17/10/22).
Selain dari itu, di kabupaten Sumenep-Jawa Timur pun, Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap tiga terduga teroris. Kabar mengenai penangkapan terduga teroris tersebut dibenarkan oleh Kapolres Sumenep AKBP Eko Edo Satya. Dengan penangkapan itu, pihaknya berharap tidak ada lagi pihak-pihak di Kabupaten Sumenep yang mengarah pada radikalisme.(Kompas.com, 18/10/2022).
Pemerintah tidak pernah berhenti memberikan stigmatisasi Islam dan khilafah sebagai ajaran radikal dan penyebab terorisme. Hal ini semakin membuktikan bahwa yang diincar oleh pemerintah adalah Islam itu sendiri. Karena, terbukti kekerasan yang dilakukan oleh pihak lain seperti pendeta, bahkan KKB yang mengakibatkan banyak korban tewas sekali pun, tidak pernah disebut sebagai terorisme.
Siapa pun bisa mendapatkan tuduhan keji ini, meskipun tidak pernah jelas latar belakangnya, demikian juga penanganan kasusnya. Oleh karena itu, narasi radikal hingga terorisme tidak lain adalah narasi politik yang terus dikampanyekan oleh rezim. Sasaran yang dituduh tiada lain adalah salah satu kelompok yang mendakwahkah syariat dan khilafah.
Padahal mendakwahkan syariat dan khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam bukan ajaran suatu kelompok tertentu. Islam melarang siapapun yang menstigma ajarannya termasuk ajaran tentang khilafah. Orang-orang yang mendakwahkan syariat Islam pun bukanlah orang-orang yang jahat apa lagi pemecah belah umat.
Islam merupakan agama yang diakui oleh konstitusi dan diberikan jaminan untuk menjalankan ajaran agamanya sesuai keyakinan. Sebagaimana yang tercantum dalam UU Pasal 28E ayat 1 tahun 1945 siapapun yang menyudutkan ajaran Islam termasuk dikategorikan tindak pidana penistaan agama. Artinya ajaran Islam tetap sah di negeri ini apa lagi mendakwahkannya tentu diperbolehkan.
Definisi terorisme pertama kali diciptakan pada tahun 1790-an, untuk merujuk pada teror yang digunakan selama Revolusi Perancis oleh kaum revolusioner terhadap lawan mereka. Terorisme muncul pada abad ke-19 menjelang perang dunia pertama, terjadi hampir di seluruh belahan dunia baik di Amerika, Rusia, juga Eropa. Sejarah mencatat pada tahun 1890 aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki yang berakhir terhadap pembunuhan massal terhadap warga Armenia pada perang dunia pertama, pada dekade tersebut aksi terorisme identik sebagai bagian gerakan sayap kiri yang berbasis ideologi. (Wikipedia.org).
Selain dari itu gelar terorisme ditujukan bagi kelompok atau individu yang melakukan penyerangan atau ancaman terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Namun di Indonesia akhir-akhir ini isu terorisme hanya drama yang dibuat-buat saja untuk memburukkan ajaran Islam. Pasalnya, tidak ada sama sekali tindakan teror atau ancaman yang dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu terhadap pemerintah.
Logikanya bagaimana mungkin seorang ibu berinisial S memakai pakaian syar'i lengkap dengan cadar, membawa alat tembak memasuki Istana. Padahal di dalam istana memiliki penjagaan yang ketat. Lagi pula ibu tersebut tidak melakukan penyerangan apapun di istana. Jadi, ini hanya akal-akalan mereka saja untuk memburuk-burukkan Islam. Sehingga, tidak ada lagi masyarakat yang mau mendalami Islam karena takut dianggap terorisme. Seperi ini pula cara mereka menghalangi dakwah kaum muslim yang mendakwahkan Islam kaffah yaitu dengan membuat masyarakat takut terhadap apa yang didakwahkan oleh individu atau kelompok tersebut.
Mari kita amati bersama bahwa sistem yang digembor-gemborkan saat ini adalah sistem demokrasi kapitalis. Sebuah sistem yang sudah jelas bertentangan dengan syariat Islam. Oleh karena itu, sebagai aktivis dakwah sudah jelas apapun yang bertentangan dengan syariat Islam harus digulingkan. Begitupula setiap kebijakan yang bertentangan dengan syara' pun harus dikritik dan dinasehati bahwa kebijakan ini bertentangan dengan syariat.
