PPPK, Kebijakan Setengah Hati Bagi Guru Honorer


Oleh : Eli Yuliani
(Ibu Rumah Tangga dan Pembelajar Ilmu Syari'at)


Polemik tentang guru honorer seakan tidak pernah usai. Kebijakan pemerintah tidak pernah memberikan solusi terhadap nasib mereka begitu pula ketidak-pastian senantiasa membersamai hidup mereka. Nasib mereka seolah di gantung dengan berbagai kebijakan yang tidak pantas.

Sejak tahun 2018, sebenarnya telah di gulirkan program pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di bawah menteri pendidikan Muhajir Efendi. Pemerintah memberikan solusi dengan memberikan kesempatan para guru honorer berusia lebih dari 35 tahun yang ingin mengabdi untuk Negara melalui pengangkatan sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dengan berbagai ketentuan dan persyaratan.

Namun sayangnya langkah ini di nilai banyak pihak sebagai jauh panggang daripada api alias belum menyentuh masalah utama guru honorer. Apalagi ketika diketahui  banyak para guru honorer yang gagal menembus ambang batas seleksi (passing grade). Harusnya guru honorer apalagi yang masa bakti puluhan tahun mendapatkan kesejahteraan tanpa seleksi lagi. 

Aksi demi aksi dilakukan untuk memperjuangkan nasib, namun kebijakan yang ada tak kunjung memberikan solusi bagi para guru honorer.

Jika dibandingkan jumlah guru PNS dengan non-PNS, hampir sebagian besar masih berstatus honorer. Pada 2020 saja, guru non-PNS jumlahnya mencapai 937.228 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 728.461 masih berstatus guru honorer sekolah.

Melihat kenyataan ini, sesungguhnya amat besar kebutuhan rakyat terhadap guru. Sudah selayaknya negara membuka penerimaan guru tanpa embel-embel kontrak. Sebab selain menggantung nasib para guru, negara juga tak serius memenuhi kebutuhan rakyat akan pendidikan.
Sehingga tidak berlebihan, jika kebijakan PPPK bagi guru honorer di sebut kebijakan setengah hati yang lahir dari kebijakan miskin visi. 

Pendidikan adalah kebutuhan asasi rakyat, Lebih jauh lagi, pendidikan memiliki peran besar dalam membangun peradaban. Sayangnya negara mengelola pendidikan seperti mengurus perusahaan. Untung rugi menjadi tolok ukur. 

Inilah kelemahan sistem pendidikan di era kapitalisme saat ini, tidak memiliki visi mencerdaskan generasi, gagap memaknai perkembangan teknologi, visi pendidikan pencetak generasi seolah hilang arah. Guru pun tidak pernah mendapatkan prioritas kesejahteraan, sehingga wajar saja jika masalah guru honorer ini masih terus berlarut larut.

Guru memiliki tugas yang mulia dan strategis yakni mencetak output berkualitas. Sehingga kualitas guru dan kesejahteraannya juga harus diperhatikan, mengingat di tangan gurulah nasib generasi bangsa ini bertumpu.

Sektor pendidikan merupakan sektor yang diandalkan untuk melahirkan generasi. Dalam proses inilah, pendidikan dan generasi saling berkaitan dalam membangun peradaban. Mendidik generasi membutuhkan guru yang tidak hanya kapabel dan menguasai ilmu pengetahuan, tetapi juga memahami peran strategis pendidikan untuk keberlanjutan peradaban.

Dalam sistem Islam, penyelenggaraan pendidikan berikut pembangunan sarana prasarana yang mendukung pendidikan di topang oleh sistem ekonomi berbasis baitul mal. Sumber-sumber dana baitul mal tidak hanya cukup mendanai pembangunan infrastruktur, tetapi juga cukup digunakan untuk menggaji para guru.

Sistem pendidikan yang ditopang ekonomi yang kuat tidak akan menggantung nasib guru dengan status kontrak kerja. Sebab sejatinya, dalam pemerintahan Islam, guru adalah pegawai negeri. Mereka berhak mendapatkan gaji dari bakti mereka mendidik umat.

Negara bisa saja  melakukan ujian kepegawaian, dan ini sah-sah saja selama berkaitan dengan pekerjaannya. 

Namun, negara akan tetap memenuhi kebutuhan para guru meski sudah berusia senja dan tidak lagi mampu mengajar. Hal ini adalah bentuk penghargaan kepada para guru, pun sebagaimana negara memenuhi kebutuhan rakyatnya individu per individu dengan pemenuhan yang sempurna. 

Inilah wujud nyata hadirnya negara. Tidak hanya memuliakan guru sebagai ahli ilmu, tetapi juga memenuhi kebutuhan mereka secara manusiawi dalam rangka membangun peradaban Islam. Sehingga akan melahirkan generasi yang tangguh berkualitas, harapan ummat,  bersyakhshiyyah Islamiyyah. 
Wallahu A'lam bish-shawab. []

Post a Comment

Previous Post Next Post