Hengkangnya Investor, Ancam Ikan IKN Kelelap Menggelepar


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam AMK

Membahas isu Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara adalah sesuatu yang sangat menarik untuk  dianalisis. Megaproyek yang tidak hanya mengundang pro dan kontra, tapi sarat dengan kepentingan penguasa, politikus, dan pemilik modal. Banyak intrik, bahkan diwarnai dengan klenik politik. Wajar, jika elit politik dan publik dibuat tergelitik.

Pemindahan IKN di masa pandemi terkesan dipaksakan, mengingat keuangan negara yang devisit, dengan utang luar negeri yang selangit hampir mencapai Rp7000 triliun. Di masa pandemi Covid membuat ekonomi rakyat terhimpit, megap-megap dalam menghadapi hidup serba sulit. Anehnya, penguasa bebal tidak bisa diingatkan untuk menunda apalagi membatalkannya. Banyak analisis yang memprediksi IKN bakal mangkrak seperti proyek-proyek lainnya yang tidak diawali dengan studi kelayakan.

Setelah positif ada pemindahan IKN, anehnya justru Pemerintah Rusia membatalkan pembangunan rel kereta api yang merupakan proyek Trans Kalimantan dan IKN. Dengan nilai investasi Rp53,3 triliun, merupakan proyek kereta api batu bara single track sepanjang 203 kilometer, mulai dari Kubar, Paser, Penajam Paser Utara (PPU) hingga Balikpapan. Mundurnya perusahaan Rusia lantaran bertabrakan dengan pemindahan IKN.

Demikian juga dengan Softbank, perusahaan modal ventura asal Jepang sebagai investor membatalkan dari proyek IKN menjelang peresmian pembangunan IKN Nusantara. Padahal awal 2020 lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan, Softbank berniat menanam 100 miliar dollar AS. Softbank adalah investor utama di Indonesia. Bagi saya ini too good to be true (terlalu bagus untuk menjadi kenyataan). 

Meskipun tidak jadi berinvestasi di IKN, kabarnya Softbank akan terus menanamkan modal di Indonesia melalui perusahaan startup (rintisan) untuk mengoperasikan layanan pinjaman digital di Indonesia, seperti GoTo dan Grab. Adapun yang menjadi target investasi adalah Provinsi Sumatera Barat.

Menurut Dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie, Muhammad Tri Andika menyebut hengkangnya investor Softbank menunjukkan proyek IKN menarik secara bisnis, namun memiliki risiko politik yang tinggi bagi para investor. (dikutip dari warta ekonomi-jaringan suara.com, 17/2/2022)

Ironisnya, hingga kini belum ada investor yang secara tegas siap mendukung sepenuhnya proyek IKN. Muncul pertanyaan, bakal mangkrakkah IKN atau ada trik-trik jitu untuk mewujudkan proyek ambisiusnya?

Hengkangnya Investor Ancam Ikan IKN Kelelap Menggelepar, dapat dianalisis sebagai berikut:

Pertama, investor besar akan menghitung kalkulasi risiko. Semua tahu bahwa UU IKN  dirumuskan dalam waktu super kilat. Sehingga memunculkan banyak celah kesalahan prosedural, seperti adanya pelanggaran konstitusi UUD dan kedaulatan daerah yang membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, terselip di sana-sini risiko masa depan yang tidak pasti dan penuh KKN. Ini berisiko tinggi jika UU IKN dibatalkan oleh MK, otomatis proyek IKN juga batal. Semuanya menjadi berantakan, ikan-ikannya kelelap menggelepar. Hal ini yang dikhawatirkan investor Softbank dan investor lainnya. Karena tidak ada garansi atau jaminan politik bagi keberlangsungan proyek IKN.

Kedua, tidak heran jika ikan-ikan IKN menggelepar mencari hidup. Mereka adalah penguasa, oligarki, dan politikus rakus yang berambisi menyelamatkan modalnya di kawasan IKN. Sebab, di kawasan IKN ini sudah terpenuhi oleh izin-izin dan konsesi seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan, dan PLTU yang tidak lain milik mereka dan keluarganya. Mereka ikan IKN, ramai-ramai ingin mendorong agar masa jabatan presiden diperpanjang. Inilah skenario untuk memberikan garansi politik agar proyek IKN terus berlanjut. 

Ketiga, fakta menunjukkan banyak proyek di Indonesia berskala luas yang bertumpu pada anggaran pemerintah dengan melibatkan perusahaan mengalami kegagalan karena isu korupsi. Begitu juga dengan beberapa proyek pembangunan IKN berpotensi mangkrak dan overbudget. Faktor penyebabnya karena kurangnya studi kelayakan. Seperti halnya, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, LRT Jabodetabek, Pelabuhan Patimban, Bandara Yogyakarta, dan Bandara Jenderal Besar Soedirman di Purbalingga, semuanya mangkrak disebabkan minimnya studi kelayakan.

Belum lagi sumber dana IKN yang mencapai Rp466 triliun dimana 19  persennya berasal dari APBN, 54 persen dengan Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan 24 persen berasal dari investasi swasta. Sehubungan dengan hengkangnya investor dan hingga kini belum ada investor yang secara tegas siap mendukung proyek IKN, disinyalir IKN mangkrak dan ikan-ikannya bakal sekarat.