Untuk itulah para rezim yang anti Islam selalu berupaya menjegal dakwah itu dengan membuat berbagai propaganda atau memberi stigma negatif kepada Islam dan juga kepada pejuangnya. Rasulullah Saw dan para sahabat bahkan pernah mengalami kondisi demikian. Rasulullah pernah dikatakan orang gila, kitab Al-Qur'an pun disebut karangannya. Bahkan orang-orang mukmin pun senantiasa diejek dan disebut sebagai orang-orang yang sesat.
وَاِذَا رَاَوْهُمْ قَالُوْٓا اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ لَضَاۤلُّوْنَۙ
Artinya. "Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin), mereka mengatakan, “Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat." (QS. Al-Muthafifin: 32).
Stigma bahwa ajaran Islam merupakan penyebab terorisme merupakan cara berpikir orang-orang yang dangkal. Pasalnya metode dakwah yang dijalankan tidak pernah melalui kekerasan. Bahkan Islam tidak mengajarkan demikian. Semua cara itu hanya taktik mereka yang membenci Islam agar orang-orang berpaling dari ajaran Islam. Hal ini terbukti ketika tindakan kekerasan tersebut dilakukan oleh pihak lain nonmuslim misalnya, mereka tidak pernah dicap sebagai tindakan terorisme. Berbagai stigma itu hanya tertuju kepada kaum muslim yang ingin menegakkan syariat Islam secara kaffah. Allah SWT. berfirman dalam Qs. Al-Baqarah: 217
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا...
Artinya: "Orang-orang kafir tidak akan pernah berhenti memerangi kalian sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup...".
Untuk itulah kaum muslim sangat membutuhkan pemimpin yang taat terhadap Allah SWT dan institusi yang menerapkan Islam secara total, institusi itu adalah Khilafah. Sehingga umat Islam akan aman dan nyaman termasuk saat melakukan aktivitas dakwah.
Wallahualam Bishawwab.
Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah
Berbicara tentang perkembangan televisi mungkin sudah tidak bisa terlepas dari adanya TV analog. TV analog adalah salah satu media yang biasa digunakan untuk menyiarkan berbagai macam tayangan menarik di dunia entertain. Namun sejak tahun 2020 Kemenkominfo segera menghentikan siaran TV analog atau bisa disebut Analog Swicth Off (ASO) kemudian digantikan dengan TV digital.
Sejak tanggal 30 april 2022 di sebagian kota Pulau Jawa tidak bisa menikmati siaran TV analog. Ada 3 tahap pemberhentian yang dilakukan pemerintah, tahap pertama dilakukan pada tanggal 30 April 2022, kemudian dilakukan kembali pada tanggal 25 Agustus 2022 setelahnya dilakukan pada 2 November 2022.
Pemberhentian TV analog dengan menggantikan ke TV digital menuai banyak kritikan dari masyarakat. Rata-rata yang mengkritik adalah masyarakat yang memiliki ekonomi menengah ke bawah. Pasalnya, kebijakan ini terkesan lebih memaksa masyarakat untuk beralih ke TVdigital. Menko Polhukam Mahfud MD, menanggapi terkait dengan pengalihan TV analog ke TV digital, bahwa masih ada beberapa stasiun TV yang belum mematikan siaran analognya.
Mahfud mengatakan Analog Switch Off (ASO) merupakan perintah UU dan telah lama dilakukan serta dikoordinasikan dengan pemilik stasiun TV. Ia pun menegaskan jika masih ada stasiun TV yang menyalurkan siaran secara analog maka akan dianggap ilegal dan bertentangan dengan hukum. (Republika.co.id, 4/11/22).
Mahfud pun mengatakan pula bahwa siaran TV analog ke digital tersebut merupakan arahan dari The International Telecommunication (ITU) yang merupakan badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada bidang teknologi informasi dan komunikasi. (Ihram.co.id, 05/11/22).
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran mengungkapkan kewajiban penghentian siaran televisi analog paling lambat 2 November 2022 pukul 24.00 WIB (Pasal 97 ayat (1) b).
