SERTIFIKASI DA'I PERLUKAH ?


Oleh: Ummu Fatih II

Setelah mendapat protes dan penolakan dari berbagai pihak, termasuk MUI, Kementerian Agama (Kemenag) RI mengganti judul program “Sertifikasi Da’i/Penceramah” menjadi “Da’i/Penceramah Bersertifikat”. Belakangan, program tersebut berganti tajuk lagi menjadi “Bimbingan Teknis Penceramah Bersertifikat”. 

Meski berganti judul, substansinya tetaplah sama. Persis seperti dilontarkan oleh Menteri Agama RI Fachrul Razi pada rencana awal program ini. Sama-sama dilandasi motif “deradikalisasi”. Saat itu Menag menyatakan bahwa program Penceramah Bersertifikat dimaksudkan untuk mencegah penyebaran paham radikalisme (Cnnindonesia, 03/09/2020). 

Da’i/penceramah hakikatnya adalah orang yang menyampaikan ajaran Islam apa adanya. Islam tentu bukan sekadar agama ritual, moral dan spiritual belaka. Islam pun mengatur ekonomi, politik, hukum, pendidikan, pemerintahan, dll. Alhasil, Islam adalah ajaran dan tatacara hidup yang lengkap dan paripurna (Lihat: TQS al-Maidah [5]: 3).

Karena itu merupakan kewajiban para da’i untuk mengajak umat agar mengamalkan seluruh ajaran Islam. Para da’i harus mendorong umat untuk mengamalkan Islam secara total. Tidak setengah-setengah. 
Karena itulah para da’i yang menyampaikan semua ajaran Islam—termasuk khilafah, misalnya—tak layak dicap “radikal” dalam makna yang negatif. Lebih tidak layak lagi jika dilakukan upaya “deradikalisasi” terhadap mereka. Salah satunya melalui Program “Sertifikasi Da’i” atau Program “Bimbingan Teknis Penceramah Bersertifikat”. Jelas, jika motifnya “deradikalisasi”, ini adalah program yang ngawur.

Belakangan, sebelum muncul Program Sertifikasi Da’i/Penceramah, Kemenag di bawah Fachrul Razi juga telah melakukan revisi atas sejumlah buku pelajaran di lingkungan Kemenag yang berkonten khilafah. Lagi-lagi motifnya tidak jauh dari “deradikalisasi”.

Jelas, upaya Pemerintah untuk terus melestarikan program deradikalisasi adalah upaya usang, selain kontraproduktif. Apalagi di tengah banyaknya isu penting yang seharusnya menjadi fokus Pemerintah seperti: penanganan bencana Covid-19 yang carut-marut, ekonomi yang makin loyo bahkan disinyalir sedang menuju resesi, korupsi yang makin menjadi-jadi, utang luar negeri yang makin tinggi, APBN yang terus mengalami defisit yang makin besar, dll. 

Jelas, jika Pemerintah—termasuk oleh Kemenag—tetap memaksakan proyek deradikalisasi, selain pasti akan menuai kegagalan, juga amat berbahaya. Yang terjadi boleh jadi proyek tersebut semakin menambah kebencian baru dan lebih luas dari kaum Muslim yang merasa terusik dengan proyek ini karena nyata-nyata sarat dengan upaya mendeskreditkan Islam.

Pada gilirannya proyek deradikalisasi malah bisa memicu perlawanan yang lebih luas dari kaum Muslim. Tentu ini tidak kita harapkan. Sebab, jika itu yang terjadi, jelas bukan hanya kontraproduktif, tetapi bisa memunculkan konflik antara umat Islam dan Pemerintah. 

Karena itu yang harusnya dilakukan adalah: Pertama, seharusnya Pemerintah memahami keinginan rakyat, khususnya umat Islam, yang sudah terlalu muak dengan berbagai kondisi yang bobrok yang menimpa bangsa dan negara ini. Maraknya kasus korupsi, perampokan sumberdaya milik rakyat oleh pihak asing dan aseng, terjadinya banyak kasus amoral (perzinaan, LGBT, dll), kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan mahal, dll adalah faktor-faktor yang nyata-nyata menimbulkan frustasi sosial yang bisa berujung pada tindakan radikal dari sebagian kelompok masyarakat. 

Kedua, Pemerintah sudah saatnya jujur menyadari bahwa berbagai keterpurukan yang melanda negeri ini adalah akibat syariah Islam tidak diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu daripada negeri ini nantinya makin terpuruk akibat terus-menerus menerapkan ideologi dan sistem Kapitalisme-liberal, Pemerintah sejatinya segera berpaling pada syariah dan Khilafah yang pasti mampu menyelesaikan semua problem yang mendera bangsa ini. Bukan malah menuduh syariah dan Khilafah sebagai ancaman sekaligus menuding para pengusungnya sebagai kaum “radikal”. Jika itu tidak dilakukan, berarti Pemerintah memang tak mau belajar.

WalLahu a’lam bi ash-shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post