Sistem Zonasi Tak Mampu Jadi Solusi

Oleh: Sadiah
(Guru SMK Swasta di Kab. Bandung)

Tahun 2019 pemerintah kembali menerapkan sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Ini merupakan tahun ke-3 diterapkannya sistem zonasi dalam PPDB. Dan di tahun ini Kemendikbud mengeluarkan regulasi baru terkait PPDB, yakni sistem zonasi, prestasi, dan perpindahan orang tua. Dari ketiga jalur tersebut, jalur zonasi mendapat quota paling banyak, yaitu 90%, 5% jalur prestasi dan sisanya 5% untuk jalur perpindahan orang tua.

Penerapan sistem zonasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kwalitas pendidikan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhajir Effendi. Sistem zonasi diterapkan sebagai upaya mempercepat pemerataan di sektor pendidikan, menghilangkan kasta dalam sistem pendidikan, sehingga tidak ada sekolah favorit dan sekolah tidak favorit.

Alih-alih menjadi solusi dalam mengatasi persoalan ketimpangan dalam dunia pendidikan, sistem ini justru menuai pro dan kontra, bahkan menimbulkan berbagai persoalan di berbagai daerah. Kekecewaaan para orang tua yang dilampiaskan melalui aksi demonstrasi, seperti yang terjadi di Gedung Negara Grahadi Surabaya (Rabu, 19/6/2019). Ratusan wali murid yang tergabung dalam komunitas Orang Tua Peduli Pendidikan Anak meminta pemerintah untuk menghentikan prosea PPDB dan mendesak Mendikbud Muhajir Effendi segera dicopot. (Kompas.com)

Tak hanya aksi para wali murid, sistem zonasi berimbas buruk kepada anak yang khawatir tidak diterima di sekolah negeri. Akibatnya tidak sedikit dari mereka yang sampai depresi. Sementara itu, imbas sistem zonasi juga mulai dirasakan di sejumlah sekolah wilayah propinsi. Tak sedikit sekolah yang kekurangan siswa. Bahkan di Wonogiri dan Kendal ada sekolah yang hanya mendapatkan 6 pendaftar hingga penutupan. Sistem zonasi pun tidak luput dari kecurangan-kecurangan, seperti pemalsuan KK dan sogok menyogok.

Semua ini membuktikan bahwa kebijakan penguasa yang tak bijak karena tak menyentuh akar masalah kesenjangan bidang pendidikan. Meskipun penerapan sistem zonasi oleh Kemendikbud dinilai cukup baik untuk mnghilangkan favoritisme sekolah, ternyata tidak dapat menutupi keburukan sistem Kapitalisme-Sekulerisme dalam bidang pendidikan.

Permasalahan kesenjangan sekolah sejatinya berawal dari kesalahan paradigma dan sistem pendidikan yang dijalankan. Infrastruktur sekolah yang belum merata, sarana dan prasarana yang tidak memadai berikut SDM-nya (guru), hingga kurikulum yang tidak jelas.

Sistem pendidikan yang baik butuh ditopang kekuatan ekonomi dan political will negara, serta sistem-sistem lain yang baik. Dengan sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik sekuler demokrasi yang diterapkan saat ini akan sulit untuk mewujudkan sistem pendidikan yang ideal. Karena dalam sistem kapitalis, setiap kebijakan diatur berdasarkan pertimbangan untung dan rugi. Apapun yang tidak menguntungkan bagi penguasa, meski itu terkait dengan masa depan anak bangsa, maka akan sulit untuk terealisasi. 

Berbeda hal nya dalam pandangan Islam. Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis dalam rangka mencapai tujuan, diantaranya membentuk manusia yang bertakwa yang memiliki kepribadian Islam secara utuh, yaitu pola pikir dan pola sikapnya didasarkan pada akidah Islam; menguasai pemikiran Islam; menguasai ilmu terapan; dan memiliki keterampilan yang tepat guna dan daya guna.

Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer bagi rakyat yang penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah saw bersabda, "Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, negara wajib menyelenggarakan pendidikan sebaik mungkin. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan yang mudah diakses untuk semua kalangan, baik di desa atau di kota, kaya atau miskin. Adapun pembiayaan pendidikan (fasilitas sarana dan prasarana serta gaji guru) ditanggung oleh negara yang dananya diambil dari Baitul Mal.

Dengan demikian, jika kwalitas dan fasilitas pendidikan merata di setiap sekolah, kuantitas dan kwalitas guru memadai, serta kesejahteraan guru tercukupi, maka tidak akan terjadi favoritisme sekolah dan tujuan pendidikan pun akan tercapai.

Previous Post Next Post