Logika 11 September

Penulis : Salasiah, S.Pd
(Pendidik dan Aktivis Muslimah)


Ledakan pesawat di gedung WTC pada 11 September 2001 merupakan peristiwa yang tak akan terlupakan, baik oleh para korban, lebih pahit dirasakan oleh seluruh umat Islam. Logika Barat yang dijadikan pijakan untuk mengenang peristiwa semakin tidak mendasar. Setelah ledakan pesawat di gedung WTC, tuduhan langsung ditujukan kepada Islam tanpa pembuktian yang nyata. Presiden AS waktu itu George W. Bush bahkan dengan pongah menyatakan bahwa crusade (perang salib) belum berakhir. Tindak lanjutnya, AS memaksa seluruh negara untuk bersama dalam agenda memerangi terorisme, yang nota bene ditujukan kepada Islam, dan ancaman carrot bagi negara yang tidak berjalan bersamanya.

Afganistan dengan rezim yang berkuasa saat itu adalah negara pertama yang dianggap sebagai teroris. Tak ayal  Invasi militer pun dikerahkan oleh AS ke Afganistan, yang tidak pernah terpikir untuk dilakukannya kepada Israel yang meneror Palestina berpuluh tahun.

Tidak hanya itu, ambsisi sprit Bush menjamah Irak dengan alasan Irak menyimpan senjata WSD pemusnah massal.  Sampai saat hari pun AS belum bisa membuktikan adanya senjata pemusnah massal yang dituduhkan, yang pasti terjadi adalah mereka menjebak rakyat Irak dalam konflik bersenjata yang membawa penderitaan bagi sipil Irak. Bahkan dalam penyelidikan yang terbuka dan akuntabel, tidak ada bukti hubungan antara Al-Qaeda dan peristiwa 11 september.  Namun ketika tuduhan mereka tidak terbukti, ternyata tidak menyurutkan kebencian mereka yang terpendam terhadap Islam.

Pelecehan pun tidak henti ditebarkan. Mulai dari tulisan jurnalis Nigeria, Isioma Daniel tentang Rasul dan Miss world. Film ‘dokumenter’ garapan produser film asal Belanda, Theo Van Gogh, sengaja dirilis untuk menghinan Islam dan Muhammad. Al-Qur’an pun dimasukkan ke WC dipenjara rahasia Amerika di Guantanamo-Kuba  oleh serdadu AS.

 Pelecehan pun berlanjut dengan penerbitan kartun-kartun yang menghina Rasulullah SAW oleh Koran Jyllands-Posten. Dalam kartun itu Rasulullah Muhammad SAW digambarkan sebagai seorang Badui yang membawa pedang dan menenteng ‘bom’, diapit oleh dua orang perempuan bercadar hitam di sebelah kiri dan kanannya. Bahkan dalam salah satu kartun itu Rasulullah digambarkan  sebagai orang yang bersorban, yang disorbannya terselip bom. Gambar-gambar itu diterbitkan pada bulan September. Sekalipun menuai protes, gambar-gambar tersebut terus dicetak ulang diberbagai Negara. Mereka menyatakan “ini bagian dari upaya ambil bagian dalam pertempuran antara agama (baca : Islam) dalam kebebasan berekspresi”.

Kasus-kasus penghinaan ini merupakan wajah asli  kebebasan dalam hak asasi manusia (HAM) menurut mereka. Kebebasan buah dari demokrasi adalah kebebasan untuk melakukan apapun termasuk mendeskridetkan, menghina dan melecehkan  Islam. Ini adalah kebebasan yang penuh kepura-puraan. Ketika di Prancis Muslimah dilarang mengenakan jilbab, ‘kebebasan’ yang mereka dengungkan tidak terdengar. Saat kaum muslim lantang menyuarakan Islam yang diterapkan dalam sistem Khilafah sebagai pengganti system kapitalisme yang bobrok, mereka menudingnya garis keras. Pada saat kaum muslim menunjukkan kedzaliman dan ketidakadilan negera-negara besar, mereka menuduhnya sebagai mengangungkan kekerasan.

Ambigu demokrasi juga terlihat dari perlakuan mereka terhadap negeri muslim seperti Irak yang mereka tuduh sebagai rezim yang dzalim karena dengan tegas menolak bersekutu dengan Amerika yang menganggap dirinya negara adidaya. Afganistan yang dengan massif mereka tuduh sebagai negara terorisme sehingga harus dihancurkan dengan invasi militer. Akan tetapi sikap mereka berbeda dan malah mendukung kedzaliman dan terorisme Israel yang menjarah tanah hak milik Palestina. Sikap hipokrit Barat dengan demokrasinya yang merupakan bagian dari perang kebudayaan dan peradaban yang mereka lancarkan. Namun demikian, semua ini justru menunjukkan ketakutan atas prediksi mereka sendiri dengan berdirinya kembali kekhilafahan Islam segera dan merupakan kekalahan Barat secara intelektual.

Intelektual yang hanya dibangun atas kebencian, seperti yang dimiliki pendeta Terry Jones di gereja Dove World  Outrech Center, Florida AS yang menyerukan kepada gereja seluruh dunia “kita akan membakar Al-Qur’an untuk mengenang korban 11 September dan untuk berdiri melawan kejahatan, Islam itu setan!” (Loginswarny.com). B ahkan kabarnya Terry sudah membuat video pedoman pembakaran yang disiapkan untuk dilakukan bersama tepat tanggal 11 September. Logika intelektual yang sangat rendah ketika  harus mempertanyakan kepada mereka apa hubungan Al-Qur’an atas peristiwa 11 September. 

Sementara itu demokrasi yang diagungkan hanya bisa membuat pemerintahnya berdiam diri. Obama yang menyatakan diri bersahabat dengan kaum muslim pun tidak berbuat banyak membendung  seruan logika kebencian yang rendah ini. Dan memang kita tidak akan pernah berharap kepada mereka.

Sesungguhnya reaksi atas semua kasus pelecehan dan penghinaan yang umat hadapi tidak cukup hanya dengan memutuskan hubungan diplomasi, mengusir duta besar, memboikot produk mereka, melakukan protes dijalan, menuntut permintaan maaf, sekalipun semua itu baik. Hanya saja itu hanya bagian terkecil. 

Adapun sikap dan tekad bulat untuk mengakhiri semua tragedi penghinaan ini adalah dengan bersatu umat melepaskan diri dari cengkraman sistem sekuler yang sekarang mencengkram negara dan umat ini. Sistem sekuler yang membuat pemimpin tidak mampu  mensejahterakan rakyat dan melindungi umat, yang membuat mereka abai akan aqidah dan syariat. 

Mungkin kita juga harus mengingat bagaimana Romawi dibebaskan setelah mereka menistakan seorang wanita muslimah oleh kekuatan khilafah. Apakah mungkin Terry Jones berani sesumbar dengan seruannya jika kekuatan itu kembali ada? Mungkinkah ini hanya sebuah utopis, mimpi di siang bolong padahal hal itu yang mereka takutkan? Mungkinkah negara dengan umat Islam terbesar di dunia ini bisa  menjawab? Atau kita hanya sedikit merasa tersinggung, setelah itu acuh? “Wallahu’alambishawab”

Post a Comment

Previous Post Next Post