Aturan Represif, Kokohkan Liberalisasi Seksual

 Oleh: Nur Arofah

Aktivis Dakwah

 

Kondisi masyarakat negeri ini begitu mengerikan, salah satunnya terkait kekerasan dan kejahatan seksual yang semakin lama makin subur terutama di lingkungan perguruan tinggi. Maka, sebagai bentuk kepedulian pemerintah, dalam hal ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan Dan Penanganan  Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Keluarnya Permendikbud ini tentu saja atas aduan mahasiswi yang mengalami kejahatan seksual dari dosen, pegawai kampus hingga pejabat kampus. Namun, hadirnya Permendikbud ini menuai kontroversi, tersebab dalam pasal 5 terdapat kalimat consent/persetujuan korban. Yang menjadi bias ketika dikatakan kekerasan seksual seperti yang tercantum dalam ayat (2) poin (1) yakni ‘menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada bagian tubuh korban tanpa persetujuan korban’.  

Frasa 'tanpa persetujuan korban' inilah yang memunculkan penolakan karena bisa difahami ketika ada persetujuan dipandang legal. Bukankah hal ini sama juga dengan melegalisasi perzinaan? Jika itu masalahnya, maka Permendikbud ini akan sangat berbahaya  karena mengarah pada legalitas seks bebas dan penyimpangan seksual. Selama dilakukan dengan frasa tersebut itu menjadi pembenaran dan hak warga negara.

Bagi perguruan tinggi yang menentang Permendikbud karena dianggap tidak berniat mencegah kekerasan seksual, maka ada ancaman yang terdapat pada pasal 19 berupa, sanksi administratif yakni penghentian bantuan keuangan atau sarana dan prasarana untuk perguruan tinggi serta penurunan tingkat akreditasi untuk perguruan tinggi. Inilah bukti nyata aturan refresif yang mengokohkan dan mendorong liberalisasi seksual.

Bagi yang menentang Permendikbud karena dianggap tidak berniat mencegah kekerasan seksual merupakan fitnah keji dan tidak masuk akal. Padahal Permendikbud ini yang malah menambah masalah menjadi runyam, yakni berpotensi melegalkan zina. Jika dilihat Permendikbud ini menjadi alat penguatan paradigma kesetaraan gender dan liberal di semua aspek masyarakat khususnya di wilayah kampus.

Padahal, Islam sejak awal satu-satunya agama yang sangat mengharamkan kekerasan dan kejahatan seksual. Bahkan, Islam mengatur dengan hukum syariat sebagai penentu hukum sebagai tindak kejahatan seksual. Secara mutlak kejahatan seksual apapun jenisnya akan dijatuhi sanksi. Pelaku zina jika belum menikah akan dicambuk seratus kali, jika pelaku sudah menikah akan dihukum rajam hingga mati.  Begitu juga setiap bentuk pelecehan seksual, termasuk kepada kriminal (jarimah), pelakunya akan dikenakan sanksi oleh qodhi berupa ta’zir.

Jika dilihat, sanksi dalam Islam merupakan penjagaan Islam terhadap generasi masyarakat. Hukum Islam bersifat penebusan dosa bagi pelakunya (jawabir) dan membawa efek jera bagi yang menyaksikan atau pencegah untuk orang lain melakukan perilaku yang sama (zawajir).

Maka, celah-celah dan kesempatan untuk munculnya kejahatan seksual di masyarakat diatur dalam Islam. Pria dan wanita diperintah untuk menutup aurat dan menjaga pandangan. Berduaan atau berkhalwat dilarang dengan alasan apapun, meskipun dalam bimbingan belajar. Semua itu bisa dilaksanakan secara utuh hanya dalam satu institusi yakni Khilafah Islam sebagai penjaga akidah, penjaga jiwa, penjaga harta umat manusia. []

 

 

Post a Comment

Previous Post Next Post