Daring, Masihkah Solutif?


Oleh: Yosi Eka Purwanti, S. E (Aktivis Muslimah)


Virus Covid-19 menginfeksi dunia selama kurang lebih 2 tahun. Kondisi tersebut membuat pola baru bagi kehidupan dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Program sosial distancing pun diberlakukan untuk meminimalisir interaksi, guna menghambat laju penyebaran virus covid -19. Hingga sistem daring menjadi solusi interaksi kehidupan, baik untuk kepentingan pendidikan, politik, ekonomi bahkan interaksi sosial masyarakat.


Namun, kini dampak negatif daring tampak nyata di depan mata. Menurut menkominfo jhonny G. Plate komunikasi daring selama pandemi meningkatkan paparan konten negatif ke pengguna internet. Akibatnya banyak warganet terpapar konten negatif yang menyesatkan.


Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kementerian Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan memaparkan bahwa pemerintah telah mengatasi kondisi tersebut melalui strategi yang meliputi pendekatan di sisi hulu, tengah, dan hilir. Di tingkat hulu, Kementerian Kominfo berfokus pada upaya literasi digital.  Di tingkat menengah, pihaknya berfokus pada serangkaian tindakan preventif, antara lain; memblokir akses dan menurunkan konten yang menjadi sumber penyebaran konten negatif.


Kominfo menyatakan bahwa telah menghapus 24.531 konten negatif. Konten negatif yang dihapus termasuk 214 kasus pornografi anak, 22.103 konten terkait terorisme, 1.895 misinformasi Covid-19, dan 319 misinformasi vaksin Covid-19. Sedangkan di tingkat hilir, kominfo melakukan upaya penegakan hukum guna mencegah penyebaran konten negatif yang dapat menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban umum.


Terpaparnya masyarakat (khususnya anak-anak) terhadap konten negatif tentu sangat membahayakan. Tidak hanya berbahaya karena beredarnya hoax terkait covid-19 dan cara penanganannya, namun juga permasalahan yang lebih kompleks ketika anak-anak telah terpapar konten pornografi misalnya.


Konten negatif dengan mudah masuk di tengah-tengah masyarakat lantaran tabiat sistem demokrasi sekuler saat ini lebih mengedepankan rating untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah daripada edukasi yang berlandaskan ketaqwaan. Selain itu, edukasi cyber yang digagas oleh pemerintah tidaklah dilandasi dengan ketaqwaan atas dasar aqidah. Pun negara tidak memberikan batasan yang jelas tentang makna dan batasan konten negatif, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengaksesnya.


Faktanya, memang pemerintah belum mampu menanggulagi permasalahan yang tengah terjadi.  Sering kali, solusi yang di berikan oleh pemerintah tidaklah solutif. Daring yang pada awalnya di tujukan untuk menekan laju penyebaran covid-19 justru mendatangkan masalah baru yang tidak kalah membahayakan dari virus covid sendiri. Lantas, apakah daring masihkah mampu menjadi solusi alternatif?


Pandemi Covid-19 mengharuskan masyarakat meminimalisir aktivitas sehingga daring masih dipandang sebagai solusi yang masih bisa di gunakan hingga saat ini. Kendati demikian, ada beberapa hal yang perlu di perhatikan. 1) penanaman aqidah kepada setiap individu sehingga setiap aktivitas yang di lakukan oleh individu senantiasa berlandaskan ketaqwaan kepada Allah. 2) negara mampu memfilter konten-konten negatif yang menjauhkan dari ketaqwaan kepada Allah. Meski harus dengan mengesampingkan kepentingan rating dan lain sebagainya. 3) negara harus mampu memberikan batasan yang jelas dan baku tentang definisi konten negatif yang melanggar hukum syara. Sehingga masyarakat tidak lagi disuguhi dengan konten-konten yang notabene semakin menjauhkan dari ketaqwaan kepada Allah. Kondisi demikian tidaklah mungkin di laksanakan kecuali dalam naungan sistem khilafah Islamiyah yang menjadikan aqidah dan ketaqwaan kepada Allah sebagai asas.
Wallahu a’laam.

Post a Comment

Previous Post Next Post