Bandara dikelola Swasta,Rakyat Terluka




Oleh Andi Hasriyuli

Penjualan saham Bandara Kualanamu menjadi berita mengejutkan. Mengingat infrastruktur tersebut merupakan milik negara. PT Angkasa Pura II menjual hak pengelolaan Bandara Kualanamu ke GMR Airports Consortium yang merupakan perusahaan patungan India dan Prancis.

 Andre Roside Komisi VI DPR RI pada acara Hot Room Metro TV,  menyampaikan tidak ada pengalihan aset. Tidak ada yang dijual oleh Angkasa Pura II ke asing, bahkan negara dapat keuntungan dividen tiap tahunnya. Sebelumnya Angkasa Pura II mengumumkan adanya kerja sama strategis antara Angkasa Pura dan GMR Airport Internasional.

Angkasa Pura membentuk PT Angkasa Pura Aviasi, dengan saham yang dimiliki atas Bandara Kualanamu sebesar 51 persen dan 49 persen milik GMR Airport Internasional. Kerja sama ini untuk konsesi operasi bukan kepemilikan. Kepemilikan 100 persen masih dimiliki Angkasa Pura II (AP II).
Setelah tanda tangan kontrak yang akan dilakukan pada 23 Desember 2021, negara akan mendapat Rp 1,58 triliun dari GMR Airport. Dana ini bisa dipakai oleh AP II untuk pengembangan bandara-bandara lain di Indonesia. Dalam kontrak ini, ada komitmen investasi sebanyak Rp 56 triliun dalam 25 tahun, sedangkan dalam tiga tahun pertama ada capex dari pihak BMR Airport yang harus diberikan kepada AP II sebesar Rp 3 triliun.

Dana ini diperuntukkan untuk pengembangan airport mulai dari landasan pacu dan prasarana di kawasan airport Kualanamu. Kami di Komisi VI DPR RI akan mengawal. Memastikan bahwa kerjasama ini memberikan keuntungan bagi negara, dan memastikan tidak ada permainan di balik ini.

Potensi Indonesia Kehilangan Semua BUMN.

Hak pengelolaan Bandara Kualanamu ke pihak asing disebut berpotensi membuat Indonesia kehilangan BUMN. Sebanyak 49 persen saham dimiliki oleh GMR Airports Consortium. Sementara itu, 51 persen lainnya menjadi milik Indonesia. Dari perhitungan tersebut, PT Angkasa Pura II disebut mendapatkan keuntungan hampir mencapai Rp59 triliun dengan Rp1,58 triliun dalam bentuk tunai yang diterima dari GMR.
Sementara itu, Rp56 triliun lainnya merupakan nilai penghematan dari PT Angkasa Pura II dalam mengelola Bandara Kualanamu di sektor pembangunan dan pengembangan.

Namun, ketika PT Angkasa Pura mengatakan bahwa mereka mendapatkan keuntungan dengan jumlah tersebut, ternyata disangkal oleh mantan sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu. Said Didu menyebutkan jika penjualan Bandara Kualanamu ke pihak asing justru berpotensi membuat Indonesia kehilangan semua BUMN yang dimiliki.

Aset lain yang terancam akan hilang menyusul lepasnya Bandara Kualanamu ke pihak asing yaitu jalan tol.

Sebelumnya, direktur Utama (Dirut) Waskita Karya memberikan pernyataan akan menjual semua ruas jalan tol di Indonesia hingga 2025. Penjualan jalan tol tersebut diduga karena kerugian yang didapatkan oleh Waskita Karya. Jika jalan tol resmi dijual, hal tersebut berarti Indonesia kehilangan dua aset negaranya, termasuk Bandara Kualanamu.

Aroma Komersialisasi dan Kapitalisasi

Bandara pada dasarnya memang bagian dari fasilitas publik yang akan menopang aktivitas masyarakat di sektor transportasi udara. Namun betapa tidak wajar, bahkan zalim, ketika pembangunannya yang sudah mengorbankan alih fungsi lahan publik harus berakhir dengan pengelolaan oleh asing. Bukankah ini bukti melencengnya fungsi kemaslahatan publik? Publik mana yang hendak penguasa prioritaskan jika ternyata ada kemitraan dengan asing dalam pengelolaan fasilitas tersebut? Terlebih, pembangunan infrastruktur yang begitu jor-joran makin menegaskan bahwa “Indonesia for sale“. 

Pembangunan infrastruktur ternyata demi kepentingan pihak lain (swasta), bukan untuk anak bangsa. Apakah ketika bandara atau jalan tol terbangun, semua rakyat dari berbagai kalangan lantas bisa menikmatinya dengan gratis? Lihat saja, yang selama ini mampu membayar tiket pesawat sekaligus menjadi penumpangnya toh kalangan ekonomi menengah ke atas. Realita kemitraan strategis pengelolaan bandara justru menegaskan bahwa hajat publik tengah dipertaruhkan. Dipermainkan oleh kepentingan swasta asing yang pasti berorientasi keuntungan sebesar-besarnya sebagaimana pola kinerja ideologi kapitalisme. Sungguh, ini adalah kezaliman hakiki yang begitu gamblang dipertontonkan di panggung kekuasaan. 