Peraturan Menkominfo No. 11 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran juga mengungkapkan kewajiban semua lembaga penyiaran untuk menyetop siaran analog pada 2 November 2022.
Untuk menonton televisi masyarakat Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) kini sudah beralih ke siaran TV digital. Sebab, antena konvensional saat ini sudah dimatikan pemerintah.
Walaupun demikian, pemberhentian TV analog atau Analog Switch Off (ASO) masih belum bisa diterima oleh masyarakat Gorontalo. Sebab sebagian besar masyarakat serambi madinah itu masih menggunakan TV analog. Selain dari itu pemberhentian secara serentak TV analog dinilai menyusahkan masyarakat. Pasalnya, masyarakat diminta membeli perangkat Set Top Box (STB) untuk bisa menikmati siaran TV digital, seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah bukan mematikan siarannya tetapi menghentikan penjualan TV analog. (Liputan6.com minggu 6/11/22).
Perubahan ke arah TV digital akan menyulitkan masyarakat karena ada komponen yang harus dibeli untuk dapat mengakses TV digital. Walaupun pemerintah menjanjikan akan memberikan alat Set Top Box secara gratis kepada masyarakat yang tidak mampu. Akan tetapi tidak lantas persoalan migrasi ini selesai begitu saja. Pasalnya tanpa membenahi dari segi akses akan ada masyarakat yang tidak mampu menjangkau siaran TV digital.
Jika diperhatikan setiap kebijakan pemerintah selalu saja menguntungkan pihak tertentu yaitu tiada lain pengusaha itu sendiri. Karena, kita bisa amati bahwa pemerintah menekan rakyat untuk membeli alat Set Top Box sehingga dari penekanan itu angka permintaan akan meningkat. Maka, angka produksi pun juga turut meningkat. Jadi jelas bahwa kebijakan ini bukan menguntungkan rakyat namun menguntungkan para korporasi. Perubahan ini sekaligus juga menunjukan bahwa UU Cipta Kerja tidak berpihak kepada kepentingan rakyat melainkan keberpihakan penguasa kepada korporasi.
Inilah wajah buruk pemerintah yang dikuasai oligarki. UU menjadi payung hukum untuk memuluskan kepentingan mereka. Mereka berdalih memberikan akses yang lebih baik kepada rakyat, agar kebijakan tersebut diterima masyarakat. Karena dengan menggunakan UU lah mereka bisa memaksa rakyat kelas bawah untuk menerima setiap kebijakan mereka.
Sangat miris, penguasa memaksa rakyat untuk membeli alat Set Top Box dengan dalih akan dikenakan pidana bagi rakyat yang masih menggunakan TV analog. Padahal masih banyak rakyat yang belum siap beralih ke TV digital, selain harga alat STB tersebut cukup mahal belum lagi harus membeli TV digitalnya. Tentu saja kebijakan ini mengecewakan rakyat karena pasalnya rakyat dituntut wajib beralih ke TV digital. Inilah yang dinamakan kezaliman.
Negara yang seharusnya melayani rakyat, faktanya menjadi perpanjangan tangan bagi pengusaha. Jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat menjadi dari penguasa oleh penguasa untuk pengusaha.
Ketika menerapkan kebijakan mereka tidak berpikir apakah kebijakan tersebut menguntungkan rakyat atau tidak? Rakyat menjadi sapi perahan bagi penguasa untuk memuluskan keinginan pengusaha.
Mewujudkan siaran TV yang bagus untuk diakses oleh seluruh masyarakat merupakan kewajiban bagi negara. Dalam Islam media didaulat sebagai sarana menebar kebaikan, alat kontrol dan sarana dakwah. Dengan kata lain media juga berfungsi sebagai benteng yang memiliki peran politis dan strategis serta sebagai benteng penjaga umat dan negara. Sehingga suasana ketaatan terus tercipta dan wibawa negara tetap terjaga
Televisi yang merupakan sumber informasi harus menyajikan tayangan yang meningkatkan ketakwaan umat. Isi tayangan harus yang berfaedah. Dalam negara Islam tayangan media berada di bawah wewenang Depertemen Al-I'lam (penerangan). Depertemen inilah yang akan membuat aturan demi kemaslahatan umat. Membantu membina masyarakat Islam dengan pemahaman yang kuat, lurus, dan bersih. Menyiarkan Islam, baik dalam keadaan damai maupun perang dengan menonjolkan sisi keagungan Islam. Menjelaskan kerusakan sistem buatan manusia.
