Korban Kekerasan Seksual Berhak Mendapatkan Zakat?

Oleh: Ami Pertiwi Suwito 

Mahasiswa Universitas Gunadarma

 

Kasus kejahatan seksual di dunia ini semakin hari semakin mengenaskan, termasuk di Indonesia. Semakin banyak kasus kejahatan seksual yang terjadi, maka semakin banyak juga korban yang mental dan fisiknya terluka. Tentunya sebagai seorang Muslim kita sangat peduli dengan kondisi korban dan ingin memberi mereka perlindungan yang optimal. Tidak lupa, kita juga ingin memberi sanksi yang tegas kepada sang pelaku supaya masyarakat sekitar jera melakukan kejahatan seksual.

Namun akhir-akhir ini, salah satu anggota Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Aisyiyah yakni Yulianti Muthmainnah menerbitkan sebuah buku berjudul “Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”. Tentu judul buku seperti itu menuaikan kontroversi. Sebab di dalam Al-Quran surah at-Taubah ayat 60, sudah ditentukan delapan golongan yang berhak menerima zakat. Dari kedelapan golongan itu tidak ada korban kekerasan seksual. Lantas apa yang mendorong Yulianti mengemukakan pendapat bahwa korban kekerasan seksual berhak menerima zakat?

“Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS at-Taubah ayat 60).

Yulianti mengakui bahwa ide buku “Zakat untuk Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak” dilandasi oleh pendapat seorang ulama mengenai kata riqab (الرقاب) yang berarti budak/hamba sahaya dalam surah at-Taubah ayat 60, entah ia mencantumkan kutipan sang ulama atau tidak dalam bukunya itu.  Yang jelas, Yulianti sebut bahwa golongan riqab tidak hanya meliputi pembebasan budak namun juga meliputi perbudakan modern yaitu korban pemerkosaan.

Kita tentu tidak bisa menelan mentah-mentah pernyataan-pernyataan tadi yang nihil akan dalil jelas. Apalagi distribusi zakat itu menyangkut hak kaum Muslim yang sudah jelas dalam Al-Quran. Pertanyaannya bagaimana kita sebagai umat Islam menyikapi pernyataan ini?

Cara Islam Mengatasi Perbudakan

Pertama-tama, kita harus memahami arti perbudakan secara harfiah yakni manusia yang masih menjadi hak milik tuan. Sejak zaman dahulu, perbudakan merupakan sebuah praktik yang telah lama diterapkan di berbagai belahan dunia termasuk Jazirah Arab. Sedangkan konteks budak/riqab dalam at-Taubah ayat 60 ditujukan kepada budak-budak belian yang telah membuat kesepakatan dengan tuannya bahwa dia sanggup membayar sejumlah harta untuk memerdekakan dirinya. Islam justru datang untuk memerdekakan para budak, baik itu budak Muslim maupun non-Muslim.

Islam menyediakan berbagai cara untuk memerdekakan budak. Salah satu caranya melalui zakat, yakni jatah riqab dari zakat yang disalurkan sebagai uang tebusan kepada sang tuan untuk memerdekakan budak-budak Muslim. Jadi kata riqab tidak meliputi korban kekerasan seksual.

Pandangan Islam terhadap Perbudakan Modern

Meskipun perbudakan zaman dahulu sudah tidak ada hari ini, tidak bisa dipungkiri ada praktik-praktik perbudakan yang masih hidup zaman sekarang dengan rupa yang berbeda. Mulai dari perdagangan manusia, mempekerjakan orang dengan upah kecil atau tanpa upah, dan lain sebagainya. Namun kita perlu pahami dulu perbedaan antara perbudakan zaman Rasulullah dengan perbudakan zaman sekarang.

Perbudakan zaman dahulu itu memperbudakkan orang yang belum merdeka (amah). Sedangkan perbudakan zaman sekarang itu memperbudak orang yang sudah merdeka (baihul hur). Islam dengan tegas melarang segala praktik perbudakan manusia yang merdeka dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah RA: “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Tiga golongan yang Aku akan menjadi musuh mereka di hari Kiamat; pertama: seorang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia tidak menepatinya, kedua: seseorang yang menjual manusia merdeka dan memakan hasil penjualannya, dan ketiga: seseorang yang menyewa tenaga seorang pekerja yang telah menyelesaikan pekerjaan itu akan tetapi dia tidak membayar upahnya’.”

Adapun perbudakkan orang yang belum merdeka (amah) zaman dahulu dalam Islam itu tidak langsung dihapuskan dengan maksud untuk memerdekakan mereka. Maka orang-orang zaman sekarang yang diperbudak tidak termasuk ke dalam golongan penerima zakat yakni riqab.

Menyikapi Perbudakan Modern serta Perdagangan Perempuan dan Anak

Sikap umat Islam terhadap perbudakan modern termasuk perdagangan perempuan dan anak tidak lain adalah penerapan syariat Islam secara kaffah. Sebab maraknya perbudakan modern itu berakar dari hilangnya syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Sistem kapitalisme, komunisme, dan sekulerisme yang merajalela di seluruh dunia menciptakan isu-isu ketimpangan ekonomi, tingginya pengangguran, dan kurangnya pendidikan rakyat jelata. Maka tidak heran apabila perbudakan modern menjadi jalan pintas orang-orang licik untuk menguras keuntungan dari manusia yang merdeka.

Kalau syariat Islam sudah tegak, negara yang bertanggung jawab atas hak-hak rakyat seperti pendidikan, kesehatan, fasilitas umum masyarakat, dan sebagainya. Lapangan kerja dibuka seluas-luasnya untuk memberantas penagngguran. Ketahanan keluarga serta pergaulan antar laki-laki dan perempuan pun dijaga oleh negara guna menutup celah-celah kejahatan seksual. Maka tidak perlu diragukan lagi syariat Islam merupakan solusi yang paripurna untuk menyelesaikan isu-isu kemanusiaan, termasuk perbudakan modern.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post