 Sungguh kental aroma komersialisasi dan kapitalisasi seputar kisruh kerjasama ini, sedemikian culasnya kapitalisme menciptakan krisis sehingga membuka jalan penjajahan ekonomi di tubuh negeri ini. Padahal, infrastruktur dan moda transportasi udara adalah instrumen vital bagi suatu negara, karenanya industri transportasi juga industri yang tidak kalah vital. 

Apa jadinya jika di sektor ini terjadi campur tangan asing? Sedikit gambaran terkait hal ini adalah profil Boeing sendiri. Boeing adalah perusahaan penerbangan AS yang pernah berkontribusi untuk AS sejak era Perang Dunia I. Ketika kini Boeing lebih condong sebagai perusahaan pesawat komersial, tetapi demi aktualisasi politik perang AS, Boeing ternyata bisa diberdayakan untuk memproduksi pesawat perang.
 
Gambaran ini adalah contoh proyeksi sebuah negara adidaya berideologi sejati, yakni AS dengan kapitalismenya. Roadmap pembangunan industri penerbangan AS ini adalah wujud pembangunan negara besar.

 Sementara itu, ideologi yang kita pilih tentu saja adalah Islam. Dalam Islam  industri vital ini ditetapkan sebagai milik umum. Moda transportasi dan asetnya adalah milik negara yang harus terkelola sebagai milik rakyat. Oleh sebab itu, tidak boleh dikelola berdasarkan pengelolaan versi swasta yang berhitung komersialisasi.

 Selamatkan Sektor Strategis dengan Kepemimpin yang Bertanggung Jawab di Bawah Naungan Khilafah dan Syariah

 Seluruh urusan hajat hidup rakyat adalah tanggung jawab penguasa. Namun sayangnya hal itu sulit hadir pada kebijakan penguasa di era sekuler seperti saat ini. Semestinya, penguasa memandang infrastruktur dan moda transportasi udara sebagai salah satu sektor strategis. Mengingat sebagian bentang alam Indonesia adalah pegunungan yang memang hanya transportasi udara yang mampu menjangkau daerah-daerah tersebut. Pada poin ini, selayaknya ongkos penerbangan menjadi murah, serendah-rendahnya, atau bahkan gratis. 

Rakyat di daerah pegunungan pasti lebih mudah menggunakan pesawat sebagai moda transportasi karena sesuai dengan bentang alam wilayah tempat tinggalnya. Jadi, jangan berlogika terbalik. Membangun bandara yang lokasinya justru secara umum bisa terjangkau transportasi darat karena pengguna bandara tersebut nantinya pasti bukan masyarakat luas, melainkan hanya mereka yang berkantong tebal. Bentang alam yang bisa terjangkau mudah dengan moda transportasi darat tentunya daerah yang landai atau berupa dataran rendah.

Terkait hal ini, Rasulullah saw. bersabda:  “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Demikianlah pentingnya mindset pengelolaan vital berbasis ideologi sahih dalam rangka merealisasikan kepemilikan umum yang akan di nikmati semua Rakyat. Output-nya akan tepat sasaran. Bukan hanya untuk kaum nlborjuis, tidak mangkrak menjadi infrastruktur mubazir, apalagi di privatisasi oleh swasta Asing. 

Keberadaan Bandara Kertajati dan Soedirman rasanya sudah lebih dari cukup untuk menampar proyek produk komersial yang salah arah. Belum lagi keberadaan BUMN produsen pesawat milik anak bangsa seperti PT Dirgantara Indonesia yang nasibnya kembang kempis sejak beberapa tahun lalu. Padahal, jika mengelola negeri ini dengan ideologi sahih, sangat mungkin industri vital sebagaimana fungsi PTDI tersebut bisa naik tingkat setaraf Boeing dalam memproduksi pesawat komersial, bahkan militer.

 Sayangnya, ketika penguasa hanya berpikir soal cuan, BUMN strategis terpaksa menjadi tumbal. Cepat atau lambat, anak sendiri ibarat harus siap mati menanggung akibat culasnya salah kelola dari penanggung jawab negara.

  Dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah, objek vital maupun ruang investasi dijaga ketat. Sejengkal tanah sangat berharga. Karenanya, sistem pertanahan negara  di topang oleh sistem politik, ekonomi, Industri persenjataan dan Militer yang kuat.

 Contohlah khilafah Islam saat membangun infrastruktur berupa rel kereta jalur Turki-Madinah. Rel itu dibangun atas gotong royong rakyat. Karena rakyat mencintai negaranya. Mendapatkan kesejahteraan dalam pengayoman negara. Sehingga rela berkorban untuk kemajuan negara.

 Akidah Islam dan kecintaan pada tauhid menyatukan pemerintah dan rakyat.
Sebaliknya, khalifah pun mencintai rakyatnya. Membangun infrastruktur adalah untuk memudahkan rakyatnya. Sebagai bentuk ri’ayah (mengurus) urusan masyarakat. Sebagai bentuk tanggung jawab pemimpin terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Bukan untuk tujuan komersil.
Tidakkah kita semua merindukan kembali masa-masa itu? 

Wallahu a'lam bishawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post