Perawan Tua (Part 1)

Oleh : Nelliya Azzahra 
(Member AMK Dan Pegiat Literasi)

Semilir angin memainkan helai padi yang mulai menguning. Hamparan sawah terlihat menyejukkan mata.

Di pinggir sawah terlihat seorang gadis tengah duduk menikmati makan siangnya, hembusan angin memainkan ujung kerudungnya, membuatnya sesekali membenarkan kerudungnya.

Keringat mengalir dipelipisnya, menandakan kerjanya hari ini lumayan berat. Menyiangi padi yang menguning dan membawanya kembali kerumah.

Tapi tidak terlihat sedikitpun dia mengeluh. Pekerjaan ini sudah biasa baginya, membantu orangtuanya sejak dia lulus sekolah. Dia tidak kuliah, di kampung ini sudah lulus sekolah menengah akhir sudah bersyukur. Bahkan, teman-temanya ada beberapa yang hanya lulus SD.

Dialah 'Sumi' ,gadis keturunan jawa tulen, dengan kulit kuning langsat, badan tinggi semampai, serta memiliki senyum yang manis.

Tahun ini usia Sumi tepat 29 tahun, usia yang lebih dari matang untuk menikah.

Entahlah sampai sekarang Sumi tidak juga kunjung mengakhiri masa lajangnya. Ada yang bilang, katanya Sumi sempat patah hati karena ditinggal tunangannya menikah dengan gadis kota. Sehingga Sumi menutup rapat hatinya. Dan berujung jadi perbincangan orang di kampung. Dengan usianya  saat ini yang belum juga menikah. Tidak sedikit dari mereka yang mengatakan dia perawan tua. Karena teman sebayanya rata-rata sudah memiliki anak 2-3 orang.

Tapi Sumi sudah menebalkan telinganya dari omongan itu. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dipikirnya jika sudah saatnya dia juga akan menikah.

Sumi tampak sedang mengemasi sisa makan siangnya. Rantang disusun  kembali dengan rapi. Lalu berdiri mengibas-ngibaskan ujung gamisnya yang terkena sedikit lumpur.

**

"Sumi, sudah mau pulang ya" aku mendongak dan kudapati pakde Har yang menyapa.

"Iya pakde. Bapak dan ibu juga sudah pulang. Saya tadi makan siang disini dulu" aku melihat pakde Har pemilik sawah disebelah sawah kami, sedang berjalan pulang dengan membawa arit di tangannya dan golok yang diikatkan di pinggangnya. Sebentar lagi akan zuhur memang. Warga disini terbilang cukup religius. Jika masuk waktu solat ,maka mereka bergegas untuk pulang kerumah dan meninggalkan pekerjaannya.

Dikampung  ini, mata pencarian pokok ya bertani.

Aku segera berjalan meniti pematang sawah dengan hati-hati tidak ingin terpelesat seperti tempo hari. Yang akhirnya membuatku mandi lumpur. Aku sudah biasa membantu bapak dan ibu di sawah. Memang tidak ada paksaan, murni karena aku ingin membantu bapak dan ibu. Selain itu untuk membuatku sibuk dan tidak memikirkan omongan orang kampung yang membicarakan status lajangku. Dan dengan seenaknya memberiku gelar perawan tua. Dasar mereka pikirku.

Aku tidak terlalu ambil pusing. Kalau jodohnya belum datang ya mau bagaimana lagi.
Lagi pula, aku masih dibayangi trauma masa lalu. Bagaimana saat itu dengan teganya mas Rahmat memutuskan sepihak tunangan kami, dan lebih memilih menikahi gadis kota yang lebih kaya katanya.

Dia beralasan, dengan begitu bisa terbebas dari kungkungan hidup di kampung ini yang tidak membawa kemajuan. Dia bosan hanya menjadi petani. Ingin merasakan tidur dikasur empuk, makanan yang enak-enak dan memiliki rumah yang bagus. Dasar matrealistis.

