Dampak Corona : Tak Semua ‘Miskin Baru’ Mendapat Bantuan

Oleh : Neni Maryani
(Wiraswasta)

Sejumlah kepala desa (Kades) di Kabupaten Bandung meminta pemerintah provinsi Jawa Barat untuk mengkaji ulang kebijakan bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS) senilai Rp 500.000 per kepala keluarga yang terdampak Covid-19. Mereka menilai data penerima bantuan tersebut hanya sebagian dari ratusan keluarga yang membutuhkan di setiap desa. (PikiranRakyat.com, 17/04/20)

Menurut Kepala Desa Tenjolaya, Ismawanto Somantri, data yang digunakan oleh Pemprov Jabar untuk menentukan penerima bantuan adalah data rumah tangga miskin (RTM) dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DKTS) dan non DKTS 2020. Namun kenyataannya, masyarakat miskin baru (misbar) yang muncul akibat dampak Covid-19 jauh lebih banyak ketimbang yang tercatat dalam data tersebut. Ini mengakibatkan kekhawatiran dari segi pembagiannya. Terlebih lagi bentuk bantuan yang diberikan senilai Rp 500 ribu/KK/bulan itu tidak semuanya dalam bentuk uang tunai, namun dua per tiganya berupa sembilan bahan pokok (sembako). 

Masyarakat pun banyak mempertanyakan kapan bantuan itu akan cair, dan mempertanyakan apakah bantuan yang diberikan gubernur itu untuk semua masyarakat? Sedangkan hasil verifikasi pihak pemprov menyatakan hanya ada 140 kepala keluarga, itu pun hanya di Desa Tenjolaya saja yang berhak menerima bansos tersebut. Artinya masih ada ratusan kepala keluarga yang tidak akan mendapat bantuan dari pemprov.

Faktanya untuk saat ini kinerja Pemkab Bandung masih kurang maksimal dalam pendataan masyarakat yang membutuhkan bantuan. Masih banyak masyarakat yang benar-benar membutuhkan, tetapi tidak terakomodir dalam data penerima bantuan.

Problem tersebut bukan hanya terjadi di lingkup Kabupaten Bandung saja. Hampir semua wilayah yang terdampak virus Corona mengalami hal serupa. Sebutlah Kota Bekasi, melalui Wakil Walikotanya, Tri Adhianto mengatakan bahwa penurunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Bekasi imbas pandemi corona (Covid-19) cukup besar. Akhirnya semakin banyaklah masyarakat yang berstatus miskin baru yang belum terdata dan tidak menerima bantuan. Padahal telah di Informasikan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menganggarkan Rp 16 Triliun untuk mengatasi dampak pandemi covid-19 di Jawa barat tetapi sampai saat ini bantuan dari dana Pemerintahan Daerah belum terealisasi sepenuhnya.

Sebagai pengampu tanggung jawab masyarakat di lingkup daerah, tentu tak mengherankan jika para kepala desa beserta jajarannya mengkhawatirkan kondisi tersebut, hingga ada kabar bahwa pembagian dana bantuan sosial ini bukannya meyelesaikan masalah tapi justru malah akan memumculkan gejolak sosial yang baru. 

Padahal jika ditengok dari sisi kekayaan bumi yang ada di tiap wilayah, bangsa ini sungguh demikian kaya. Mulai dari kekayaan di perut bumi, daratan, lautan dan potensi alam lainnya. Jadi rasanya tak masuk akal jika didapati ada wilayah yang masih berada dalam taraf kekurangan/miskin di masa wabah sekalipun. Jika dikelola dengan mekanisme yang tepat, bangsa ini pasti tidak akan terlalu kebingungan menghadapi krisis ekonomi di masa pandemic.

Kesalahan mekanisme atau salah urus dari Negara ini bisa dirunut mulai dari kaidah otonomi daerah yang dianut. Otonomi daerah mewajibkan masing-masing daerah harus mandiri mengurusi wilayahnya. Menggunakan pos-pos PAD masing-masing dan seolah tidak saling peduli dengan apa yang terjadi pada daerah lain, bahkan dalam satu kawasan bangsa sekalipun. 

Jika dalam keadaan normal saja, daerah dengan sumber PAD rendah menjadi wilayah “miskin”, maka bisa dibayangkan apa yang terjadi ketika terjadi musibah semisal merebaknya wabah seperti yang terjadi sekarang. Ini sungguh merupakan konsekuensi logis dari diberlakukannya sistem ekonomi kapitalis khas demokrasi. 

Hal seperti itu tidak akan terjadi jika sistem ekonomi diatur dengan mekanisme  Islam. Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan dan sistem kehidupan paripurna yang terpancar dari akidah yang kokoh. Ia pun hadir dari Dzat yang Maha Pencipta dan Maha Mengetahui hakikat kebaikan dan keburukan bagi setiap makhluk-Nya.

Terkait sistem ekonomi, Islam memiliki pandangan yang khas dimana mekanismenya bersifat sentralistik. Islam memandang bahwa seluruh wilayah negara ada dalam satu kesatuan kepemimpinan. Tidak ada wilayah yang independen dari kekuasaan pusat layaknya federasi atau juga otonomi daerah. Maka dalam hal pembiayaan dan pengaturan belanja negara pun dianggap satu, tanpa memandang lagi wilayahnya. Jika pendapatan sebuah wilayah tidak sanggup mem-back up pengeluaran (kebutuhan), maka wilayah tersebut akan disubsidi oleh pemerintah pusat hingga mencukupi. Hal ini karena strategi penganggaran di tiap wilayah didasarkan pada kebutuhannya, bukan pemasukannya. Maka yang terjadi pada saat di satu wilayah terdampak oleh wabah penyakit atau masa paceklik, wilayah lain yang tidak atau minim terdampak akan didorong untuk membantu wilayah tersebut melalui kekuasaan pusat.

Sistem ekonomi Islam memegang prinsip keadilan yang hakiki. Mampu mendistribusikan harta kekayaan pada setiap wilayah dan individu. Sehingga sejatinya permasalahan pendapatan daerah di masa wabah akan terpecahkan dengan merujuk pada sistem ekonomi Islam.

Namun demikian, pelaksanaan sistem ekonomi Islam akan berjalan sempurna jika ditunjang oleh penerapan sistem kehidupan paripurna yang juga merujuk pada ideologi Islam. Ia hanya mampu diterapkan dengan sempurna dalam sistem pemerintahan yang khas yakni Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post