Tidak boleh ada tayangan yang keluar dari panduan yang telah ditetapkan oleh depertemen Al-I'lam. Jika keluar dari yang ditetapkan oleh depertemen tersebut maka akan diberikan sanksi tegas dan berat kepada pemilik media yang melakukan pelanggaran atau penyimpangan. Negara pun menjamin tayangan televisi yang bisa diakses oleh seluruh kalangan masyarakat. Tidak ada dalam benak penguasa mau mengambil keuntungan dari setiap kebijakan. Mereka selalu mengedepankan kebutuhan umat. Bahkan pemerintah dalam negara Islam tidak akan pernah memberi celah bagi swasta atau siapa pun yang mau memanfaatkan masyarakat. Karena mereka memiliki ketakwaan dan rasa takut kepada Allah. Sebab setiap apa yang dipimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak. (Syeikh. Taqiyuddin an-Nabhani, Mukaddimah ad-Dustur Pasal 103-104).
Dengan sistem Islam dalam naungan khilafah akan terwujud tayangan yang berkualitas yang mendukung terciptanya masyarakat Islami. Masyarakat merasa aman dan tenang bebas dari kekhawatiran terhadap tayangan yang mendatangkan kemudaratan.
Wallahua’lam Bishawwab.
Oleh: Junari, S.I.kom
Berbagai perusahaan sepatu maupun tekstil dan perusahaan-perusahaan lainnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk menyelamatkan industri dari resesi. Sehingga ada ribuan pekerja buruh yang mendapatkan gelombang PHK dan dirumahkan. PHK merupakan opsi terakhir yang ditempuh perusahaan.
Adapun alasan pihak pabrik melakukan PHK karena perusahaan tidak lagi mampu menampung pekerja sebab kebanyakan perusahaan yang menjadi tujuan ekspor mengalami kerugian dan perlambatan ekonomi. Seperti Amerika Serikat, Eropa, dan China. Hal ini tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI). Penundaan dan pembatalan ekspor pun dilaporkan terus terjadi, bahkan sudah ada yang mengalami pembatalan sampai 50%. (CNBC Indonesia, 06/11/2022).
Dijelaskan bahwa perlambatan ekonomi negara maju dipengaruhi oleh geopolitik dan perang di kawasan Ukraina yang memicu tekanan inflasi yang tinggi. Selain itu, kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) diperkirakan lebih tinggi dengan siklus lebih panjang. (CNBC Indonesia, 06/11/2022).
Maka dari itu, dampak dari PHK massal meningkatkan angka kemiskinan dan pengangguran. Korban PHK tidak mampu lagi membeli dan memenuhi kebutuhannya. Sebab, sumber pemasukan utamanya telah tiada. Bahkan, efek dari PHK ini bukan saja kemiskinan melainkan angka kejahatan juga turut meningkat. Karena, orang orang yang tidak memiliki pekerjaan Akan mencari jalan pintas dalam memenuhi kebutuhannya. Seperti, mencuri, merampok, membegal, dll.
Alih-alih memberikan solusi atas membanjirnya PHK, penguasa malah terkesan tutup mata pada dampak kebijakan pabrik terhadap pekerjanya. Para pekerja yang di PHK dibiarkan terlunta-lunta dengan nasib yang tidak jelas. Negara juga tidak menyediakan lapangan pekerjaan yang lain sebagai pengganti. Hal ini karena periayahan negara tidak totalitas pada rakyat. Melainkan negara kita menjadikan rakyat hanya sebagai mesin robot saja, upah yang didapatkan tidak sebanding dengan peluh yang dikeluarkan. Salah satu bukti bahwa penguasa saat ini tidak peduli terhadap masa depan rakyatnya termasuk para buruh yaitu dengan adanya UU Omnibus Law.
Pada awalnya, undang-undang ini diklaim akan menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan perlindungan tenaga kerja. Namun, faktanya undang-undang ini justru merugikan pekerja, mereka hanya diberikan pesangon 0,5 %.
