Merdeka, Sudahkah?

Oleh: Ummu Hamnah Azizah Asy syifa
(Relawan Media dan Opini Konawe)

Indonesia memang secara fisik militer telah merdeka. Tapi sayangnya, setelah tujuh puluh lima tahun berlalu, apakah kita telah benar-benar merdeka? Di sisi lain, ada sebuah sebuah ideologi yang selalu berupaya menyebarkan paham dan mempertahankan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia. Melalui penjajahan berupa penguasaan dan dominasi di bidang politik, sosial, pendidikan, budaya dan hukum. 

Di bidang ekonomi, penjajahan dilakukan melalui ketergantungan terhadap hutang luar negeri. Dengan dalih membantu negara-negara berkembang termasuk Indonesia, mereka meminjamkan uang dalam jumlah besar. Nyatanya, terbukti hutang tersebut bukan mengentaskan kemiskinan, melainkan malah menambah miskin. 

Dan yang paling gawat adalah memunculkan ketergantungan ekonomi. Dengan ketergantungan ekonomi yang demikian besar, negara penggagas kapitalis lewat berbagai institusi-institusi yang dibentuknya seperti IMF, World Bank dan sebagainya, dapat memaksakan kemauan politiknya atas suatu negara, baik secara langsung maupun tidak. Maka, negeri-negeri itu menjadi tidak merdeka secara politik. Indonesia mengalami itu. Kini, seakan kita tidak lagi bisa secara leluasa mengatur negeri kita sendiri. 

Penjajahan ekonomi juga dilakukan dengan berbagai aturan yang mereka paksakan, seperti ide pasar bebas dengan WTO-nya atau isue globalisasi, privartisasi dan sebagainya. Maka, sekalipun secara fisik merdeka, secara politik dan ekonomi terjajah. 

Di bidang kebudayaan, globalisasi informasi yang ditimbulkan oleh kemajuan luar biasa di bidang teknologi informasi bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan karena dengan demikian peristiwa-peristiwa dari berbagai belahan dunia dengan cepat dapat diketahui. Namun, disisi lain terjadi pula gelombang arus budaya Barat (westernisasi) ke negeri-negeri Islam. Munculnya TV swasta di negeri ini mempercepat berkembangnya budaya Barat. 

Bahkan keluarga-keluarga muslim berusaha dicekoki dengan gaya hidup, perilaku dan cara berfikir sekularisme. Televisi telah menjadi agen pembaratan yang tangguh. Tak heran bila kemudian anak-anak muslim lebih mengenal tokoh-tokoh rekaan di TV ketimbang tokoh - tokoh Islam. Maka, sadar atau tidak mereka telah terbaratkan dan kehilangan identitas kepribadian Islamnya.

 Itu semua sedikit banyak berpengaruh kepada cara berfikir, pemihakan, keprihatinan dan perilaku kaum muslimin. Apa yang dari Barat dinilai baik dan modern, serta apa yang dilakukan juga mesti benar. Bentuk layak disebut penjajahan dalam bentuk kebudayaan.

Di bidang hukum, tak terhitung jumlahnya hukum dan perundang-undangan negeri muslim, termasuk Indonesia, yang masih bersumber dari Barat. Anehnya, kita sangat bangga terbebas dari penjajahan Barat, tapi mengapa tidak merasa risih menggunakan sebagaian undang-undang buatan Belanda? Itu berarti, secara tidak langsung kita menyelesaikan berbagai masalah di negeri yang mayoritas muslim ini dengan cara penjajah. Ibaratnya, Penjajah telah lama pergi tetapi keberadaan mereka masih bercokol dalam wajah yang berbeda. 

Di bidang aqidah, Barat menyebarkan filsafat materialisme, di bidang ekonomi menyebarkan tatanan ekonomi kapitalisme yang eksploitatif, di bidang budaya menyebarkan amoralisme, di bidang pemikiran menyebarkan sekularisme, di bidang militer dan politik menyebarkan peperangan, adu domba dan pertentangan demi kepentingan sesaat serta melegalkan kedustaan. 