Aku hanya tersenyum kecut mendengar penjelasannya. Bagaimana bisa hanya karena itu semua dia rela meninggalkanku dengan rasa malu yang ditanggung oleh seluruh keluargaku.

Sudahlah aku tidak ingin lagi mengenang laki-laki yang telah membuatku mengubur dalam-dalam keinginanku untuk menikah saat ini.

sampai di rumah, bergegas aku ke sumur untuk membersihkan diri. Disini tempat mandinya masih diluar rumah. Kami memiliki 1 sumur timba. Disanalah dibuat tempat mandi yang ditutup seng dengan dinding papan.

Selesai bebersih aku segera menunaikan solat zuhur.

"Sumi, malam ini bapak ada kenduri di Rt sebelah, kamu libur saja ngajar ngajinya ya. Temani ibumu yang sedang tidak enak badan" bapak bicara sambil menghisap cerutunya.

"Ibu sakit pak? Pantes  saja dari tadi  Sumi ndak lihat ibu"

Ngomong-ngomong dari tadi aku memang belum melihat ibu. Kupikir ibu dirumah bulek Jun adik kandung Ibu yang tinggal disebelah rumah. Ibu memang sering kesana. Katanya enak disana rame ada cucu bulek Jun.  Eh Ternyata ibu sedang sakit.

Setiap malam aku memang mengajar ngaji di Langgar yang berjarak beberapa buah rumah dari rumah kami. Aku senang bisa mengajari anak-anak disini dan berbagi ilmu dengan mereka.

Aku segera ke kamar ibu. Kulihat ibu sudah meringkuk tidur diatas ranjang. Segera kuhampiri. Lalu kutempelkan tanganku dikeningnya. Panas.

Segera aku ke dapur untuk mengambil air guna mengompres dan sekalian mengambil obat untuk menurunkan demamnya.

~~

Pagi ini seperti biasa selepas subuh aku bersiap ke sawah. Hari ini hanya bersama bapak, karena ibu masih lemas katanya. Aku memasak  makanan untuk ku bawa kesawah dan untuk ibu di rumah. Setelah siap akupun pergi dengan menjinjing rantang dan mengapit topi caping.

Matahari mulai bergerak naik, panasnya mulai terasa dikulitku. Aku segera mengenakan topi capingku. Berharap kulit wajahku tidak terbakar matahari.

Dalam perjalanan pulang tadi saat aku hendak melewati rumah pakde Har,  kulihat mobil mewah terparkir di halamannya. Tapi aku tidak ingin tahu siapa pemiliknya. Mungkin saja anak pakde Har sudah balik dari kota? Iya pakde memiliki dua orang anak laki-laki yang bekerja di kota. Satu sudah menikah. Konon katanya mereka sudah sukses. Hanya saja, pakde Har tidak mau diboyong ke kota. Katanya enakan di desa. Tidak ada polusi, tidak bising, dan lainnya. Jadilah anak-anaknya yang sesekali berkunjung. Aku tidak terlalu mengenal anak pakde Har. Mungkin dulu karena aku yang jarang keluar rumah.

Saat aku melintas pas didepan halamannya kulihat seorang pemuda yang  wajahnya asing sedang berjalan menuju mobil mewah yang terparkir itu.

Pandangan kami bertemu. Dia memperhatikanku dari atas sampai bawah kemudian tersenyum. Melihat wajahnya, sepertinya dia lebih muda  dariku. Badannya tegap, dengan kulit sawo matang dan hidung mancung. Kemeja yang dilipat sampai siku membuat penampilannya sempurna.

Aku segera memutuskan kontak mata kami dan menatap kearah lain. Lalu tanpa sepatah katapun berlalu meninggalkannya.

**
"Ibu, apa sudah merasa lebih baik?" Tanyaku pada ibu yang sedang menyulam.
Meski sudah senja tapi penglihatan ibu masih tajam.

