Di balik Presiden AS Minta Saran Jokowi Atasi Pandemi, Adakah yang Dibidik?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Penulis Opini Bela Islam Akademi Menulis Kreatif

Ironis. Negara Indonesia berpredikat gagal, pernah menempati peringkat pertama negara dengan jumlah kasus harian positif Covid-19 tertinggi sedunia. Justru dipilih secara pribadi oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Jokowi merupakan satu dari empat pemimpin negara yang mendapat undangan khusus untuk menghadiri Global Covid-19 Summit pada pertemuan PBB (22/9/2021). Untuk memberikan masukan bagaimana kita bisa segera mengatasi pandemi Covid-19. Adakah maksud terselubung?

Menurut Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, dalam konferensi pers menjelaskan bahwa dalam pertemuan Joe Biden menyampaikan tiga hal yang seharusnya dilakukan pemimpin dunia saat ini. Pertama, Joe Biden mengingatkan pemimpin dunia harus punya komitmen segera mempercepat vaksin Covid-19. 

Kedua, agar mempersiapkan seluruh alat kesehatan, obat-obatan, oksigen, sarana testing, dan tracing. Hal ini untuk mencegah korban kematian yang telah tercatat sebanyak 4,7 juta.

Ketiga, Joe Biden mengajak membangun arsitektur global ketahanan kesehatan dunia agar pembiayaan kesehatan dunia bisa ditata lebih baik. Joe Biden mencontohkan seperti Dana Moneter Internasional (IMF) yang punya peran besar bisa membantu negara yang mengalami masalah keuangan. (liputan6.com, 23/9/2021)

Menkes Budi Gunadi, juga menjelaskan Jokowi merespon dengan baik. Menyatakan siap mendukung, mensupport, dan siap berkonstribusi terkait ajakan Joe Biden. Presiden Indonesia menekankan yang pertama kali segera dibangun adalah arsitektur sistem ketahanan kesehatan global yang baru, yakni perlunya adanya mekanisme global sebagai sumber daya kesehatan yang dapat diakses seluruh negara utamanya negara berkembang seperti IMF. (CNBC Indonesia, 23/9/2021)

Menurut Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando EMaS, menyatakan bahwa ajakan Biden pada Jokowi untuk mengatasi masalah pandemi Covid-19 menduga ada maksud lain yang sedang diincar Biden. Amerika ingin menjalin hubungan maksimal terutama di bidang ekonomi. Tentu ini ada alasannya melihat gelagat China yang merapat ke Indonesia. (GenPi.co, 27/9/2021)

Sebagaimana pernyataan Duta Besar Indonesia untuk China dan Mongolia, Djauhari Oratmangun, menyebut China menjadi mitra dagang nomor wahid bagi Indonesia dengan nilai perdagangan mencapai US$79 miliar atau setara Rp1.137,7 triliun. 

China bukan mitra, lebih tepatnya menjajah ekonomi Indonesia. Jadi wajar, jika terjadi persaingan di antara kedua musuh bebuyutan negara AS vs China. Keduanya berambisi memperebutkan Indonesia dijadikan sekutu sekaligus jajahan mereka. Karena geostrategis, kaya sumber daya alam (SDA), dan berpenduduk besar, cocok untuk pangsa pasar.

Tampak jelas bahwa ajakan Biden hanya minta dukungan dan persetujuan negara-negara besar dunia, termasuk Indonesia. Di balik ajakan Biden sejatinya ada bisnis vaksin Covid-19 yang keuntungannya sungguh sangat fantastis. Ini bentuk penjajahan ekonomi. Pandemi menjadi ladang bisnis, maka terjadilah kongkalikong di antara penguasa boneka dan pengusaha. Demi meraup keuntungan triliunan rupiah rakyat dipaksa vaksin dengan ancaman sanksi administratif.

Sementara, Negara Indonesia terlilit utang tercatat hingga Mei 2021 mencapai Rp6.418,5 triliun. Sejumlah ekonom sepakat bahwa utang Indonesia masuk kategori gawat. Lebih-lebih Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkhawirkan pemerintah RI tidak akan mampu membayar utang dan bunganya.

Ancaman gagal bayar utang (default) tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Jika pemerintah gagal membayar utang, skema terburuknya negara bangkrut. Imbasnya negara kolaps, yang berakibat fatal bagi roda perekonomian sehingga menjadi lumpuh bahkan mati. Maka terjadilah efek domino.

Kondisi tersebut tampaknya diendus dengan baik oleh AS dan kesempatan emas itu tidak disia-siakan. AS tahu apa yang dibutuhkan Indonesia yakni dana segar untuk menunda lonceng kematiannya. Kemudian diajaklah Jokowi dengan sedikit memberikan penghormatan agar dapat membuat Jokowi tetap menjadi bonekanya yang setia mengikuti kemauan tuannya. Tunduk menyerahkan kedaulatan kepada lembaga-lembaga penjajahan internasional, semisal IMF.

Jokowi menghendaki secepat mungkin arsitektur sistem ketahanan kesehatan global yang baru segera diwujudkan. Ini membuktikan sekali bahwa rezim raja utang. Tidak bisa mencari solusi lain kecuali utang dan utang. Dapat dipastikan untuk menghindari default (gagal bayar) hanya dengan mencari utang ribawi. Itu sama artinya keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Ironisnya, utang-utang itu tidak digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya, tetapi dibuat bancakan para elit kapital, oligarki, dan koruptor. Hal ini diduga dengan meningkatnya harta kekayaan rezim dan pejabat selama pandemi naik 70,3 persen.

