Tumbal Demokrasi



Oleh: Sofia Ariyani, S.S 
Member Akademi Menulis Kreatif

Nestapa, kondisi kontestasi pilpres tahun ini. Sejak awal suhu perpolitikan periode ini sangat panas dari masa kampanye pilpres 2019 hingga pengumuman hasil rekapitulasi suara kontestasi ini diwarnai kegaduhan, carut marut, kecurangan, pemblokiran media sosial hingga perlawanan dari masyarakat. Tak hanya sampai di situ ternyata kontestasi pilpres tahun ini meminta korban jiwa, sebanyak lebih dari 600 orang meninggal akibat kelelahan menjadi anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dan 8 orang terenggut nyawanya serta korban luka 730 orang akibat kerusuhan yang terjadi 22 Mei lalu.

Dari suara.com dilansir, Anies menyebut jumlah korban Aksi 22 Mei bertambah menjadi delapan orang per Kamis (23/5) pukul 11.00 WIB. Sementara yang luka-luka bertambah menjadi 730 korban yang sedang dalam penanganan medis.
"Korban yang meninggal jumlahnya terbaru adalah 8 orang. Ini untuk menangkis kesimpangsiuran berita yang menyebutkan ada banyak sekali korban yang meninggal," kata Anies di Jakarta, Kamis (23/5/2019).

Kali pertama dalam sejarah negeri ini kontestasi pilpres diwarnai kegaduhan yang luar biasa hingga memakan korban. Pesta demokrasi yang sejatinya ajang rakyat menggunakan kedaulatannya justru dicederai oleh penguasa dan para kapitalis yang memiliki kepentingan atas negeri ini. Rakyat tidak bisa berdaulat. Rakyat dibungkam dengan pemblokiran media sosial dan media mainstream yang tidak lagi independent, padahal dalam demokrasi suara rakyat adalah suara tuhan. Namun jargon-jargon demokrasi “dari rakyat untuk rakyat”, “vox populi vox dei”, “kedaulatan di tangan rakyat” adalah pepesan kosong belaka. Nampaknya suara kapitalislah yang menentukan bangsa bukan rakyat.

Demokrasi adalah sistem buatan manusia yang bermula dari keberadaan penguasa Eropa saat itu yang mengklaim bahwa penguasa adalah wakil tuhan di bumi dan berhak memerintah dengan kekuasaannya. Dari sinilah sejarah demokrasi muncul akibat pergolakan dan konflik antara penguasa Eropa dan rakyatnya. Hingga membuat filosof dan pemikir Eropa sadar dan bangkit. Mereka mulai membahas masalah pemerintahan dan menyusun konsep sistem pemerintahan rakyat, sistem demokrasi. Sistem ini menempatkan rakyat sebagai sumber kekuasaan, sementara penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat sang pemilik kekuasaan.

Jauh panggang dari api, itulah fakta demokrasi. Tidak satu pun ide demokrasi yang menolong rakyat. Justru yang ada menjadikan rakyat tumbal-tumbal kepentingan kapitalis yang rakus. Jutaan jiwa rakyat tak berdosa melayang akibat demokrasi. Konflik horizontal terjadi di belahan bumi mana pun. Itu karena demokrasi memunculkan pertentangan, perselisihan dan benturan antar masyarakat.

Beginilah ketika sistem hidup yang digunakan manusia berasal dari akal manusia sendiri. Manusia adalah makhluk yang notabene lemah dan terbatas. Tak akan mampu manusia mengatur manusia lainnya dengan keterbatasannya.

Adalah Islam agama komprehensif yang mengurusi segala urusan manusia, mengurusi wilayah ibadah hingga mengatur urusan duniawi. Islam agama yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Ketika kaum Muslim melakukan perbuatan harus sesuai dengan aturan Islam. Dengan begitu maka tidak ada perselisihan, pertentangan dan benturan antar manusia bahkan dengan alam. 

Dan sudah saatnya membuang sistem rusak dan merusak ini ke tempat sampah peradaban.  Menggantinya dengan sistem terbaik untuk manusia dan alam yang berasal dari Allah Swt dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.


Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post