Sementara itu Islam, menyebarkan tauhid dan rahmat berupa kebaikan, kemuliaan dan kesejahteraan serta pembebasan yang semua bertolak belakang dengan kejahilian, kekafiran, kemusyrikan, dan kerusakan yang disebarkan Barat. Alquran menyebut Islam akan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Maka, tidak ada negeri yang dikuasai Islam berubah kusam, sengsara, mundur dan terbelakang. 

Tauhid itulah landasan penyebaran Islam. Memang benar, misi Islam sejak awal adalah menyeru manusia di seluruh dunia kepada Tauhid, dengan jalan dakwah dan jihad. Melalui dakwah berarti terdapat gerakan terus menerus untuk merubah manusia dari pikiran, perasaan dan tingkah lakunya yang sesat dan kufur menjadi pikiran, perasaan dan perilaku yang diatur oleh syariat Islam, serta mewujudkan pola hubungan antar manusia berdasarkan hukum Allah SWT. Sejarah telah menunjukkan hal ini.

Setelah berjuang selama 13 tahun di Makkah, Rasulullah berhasil mewujudkan masyarakat Islam yang dicita-citakan di Madinah. Rasulullah memimpin dan mengatur masyarakat Madinah dengan syariat Allah SWT, dan menyebarkan Islam ke seluruh wilayah di sekitarnya. Makkah yang semula sangat memusuhinya, tak lama kemudian dapat ditaklukkan dan berbalik menjadi pembelanya, kemudian Syam dan Mesir. 

Dalam berdakwah, Rasul menyeru kepada para pemimpin wilayah-wilayah yang menjadi objek dakwah untuk masuk Islam. Misalnya, beliau menyeru kepada Heraclius, "Aslim taslam  berIslamlah agar kau selamat". Bila ditolak, Rasul tidak memaksa, tapi mereka diminta tunduk kepada pemerintah Islam dan membayar jizyah dengan tetap memeluk agama mereka masing-masing. Allah berfirman:
"Perangilah oleh kalian orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang-orang yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah sedang mereka dalam keadaan tunduk (kepada hukum-hukum Islam) (TQS. At-Taubah : 29). 

Bila terhadap tawaran ini pun mereka tetap juga menolak bahkan melawan, mereka diperangi. Sebab, saat itu berarti mereka tengah menghalang-halangi manusia menerima cahaya kebenaran Islam, serta menentang Allah SWT dan Rasul-Nya. Inilah yang dapat dimengerti dari hadits beliau yang disampaikan oleh Ibnu Abbas dan Farwah Ibnu Musaik, "Janganlah kalian memerangi suatu kaum sebelum kalian mengajaknya kepada Islam". 

Jelas sekali, semangat penyebaran Islam berbeda sama sekali dengan yang dilakukan oleh Barat. Kolonialisme Barat selamanya menyebarkan kejahiliyahan dan kerusakan. Semuanya itu menyebabkan manusia hidup di dalam kegelapan tanpa petunjuk dari Penciptanya. Sebab itu, Al-Qur’an menyebutnya dzulumat (kegelapan). 

Jadi, jelaslah misi Islam adalah menyeru manusia kepada tauhid dan memerdekakan manusia dimana saja ia berada, dari pengaruh thagut. Secara tegas Allah SWT berfirman:
"Allah adalah Pelindung orang-orang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah para thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (TQS: Al-Baqarah: 257)

Pada masa Rasulullah, thagut adalah berhala-berhala yang disembah di seputar Ka’bah. Kini, thagut telah berubah wajah tapi hakikatnya sama menjadi ideologi-ideologi yang bersumber pada filsafat materialisme yang mengingkari kedaulatan Allah SWT, beserta segenap turunannya berupa sistem hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Islam memerdekakan manusia pula dari penghambaan kepada materi, kepada ambisi pribadi dan kepada hal-hal duniawi menuju kepada penghambaan Allah. Inilah kemerdekaan hakiki dalam pandangan Islam. 

Jadi, seseorang dan suatu masyarakat baru bisa dikatakan telah benar-benar merdeka, ketika ia bisa tunduk sepenuhnya kepada seluruh perintah dan larangan Allah SWT serta melepaskan diri dari belenggu sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid seraya menegakkan syari’at Islam. Kemerdekaan hakiki ada dalam penerapan sistem hukum Islam secara total.
Previous Post Next Post