Inilah buah kebijakan sistem kapitalisme yang lahir dari pemisahan agama dari kehidupan atau sekulerisme. Sehingga, penguasa dalam meneken kebijakan hanya menurut asumsi dan kemaslahatan diri mereka beserta koleganya. Ketika kebijakan dinilai mampu membawa keuntungan untuk pihak mereka maka itu akan diterapkan. Perihal kemaslahatan untuk rakyat tidak menjadi prioritasnya penguasa saat ini. Sebagaimana yang terjadi pada buruh yang bekerja di berbagai industri, mereka mau dapat pemutusan hubungan kerja atau apapun penguasa tidak peduli. Kembali lagi karena masa depan para buruh bukan menjadi prioritas penguasa.
Jadi, apapun bentuk kebijakan dari penguasa yang mengatasnamakan rakyat itu hanyalah alibi semata. Karena, buktinya tidak ada satu pun kebijakan penguasa yang benar-benar menguntungkan rakyat. Seperti adanya UU Omnibus Law itu hanyalah omong kosong. Demikianlah potret kegagalan kapitalisme dalam menjamin dan melindungi hak-hak pekerja
Tentu hal ini berbeda dengan negara Islam dalam naungan khilafah. Negara khilafah memiliki kebijakan yang dapat menjamin hak para pekerja. Dalam kepemimpinan Khalifah mengenai kebijakan antara perusahaan dan buruh dibangun dari kontrak kerja (akad ijarah), dimana kedua belah pihak harus saling rida dalam memenuhi perjanjian. Ikhtiar dalam perjanjian pun saling menguntungkan. Perusahaan mendapatkan keuntungan dari jasa pekerja, dan pekerja mendapatkan keuntungan berupa upah yang disepakati.
Adapun cara menetapkan upah atau imbalan yaitu upah seorang ajir (pekerja) adalah kompensasi dari jasa pekerjanya yang disesuaikan dengan nilai kegunaannya. Perkiraan jasa seorang pekerja untuk diberikan, untuk penentuan upahnya dikembalikan kepada ahli yang memiliki keahlian menentukan upah. Bukan negara, bukan pula kebiasaan penduduk suatu negara. Para ahli tersebut, ketika menetapkan upah tidak memperkirakan berdasarkan produksi seorang pekerja, dan tidak pula memperkirakan berdasarkan batas taraf hidup yang paling rendah. Tidak boleh juga mengkaitkan dengan harga barang yang dihasilkan. (Syekh. Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham Al-Iqtishadiy Fil Islam).
Demikianlah kesempurnaan Islam dalam pengaturan urusan umat. Maka hanya dengan menerapkan Islam, segala kebijakan yang diterapkan oleh penguasa mampu menghantarkan kepada kemaslahatan umat. Dalam hal ini umat tidak ada pilihan lain untuk mengatasi problematika kehidupan termasuk nasib para buruh selain berharap pada Islam. Dengan kembali pada syariat akan memberikan kesejahteraan diantaranya kesejahteraan pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Sebab hal ini diurus langsung oleh pemimpin Islam dalam bingkai khilafah dengan penerapan syariat secara kaffah.
Wallahua'lam Bishawwab.
Miris, satu kata yang menggambarkan kondisi generasi hari ini. Betapa tidak moral generasi muda telah terkikis. Mereka seolah tumbuh menjadi anak yang kehilangan adab.
Beberapa waktu lalu beredar video pelajar di Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara (Sumut), menendang seorang nenek hingga tersungkur viral di media sosial (medsos). Kepada polisi, pelajar tersebut mengaku menendang nenek karena iseng. (Detik.com, 21/11/22)
Sebelumnya juga aksi bullying atau perundungan kembali terjadi di lingkungan pendidikan. Seorang siswa di SMP Baiturrahman, Kota Bandung, menjadi korban. Aksi perundungan tersebut terekam dalam sebuah video yang viral di media sosial.
Tampak seorang siswa memasang helm pada korban. Kemudian pelaku menendang kepala korban hingga terjatuh. Rekan korban yang ada di dalam kelas tersebut hanya melihat aksi bully tanpa berusaha melerai. Korban yang terjatuh juga dibiarkan dan malah ditertawakan oleh rekan-rekannya. Dari kabar yang beredar, korban sempat dilarikan ke rumah sakit. (KumparanNews, 20/11/2022)
Kepala Sekolah SMP Plus Baiturrahman mengakui adanya aksi perundungan sesama murid yang terjadi di sekolahnya. Dia pun mengecam aksi perundungan tersebut. Pihaknya sudah melakukan mediasi antara keluarga korban dan pelaku yang terlibat dalam aksi bullying.
