Fenomena di Balik Poliandri ASN



Oleh: Airna Sari, S.Pd 
(Pendidik dan Pemerhati Generasi)


Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Tjahjo Kumolo mengungkap ada Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjalani hidup poliandri. Poliandri adalah kondisi seorang istri mempunyai lebih dari satu suami sekaligus Tjahjo mengatakan adanya fenomena pelanggaran di mana ASN perempuan yang memiliki suami lebih dari satu atau poliandri. (detiknews,29/8/2020)

Tjahjo Kumolo juga mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang memroses lima ASN yang kedapatan memiliki suami lebih dari satu atau poliandri. Tjahjo mengemukakan, pemeriksaan lima ASN itu berdasarkan adanya pelaporan dari masing-masing suami sah mereka. "Sekarang sedang dalam proses klarifikasi itu yang pengaduan suami," kata Tjahjo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (31/8/2020). Kejadian ASN wanita melakukan poliandri ini dibenarkan oleh MenPAN-RB RI Tjahjo Kumolo. Dalam satu tahun ini, Menteri Tjahjo menerima setidaknya lima laporan Poliandri. (ayobandung.com, 31/08/2020).
 
Angggota komisi  II DPR  RI Guspardi Gaus mengaku terkejut dan prihatin mendengar pernyataan menteri PANRB dan meminta agar menindak tegas jika ada ASN yang melakukan poliandri. Menurutnya fenomena ini jelas merendahkan harkat dan martabat  ASN itu sendiri, bahkan berharap dihukum berat dengan cara memberhentikan dan jika ada unsur pidana maka diproeses sesuai hukum yang berlaku (Republika.co.id 01/09/2020).

Dalam pandangan sekuler, manfaat atau materi menjadi tolak ukur segalanya. Seseorang menganggap baik, jika ia memiliki materi berlimpah. Begitu pun seseorang dipandang bahagia, jika mampu mendapatkan materi dan kenikmatan jasmani sebanyak-banyaknya.

Inilah yang kemudian mendorong banyak orang untuk melakukan perbuatan-perbuatan nyeleneh dalam rangka memuaskan diri untuk mendapatkan kebahagiaan, termasuk berpoliandri. Perbuatan ini jelas melanggar norma yang ada di masyarakat, peraturan pemerintah, apalagi sudah bisa dipastikan tak akan mendapat restu dari aturan agama.

Selain itu, praktik berbagi istri tersebut juga akan mendatangkan mudhorot yang luar biasa besar di tengah masyarakat, terutama untuk generasi. Praktik poliandri akan menyebabkan kerusakan jalur nasab dari anak-anak yang dilahirkan. Sebab sang anak tidak jelas siapa bapaknya.

Hal ini kemudian membuat hukum-hukum turunan ikut rusak, seperti hukum waris, hukum perwalian dan hukum nafkah. Bila ini dibiarkan, maka akan menimbulkan dampak lebih besar lagi, seperti kemungkinan terjadinya pernikahan senasab. Akibatnya generasi yang dilahirkan dari keluarga semacam ini terancam cacat baik secara fisik maupun mental. Bukankah ini sangat berbahaya bagi generasi penerus bangsa?

Poliandri juga menyebabkan keluarga-keluarga yang dibangun rentan mengalami kegagalan, perselingkuhan hingga perceraian. Ikatan pernikahan yang suci ternodai dengan praktek menyimpang semacam ini.

Dengan adanya masalah seperti poliandri ini sudah menunjukkan hasil dari sistem  pemerintah saat ini yakni sistem sekuler demokrasi. Sistem ini memisahkan aturan Allah Swt dari kehidupan manusia, sehingga manusia bisa melakukan hal-hal di luar aturan syariat Islam.

Dalam Islam poliandri hukumnya haram, berdasarkan dalil Al-Qur'an dan sunah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 “Dan (diharamkan juga atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” (TQS An-Nisa [4]: 24)

Untuk Itu, Islam juga menetapkan bahwa negara perlu memastikan bahwa setiap individu masyarakat memahami hukum-hukum Islam terkait pembentukan keluarga, melalui berbagai mekanisme seperti melakukan pembinaan di tengah umat baik pengokohan aqidah serta berbagai syariat Islam yang harus dijalankan. Dengan begitu setiap suami dan istri mengerti hak dan kewajiban yang harus mereka tunaikan masing-masing, serta menjadikan halal haram sebagai timbangan dalam berbuat.

Negara juga harus menerapkan hukum-hukum yang berkaitan dengan interaksi sosial masyarakat, seperti melarang terjadinya ikhtilat, mewajibkan perempuan muslimah memakai hijab ketika di luar rumah, larangan tabbaruj dan lain-lain sebagai bentuk penjagaan dari kemungkinan munculnya pandangan jinsi yang mengarah pada perilaku yang melanggar syariat. Semua itu diwujudkan dalam bentuk sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum-hukum tersebut.

Apabila kemudian di tengah masyarakat terjadi pelanggaran terhadap aturan Islam, maka negara wajib memberikan sanksi tegas. Penegakan sanksi ini bukan hanya untuk memberikan hukuman bagi pelakunya, namun juga sebagai penebus dosa dan penjagaan terhadap agama dan kehormatan warga negaranya.

Sudah sangat jelas bahwa aturan Islam yang bisa melahirkan sebuah kebahagiaan dunia dan akhirat serta kemaslahatan bagi semua insan di dunia. Haramnya poliandri dalam Islam tentu pelaksanannya memerlukan institusi yang memiliki wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat agar aturan Islam termasuk larangan poliandri ini bisa terlaksana dengan baik dan melalui pengontrolan yang ketat di masyarakat. 

Aturan Islam yang sempurna memerlukan wadah untuk menerapkannya. Masalah kehidupan yang membingungkan akan terselesaikan dengan baik dan tepat sasaran jika kita menggunakan Islam sebagai solusi dari segala problem. 

Jadi, kenapa masalah sejenis poliandri ini muncul, tidak lain karena sistem yang serba boleh dan bebas yang saat ini diterapkan. Dengan demikian, sudah selayaknya kita berjuang untuk mengembalikan aturan Islam yang digunakan dalam mengatur seluruh aspek kehidupan. 

Wallahu a'lam bisshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post