"Alhamdulillah sudah nduk"

Kulihat bapak keluar dari dapur dengan segelas kopi  di tangannya, memilih bergabung duduk bersama kami diruang tamu.

"Sumi, apakah kau masih memikirkan laki-laki yang meninggalkan mu itu? Jika iya,  kau harus segera melupakannya. Jangan menyiksa dirimu begitu!" kudengar suara berat bapak. Sejujurnya aku sudah tahu arah pembicaraan bapak kemana. Dan aku selalu tidak tertarik untuk membahasnya.

"Aku, sudah melupakannya pak. Sudah lama"sahutku mantap.

"Hmm. Baguslah kalau begitu"

"Nduk, apa kamu tidak mau menikah? Coba Lihatlah usiamu sebentar lagi 30 tahun. Kamu lihat teman-temanmu yang seusia denganmu sudah punya anak 2-3. Lalu kamu kapan nduk? Malu nduk sama orang kampung yang ngomongin kamu itu" ibu menghentikan kegiatan menyulamnya lalu beralih menatapku.

"Menikah itu ibadah ya nduk. Buang jauh-jauh pikirianmu itu kalau mau melajang salamanya"

"Ibu, bukan aku tidak mau bu, tapi bagaimana lagi buk, laki-laki disini tidak ada yang mencoba melamarku. Dengan alasan usiaku yang sudah terlalu matang. Mereka takut nanti tidak bisa mendapatkan anak" jelasku blak-blakan. Selama ini memang kenyataannya begitu. Dan aku tidak mau menikah hanya karena mereka kasihan denganku.

"Gusti..kenapa begini ya pak. Punya ada wedok satu, tapi jodohnya angel" ibu menatap iba kepadaku. Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Yah mau bagaimana lagi.

Sepagi ini suasana kampung sudah ramai. Aku pun bersiap ingin pergi kesawah.

Ketika diperjalanan menuju sawah, kulihat seseorang berlari kearahku. Setelah dekat baru ku tahu, jika dia lakki-laki beberapa hari lalu dirumah pakde Har. Aku hanya melihatnya tanpa niat sedikitpun menyapa.

"Mbak tunggu!" Serunya sambil ngos-ngosan mengatur nafasnya. Siapa juga yang menyuruhnya berlari pikirku.

"Mbak apa nanti malam aku boleh kerumahmu?" tanyanya masih dengan nafas memburu.

"Untuk apa?"

"Itu aku, mmm" dia terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya. Aku yang tidak tertarik sama sekali pun ingin segera pergi.

"Mbak tunggu!" Dia mencoba menahan langkahku.

"Cepat katakan! Aku buru-buru"

"Aku ingin kerumahmu"

"Untuk?"

"Hmm, aku, ingin melamarmu mbak"

Jdeerr.. serasa mendengar suara petir disiang hari mendengar kata yang keluar dari mulutnya barusan. Bagaimana tidak? Laki-laki ini yang baru kulihat beberapa hari lalu Dan apa tadi? Dia ingin melamarkku?

"Kau apakah sedang mengingau disiang bolong?" Tanyaku dengan menatapnya tajam.

"Aku serius mbak"

"Berapa usiamu"

"25 mbak"

"Lupakan keinginanmu itu. Lagipula kau lebih pantas jadi adikku!" ketusku berharap dia segera pergi.

"Mbak, kenapa kau menolakku saat aku belum membuktikan tulusnya niatku" dia menjawab dengan wajah tegas dan serius.

"Karena aku tidak tertarik dengan bocah!" seruku sengit. Aku segera meninggalkannya. Baru beberapa langkah kudengar teriakannya.

"Dan mbak sendiri, perawan tua sombong!

Aku  berbalik, melayangkan tatapan membunuh kepada laki-laki yang tidak tahu sopan santun itu. Kata-katanya sungguh menyakitkan hatiku.

Post a Comment

Previous Post Next Post