Polemik Hukuman Mati Bagi Pelaku Kekerasan Seksual


Oleh Endang Suciati, S.PdI
Muslimah Peduli Umat


Dikutip dari Tirto.id, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menuntut Herry Wirawan (36) dengan hukuman mati. Herry dituntut atas perbuatan keji memerkosa 13 santriwati di Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat selama 2016 hingga 2021.

Jaksa juga menambahkan sanksi untuk Herry berupa membayar denda Rp500 juta dan membayar biaya restitusi kepada para korban Rp331 juta. Serta sanksi non-material berupa pengumuman identitas, identitas terdakwa disebarkan, dan hukuman kebiri kimia.

Ketua Komisi VIII DPR, Yandri Susanto mendukung sikap jaksa menuntut berat Herry. Ia berharap hakim mengabulkan tuntutan jaksa sehingga memberikan efek jera terhadap pelaku.

Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai sanksi hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual seperti Herry Wirawan tidak selaras dengan Pasal 67 KUHP.

Pasal 67 KUHP yang berbunyi: Jika orang dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhkan pidana lain lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

Sementara dalam pidana pokok, Jaksa menuntut Herry dengan hukuman mati dan memberikan sejumlah pidana tambahan: membayar denda, membayar restitusi, dan kebiri kimia.

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi juga berpandangan sama terhadap sanksi hukuman mati bagi Herry. Baik hukuman mati ataupun kebiri tidak efektif untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual. Namun ia tetap menghargai kinerja aparat penegak hukum. 

Meski hukuman mati dan hukuman kebiri kimia dianggap tidak efektif memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual, Siti menilai Herry mesti direhabilitasi agar mampu mengubah cara pandangnya terhadap wanita. Kesadaran Herry mesti dibangun, sehingga timbul kesadaran bahwa perbuatannya merugikan korban dan diri sendiri.

Sementara Maidina menilai Herry Wirawan mesti mendapatkan sanksi berupa pembatasan kemerdekaan, semisal sanksi pidana seumur hidup.

Dalam Islam, zina adalah tindakan keji atau fâhisyah. Secara bahasa, fâhisyah adalah ‘perbuatan keji dan terhina/tercela’. Bisa juga bermakna ‘semua bentuk perbuatan dosa’. Secara lebih khusus, kata fâhisyah itu ‘dosa besar’. Sebagian ulama menafsirkannya sebagai perbuatan zina, bisa juga mencakup homoseksual dan lesbianisme.

Jika perbuatan fâhiysah ini tampak dan terjadi secara terang-terangan apalagi demonstratif, masyarakat dapat tertimpa wabah Tha’ûn dan muncul penyakit yang belum terjadi pada generasi sebelumnya. Hal itu persis sebagaimana kemunculan dan menyebar luasnya penyakit HIV/AIDS yang belum ada pada generasi terdahulu.
 
Telah nyata faktanya, penularan HIV/AIDS paling banyak melalui perzinaan dan seks bebas. Jika perilaku fâhisyah itu terus terjadi secara terang-terangan, penyakit-penyakit baru pun bisa terus bermunculan.
 
“Tidaklah zina tampak pada suatu kaum hingga mereka melakukannya terang-terangan kecuali akan menyebar di tengah mereka penyakit Tha’un dan berbagai penyakit yang belum terjadi di generasi-generasi yang sudah berlalu sebelum mereka.”  (HR Ibn Majah, al-Bazar, al-Hakim, al-Bayhaqi, dan Abu Nu’aim)

Secara tersirat, Al-Quran hendak mengatakan bahwa zina, lesbianisme, homoseksual, dan berbagai bentuk penyimpangan seksual adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran, kewajaran, dan kenormalan. Lantas, hujah apa lagi yang hendak “mereka” sodorkan untuk melegitimasi diri melakukan perzinaan? Jika zina sudah dianggap biasa, tunggulah azab Allah yang nyata. 

Adapun sanksi dalam Islam bagi pelaku kejahatan adalah bersifat jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah) agar orang lain tidak melakukan hal serupa. Sanksi Islam sangat tegas, tidak ada pertimbangan untuk menundanya dengan alasan kasihan atau HAM seperti dalam sistem sekuler demokrasi saat ini. Untuk kasus pemerkosaan, maka pelaku akan dikenai sanksi zina sementara korbannya jelas tidak bersalah. Bagi pelaku zina muhson (sudah menikah) adalah dihukum rajam atau dilempari batu hingga meninggal. Sementara untuk ghoir muhson (belum menikah) adalah dengan cambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. 

Penerapan ini hanya dapat dilakukan dalam sistem Islam oleh negara. Demikianlah Islam memberikan solusi ampuh untuk mencegah berbagai kejahatan sehingga menciptakan ketentraman dalam masyarakat.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post