Perempuan Butuh Syariat Bukan RUU PKS

Oleh : Sriyanti
Ibu Rumah Tangga, tinggal di Bandung


Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menuai pro dan kontra. Sebagai bentuk penolakan lembaga kemasyarakatan pun mengelar aksi, seperti yang dilakukan oleh anggota organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) karena RUU tersebut tidak mempunyai tolak ukur yang jelas, dilansir dari Medcom.id (14/ 7/ 2019). 

Humas ACN Alwyah mengatakan, banyak pasal dari RUU tersebut yang tidak memiliki penjelasan secara rinci dan menjadi bias makna. Misalnya, terkait orientasi seksual yang multitafsir. "Kita tahu orientasi seksual itu tidak hanya perempuan atau laki-laki, tapi dalam konteks ini bisa jadi bias antara laki-laki dan laki-laki, perempuan dan perempuan. Banyak yang bias dalam pasal ini. Tentunya bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, norma agama juga," kata Alwyah di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu, 14 juli 2019.

Ia juga menilai alih-alih dapat melindungi perempuan dari tindakan kekerasan seksual, RUU tersebut justru rentan memimbulkan permasalahan dan berpotensi membuat banyak kasus perceraian. "Ketika misalnya perempuan disuruh suaminya untuk mengurus anak, engga mau. Lapor. Terus mungkin kekerasan hanya sedikit tapi bisa lapor. Karena ada dasar hukumnya. Ini yang engga mau diterima." Tuturnya.

Begitu pula dengan Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati) menyatakan sikap menolak RUU PKS yang sedang dibahas di DPR, dengan pertimbangan melanggar norma agama. Serta sarat dengan muatan feminisme dan liberalisme.

Kasus kekerasan seksual dewasa ini semakin meluas di negeri-negeri muslim. Itu semua adalah konsekuensi yang tak terhindarkan, terutama dari promosi konsep dan nilai sekuler dan liberal buatan manusia, yang diciptakan oleh ideologi kapitalis Barat. Ideologi ini mendalilkan bahwa cita-cita yang harus dikejar oleh manusia adalah nilai-nilai luhur yang manusia tentukan untuk dirinya sendiri.

RUU  Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang digagas oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan (FPL) yang merupakan pengada layanan bagi korban kekerasan. Desakan untuk pengesahan RUU ini adalah pesanan Barat, sebagai bentuk serangan pemikiran untuk mendiskreditkan Islam. RUU ini juga merupakan pengganti RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang tidak gol, Barat melakukan berbagai upaya untuk meloloskan keinginannya di Indonesia.

Peradaban liberal saat ini menjadi wadah yang menyuburkan perilaku kejahatan seksual. Berbagai bentuk penyimpangan seksual kian liar, kekerasan seksual merajarela, homoseksual dan lesbianisme kian menjulang, perzinaan dan pelacuran pun seolah tak bisa dihapuskan. Itu semua kian menjauhkan manusia dari perilaku beradab. Hampir setiap hari kita disuguhi berbagai jenis berita menjijikkan seputar urusan seksual saja. Hal ini menjauhkan umat dari produktivitas pemikiran yang bersih.

Payung hukum tidak akan mampu menyelesaikan masalah kekerasan seksual, apalagi menggunakan produk hukum ala sekuler liberal buatan manusia yang sarat dengan kecacatan.

Ini semua hanya bisa diselesaikan dengan hukum Allah SWT Dzat yang Maha Sempurna. Allah SWT telah menurunkan Islam sebagai aturan hidup yang komprehensif, tak ada satu masalah pun yang luput dari pandangan Islam. Dalam hal ini Islam mempunyai hukum tentang sistem pergaulan.

Maka ketika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh oleh individu, masyarakat, dan negara tentu akan menjadi solusi bagi setiap permasalahan kehidupan. Ketiga pilar tersebut haruslah berjalan beriringan saling melengkapi. Individunya berkepribadian Islam, didukung oleh masyarakat yang mempunyai perasaan, pemikiran dan peraturan yang sama yaitu Islam. Serta disempurnakan oleh negara sebagai institusi penerap hukumnya.

Dahulu ketika sistem Islam diterapkan dalam naungan Khilafah, Islam menghukum tegas pelaku kejahatan seksual. Bagi pelaku zina termasuk perselingkuhan dan pelacuran, maka hukumannya didera 100 kali jika belum menikah atau dirajam jika sudah menikah. Sesuai dengan Firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2, yang artinya:

"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan pada keduanya mencegah kalian untuk (menjalankan) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman." (an-Nur (24) : 2)

Kasus pemerkosaan, hukumannya sama dengan pezina, kecuali atas korban yang dipaksa, maka dibebaskan dari hukuman.

Pelaku penyimpangan seksual berupa berzina dengan binatang juga mendapat sanksi tegas. Dari Ibnu 'Abbas r.a ia berkata, Rasulullah Saw bersabda:

"Siapa saja yang menyetubuhi bianatang, maka bunuhlah ia, dan bunuh pula binatang tersebut."

Sedangkan pelaku sodomi, hukuman keduanya adalah dibunuh, baik yang sudah menikah ataupun yang belum. Kecuali atas korban yang justru mengalami pemaksaan.

Dengan segala bentuk sanksi tegas di atas, masyarakat akan terjaga dari berbagai jenis kejahatan seksual. Perilaku seksual bebas ala liberalisme pun akan tersingkir. Baik anak-anak, remaja, laki-laki maupun perempuan. Semua penerapan hukum-hukum Islam secara kaffah hanya bisa dilakukan oleh negara dalam bingkai khilafah yang mengikuti metode kenabian. Oleh karena itu khilafah adalah kebutuhan bukan monster menyeramkan yang harus ditakuti.

Waallahu a'lam bi ash-shawab.
Previous Post Next Post