Bullying pelajar terhadap seorang nenek menggambarkan betapa buruk sikap pelajar tersebut. Adab seorang penuntut ilmu sama sekali tidak tampak, padahal mereka adalah orang yang berpendidikan. Ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan yang ada hari ini. Sistem sekuler ini gagal dalam mencetak pelajar yang berakhlak mulia. Sehingga muncul perilaku tak beradab seperti tidak menghormati guru, orang tua, teman sebaya, termasuk terhadap orang yang sangat tua.
Di kasus lain, bullying antar pelajar tidak diselesaikan dengan tuntas, namun dengan kompromi, yang tidak memberi rasa keadilan kepada korban. Bahkan ada kecenderungan sekolah merahasiakan kasus bullying, dan tidak menyelesaikan dengan tuntas. Fakta ini jelas kontradiksi dengan program sekolah ramah anak. Ketidaksiapan sekolah dalam program tersebut membuat sekolah justru menyembunyikan kasus. Semua itu merupakan potret buruk sistem pendidikan Indonesia.
Tentu saja kita tidak ingin kasus bullying ini terus terjadi dan menimbulkan banyak korban. Semua masalah yang terjadi telah terbukti tidak mampu diselesaikan oleh sistem pendidikan hari ini. Maka, harus ada solusi tuntas atas persoalan tersebut. Solusi ini hanya ada dalam sistem Islam.
Sistem pendidikan Islam, yang menjadikan akidah sebagai landasan dan mampu menghasilkan siswa yaang berkepribadian mulia. Dalam Islam, perundungan adalah perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah Taala.
Dari aspek hukum positif, terdapat UU yang mengatur terkait perundungan, yaitu UU 23/2002 yang telah diubah dengan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan pasal 1 angka 1 UU yang dimaksud dengan “anak” adalah ‘seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan’. Terkait perundungan, juga telah diatur dalam pasal 76 C UU 35/2014. Namun, keberadaan UU dan sanksi ini tidak cukup efektif mencegah perundungan. Kenyataanya, kasus perundungan makin marak saja.
Dalam Islam, tidak ada istilah anak di bawah umur. Ketika sudah balig, ia menjadi mukalaf. Artinya, mereka sudah menanggung taklif hukum yang berlaku dalam syariat Islam. Sehingga, jika melanggar ketentuan syariat, ia harus menanggung sanksi yang diberikan. Namun, dalam kacamata sekularisme, anak yang sudah balig, jika masih di bawah usia 18 tahun, tetap diperlakukan layaknya anak-anak.
Pandangan yang semacam ini tidaklah tepat. Dalam Islam anak-anak akan mendapat pemahaman saat memasuki usia balig terkait tanggung jawab, taklif hukum, serta konsekuensi setiap perbuatannya. Hal ini dilakukan oleh keluarga, sekolah, bahkan negara. Sehingga mampu membentuk kepribadian mulia dan beradab. Bukan seperti generasi hari ini yang menjadi generasi miskin nurani, suul adab, kekanak-kanakan, dan kurang memiliki rasa tanggung jawab.
Kedua, adanya kontrol dan pengawasan masyarakat dengan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Sehingga, ketika ada kemaksiatan atau pelanggaran yang terjadi, masyarakat akan mengingatkan. Kemaksiatan tidak akan ditoleransi, karena masyarakat membiasakan diri untuk saling mengoreksi.
Ketiga, adanya negara yang berperan sebagai penjaga dan pelindung generasi dari berbagai kerusakan. Negara melarang segala hal yang merusak, seperti tontonan berbau, media porno, dan kemaksiatan lainnya. Serta memberlakukan sanksi yang tegas berdasarkan syariat Islam.
Negara adalah penyelenggara pendidikan, juga tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai bisnis. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas.
Demikianlah, Islam menyelesaikan persoalan adab generasi muda hari ini. Untuk membangun generasi cerdas, berkualitas, dan juga berakhlak mulia. Tidakkah kita merindukan dan menginginkan sistem Islam ini diterapkan?
Wallahu a'lam bishawwab