Lebih dari itu, di luar kapasitasnya, Luhut secara terus-menerus  mengampanyekan penundaan Pemilu 2024  bersama parpol lainnya. Trik-trik pun dirancang hingga Luhut klaim hasil survey 110 juta rakyat menghendaki pemilu ditunda. Padahal hasil survey indikator politik 70 persen menolak pemilu ditunda. Belum lagi masalah manipulasi data, membuat dan mengubah undang-undang dengan mengatasnamakan rakyat, dari-oleh-untuk rakyat, dan kebohongan janji-janji politik adalah fenomena yang biasa terjadi pada sistem demokrasi. Sebab, kedaulatan di tangan rakyat, rakyatlah yang membuat hukum. Faktanya, hukum atau undang-undang yang dibuat bukan untuk rakyat, tetapi untuk penguasa, para anggota dewan, dan pemilik modal. Maka meski harus menabrak konstitusi dengan mengamandemen UU yang mereka anggap sakral pun akan dilakukan. Itu demi memuaskan syahwat serakahnya.

Semua itu karena negara mengadopsi sekularisme, yakni sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Apalagi dengan pilar kebebasan yang menopangnya, segala cara akan dilakukan. Betapa bobrok dan bahayanya sistem ini, rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja. Mengingat mekanisme pemilihan pemimpin ala demokrasi telah menempatkan mereka sebagai pemilik sejati kekuasaan, sehingga merupakan kepanjangan tangan pemilik modal. Negara atau penguasa tidak berfungsi sebagai pengawas dan penjaga. Atas nama investasi, kepemilikan umum dikuasai oleh individu, swasta lokal, asing, dan aseng. Artinya rakyat dimiskinkan secara sistemik dan akibatnya rakyat akan menderita selamanya. Saatnya sistem demokrasi-kapitalis-sekuler dicampakkan diganti dengan sistem Islam.

Berbeda dengan sistem Islam (khilafah), rakyat sebagai pemilik sejati kekuasaan. Melalui mekanisme baiat, posisi penguasa sebagai pemegang amanat umat untuk memimpin dan mengatur mereka dengan syariat Islam.

Syariat Islam mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, juga menyediakan sarana dan prasarana agar dapat mewujudkan hajat hidup rakyatnya.

Oleh sebab itu, dalam sejarahnya khilafah pernah memindahkan ibu kota sebanyak empat kali. Mulai dari Madinah-ke Damaskus-ke Bagdad-ke Kairo- terakhir ke Istanbul.

Adapun satu-satunya alasan pemindahan ibu kota untuk kemaslahatan rakyat. Oleh karenanya, negara melakukan studi kelayakan secara maksimal. Meliputi semua perencanaan wilayah, tata ruang negara, infrastuktur, pertimbangan politik, ekonomi, pertahanan keamanan, pendanaan, arsitek, kemaslahatan, dan lainnya. Semua fasilitas dibangun dekat tempat tinggal dengan kualitas standar dan merata sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial.

Adapun sumber dana, negara memiliki kekuatan finansial berupa sistem yang diturunkan Allah, yakni sistem ekonomi Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, negara khilafah akan menerapkan konsep kepemilikan yang khas dan terbagi menjadi tiga, yakni:

1. Kepemilikan individu, adalah hak individu memanfaatkan kekayaannya sesuai syariat Islam. Islam mengatur bagaimana cara seseorang memperoleh harta yang diizinkan maupun yang dilarang, seperti bekerja, waris, hibah, dan lainnya.

2. Kepemilikan umum adalah kepemilikan yang di dalamnya terkandung manfaat besar bagi masyarakat dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya, SDA, air, migas, mineral, dan barang tambang. Kepemilikan umum tidak boleh dikuasai oleh perorangan apalagi diserahkan pada swasta, hukumnya haram. Negara juga tidak boleh menguasai, melainkan sekadar mengelolanya untuk kepentingan umat.

"Dari Ibnu Abbas ra. berkata; sesungguhnya Nabi saw. bersabda, 'Orang muslim berserikat dalam 3 hal yaitu: air, rumput (pohon), api (bahan bakar), dan harganya haram.' Abu Said berkata, ‘Maksudnya: air yang mengalir’.” (HR. Ibnu Majah)

3. Kepemilikan negara, adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim. Sementara pengelolaannya menjadi wewenang negara. Syariat Islam telah menentukan harta-harta yang terkategori sebagai milik negara, yakni fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.

Pengelolaan harta kepemilikan dan menetapkan kebijakan berdasarkan syariat Islam menjadi jaminan kemaslahatan rakyat. Hal tersebut, telah dicatat dalam sejarah dengan tinta emas. Termasuk kepindahan ibu kota Bagdad yang menjadi ibu kota Khilafah Abbasiyah yang dibangun oleh Khalifah Abu Ja'far al-Mansyur. Hasilnya, Bagdad menjadi kota desain terbaik pada masanya. Dana untuk membangun mencapai 3,88 juta dirham. Adanya pembangunan tidak lantas menyebabkan negara devisit, justru surplus karena pemasukan lebih besar daripada pengeluaran.

Dengan sistem ekonomi Islam, pengelolaan harta sesuai syariat Islam mampu menyejahterakan rakyatnya. Seharusnya  hal ini menjadi model ideal bagi pembangunan IKN. Hanya khilafah yang mampu menyelesaikan problematika umat dengan tuntas. Khilafah adalah janji Allah dan bisyarah Rasulullah saw. dimana ia akan tegak kembali.   

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post