Sementara AS yang bangkrut di tepi keruntuhannya berusaha memperpanjang nafasnya. Berambisi ingin mengembalikan perekonomian dan politiknya di dunia dengan dalih koalisi mengatasi pandemi Covid-19. Yakni kesepakatan antara negara dengan negara, yang sejatinya itu bentuk penjajahan terhadap negara kecil atau negara berkembang. Sebab, thariqah (metode) kapitalisme adalah imperialisme, yakni penjajahan di bidang ekonomi maupun politik. 

Kehadiran pandemi Covid-19 saat ini semakin membuka tabir kebobrokan kapitalisme. Betapa mirisnya sistem ini tidak memedulikan nyawa manusia, melainkan lebih mementingkan perputaran bisnis. Cari untung di saat rakyat buntung. Akibatnya, banyak korban mati, pandemi tidak terkendali, dan ekonomi pun hancur. 

Semua itu disebabkan oleh sistem kapitalisme yang cacat sejak lahir senantiasa membawa kerusakan dan kehancuran. Lantaran asasnya sekularisme yakni memisahkan agama dari kehidupan, yang berlawanan dengan fitrah beragama pada diri manusia. Tidak hanya cacat ide atau pemikiran, namun juga secara kasat mata gagal menyejahterakan manusia. Karakter tamak dan rakus ditopang dengan pilar kebebasan yang menghalalkan segala cara, menjadikan kekayaan hanya dikuasai oleh segelintir pemilik modal. Ide kebebasan inilah salah satu penyebab rusaknya tatanan kehidupan.

Hanya Khilafah Solusinya

Keterpurukan bangsa dan umat ini karena meninggalkan syariat Islam yang kafah (sempurna). Bagi yang menghendaki kebaikan negeri ini tentu akan memilih aturan atau sistem Islam yang berasal dari Allah Swt. Zat Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu atas segala perkara.

Negara Islam atau khilafah dipimpin seorang khalifah, tegak di atas akidah Islam. Akidah Islam inilah yang mendorong masing-masing individu memiliki aspek ruhiyyah, yakni kesadaran akan hubungannya dengan Allah Swt. Merasa senantiasa diawasi dan meyakini semua amal perbuatan nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.

Oleh sebab itu seorang
khalifah yang dibaiat wajib menerapkan syariat Islam secara kafah (QS. al-Baqarah [2]: 208). Artinya menerapkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan, yakni ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial budaya, peradilan, politik dalam/luar negeri, dan lainnya.

Dalam sistem ekonomi Islam, melarang riba dalam bentuk apapun. Ancaman bagi pelaku sungguh tegas dan keras, termaktub dalam QS. al-Baqarah [2]: 275 dan 279) dan Hadis, dari Jabir ra, ia berkata: "Rasulullah saw. melaknat pemakan riba, pemberi riba, dua saksinya dan penulisnya." Dan Beliau bersabda, "Mereka semua sama (derajat dosanya)." (HR. Muslim)

Demikian pula politik dalam/luar negeri asas interaksinya diatur syariat. Antara lain:

Jika sebuah negara kafir sedang berperang secara nyata dengan umat Islam, maka asas interaksinya adalah interaksi perang. Tidak boleh ada perjanjian apa pun dengan negara kafir, seperti perjanjian politik (hubungan diplomasi), perjanjian ekonomi seperti ekspor-impor, kesepakatan percepatan penanganan pandemi dengan penjualan vaksin, dan lainnya. Perjanjian hanya boleh ada setelah adanya perdamaian.

Warga negaranya tidak diberi izin masuk ke dalam Negara Khilafah, kecuali jika dia datang untuk mempelajari Islam atau pindah menjadi dzimmi (perjanjian) dalam naungan Negara Khilafah.

Jika warga negara dari negara kafir ini tetap masuk ke Negara Khilafah, bukan untuk belajar Islam dan menjadi dzimmi, maka jiwa dan hartanya halal, yakni dia boleh dibunuh, atau dijadikan tawanan, dan hartanya boleh diambil. (An Nabhani, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah, II,1990: 293)

Sebaliknya, jika negara sedang tidak berperang dengan umat Islam, maka Negara Khilafah boleh mengadakan perjanjian dengan negara kafir seperti tersebut. Misalnya: perjanjian dagang, perjanjian bertetangga baik, dan lainnya. Warga negaranya diberikan izin masuk ke Negara Khilafah untuk berdagang, rekreasi, berobat, belajar, dan lainnya.
Jiwa dan hartanya tidak halal bagi umat Islam.

Namun, jika warga negara tersebut masuk secara liar, yaitu tanpa izin Negara Khilafah, maka hukumnya sama dengan warga negara yang sedang berperang dengan umat Islam, yakni jiwa dan hartanya halal. (An Nabhani, dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah, II, 1990: 293)

Jika warga negara tersebut masuk dengan izin negara, dia tidak boleh tinggal di Negara Khilafah, kecuali dalam rangka waktu tertentu, yaitu di bawah satu tahun. (An Nabhani, 1994: 233)

Alhasil, syariat mengharamkan riba apapun bentuknya. Syariat Islam melarang berinteraksi dengan nagara kafir yang memusuhi Islam seperti AS, China, dan lainnya. Jika syariat Islam diterapkan secara sempurna akan membawa maslahat dan menyejahterakan rakyat. Karena pada dasarnya menjaga dan melindungi agama, akal, keturunan, kehormatan, jiwa, harta, dan negara. Oleh sebab itu, mewajibkan negara atau khalifah berada di jalur melakukan pelayanan kepada masyarakat dengan menerapkan syariat Islam secara kafah dalam bingkai khilafah.

Wallaahu a'lam bishshawaab.





































































































Post a Comment

Previous Post Next Post