Muhasabah di tengah Kemarau Panjang

Oleh : Rosmiati

Air merupakan kebutuhan dasar atau pokok setiap makhluk di muka bumi. Itulah mengapa, dalam hadis Nabi Saw di katakan bahwa umatku berserikat dalam empat hal, yakni tanah gembalaan, air, api dan udara. Harga ketiganya adalah haram. Lebih jauh lagi, dalam perspektif ekonomi Islam, air merupakan salah satu ciptaan Ilahi yang masuk dalam harta kepemilikan umum. 

Ya, air bukan milik segelintir orang melainkan milik seluruh penduduk bumi. Keberadaan penguasa yang diamanatkan untuk mengemban amanah riayah terhadap segenap penduduk bumi, membuat air dikembalikan tata kelolanya kepada negara lalu mendistribusikannya kepada seluruh elemen masyarakat tanpa pandang buluh. 

Sayangnya, hak rakyat untuk menikmati air bersih dengan mudah, murah dan sehat kini langkah dijumpai. Unicef dan WHO memperkirakan, Indonesia adalah salah satu kelompok dari 10 negara yang hampir dua pertiga dari populasinya tidak mempunyai akses ke sumber air minum. Dalam perkiraan itu jumlah populasi Indonesia sekitar 39 juta (Sindonews, 12/05/2014). 
Sedangkan data yang dilansir dari Suara.com edisi 23/11/2019,  sebanyak 33,4 juta penduduk Indonesia kekurangan air bersih dan 99,7 juta jiwa kekurangan akses untuk ke fasilitas sanitasi yang baik. Ya, angka kesulitan dalam akses air bersih masih cukup besar.  Jika menelisik setiap pelosok negeri. Di sana masih ada pemandangan pilu dimana seorang ibu maupun anak harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk mendapatkan air bersih. 
Fenomena ini pun seakan kian lengkap di tahun 2019 ini. Pasalnya, musim kemarau tahun ini akan panjang membersamai Indonesia untuk beberapa kurun waktu ke depan. Kepala Bidang Diseminasi  Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Hary Tirto Djatmiko mengungkapkan, musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih kering dan terasa panas terik dari pada tahun sebelumnya (CNNIndonesia, 04/07/2019). 
Dampak dari kemarau panjang ini tentu akan membuahkan kekeringan yang berpotensi besar terjadi di beberapa daerah di Indonesia.  Tak ayal, sejumlah wilayah pun telah diberi warning untuk bersiap menghadapinya. Lahan pertanian para petani pun akan terancam terganggu bila musim ini tiba. Alhasil fenomena gagal panen juga akan kita dengar. Ya, semuanya akan berdampak pada penghasilan ekonomi masyarakat utamanya para petani. 
Tidak hanya itu, akses air minum pun akan semakin berkurang nantinya. Fenomena ini sudah mulai nampak di beberapa daerah di pulau jawa. Tidak menunggu lama, gejala penyakit diare dan sebagainya pun telah menghantui masyarakat. 
Fenomena kekeringan adalah hal yang memang tidak bisa dipisahkan dari kerja alam. Posisi Indonesia yang letaknya tepat berada di garis equator membuatnya hanya disinggahi dua musim dalam setahun. Kalau bukan musim hujan, ya musim kemarau. Di tambah lagi, jika menurut ungkapan BMKG, panjangnya kemarau tahun ini akibat dipicu oleh fenomena El Nino, yakni sebuah peristiwa memanasnya suhu muka laut di Samudera Pasifik bagian  tengah hingga timur yang pada akhirnya juga  berdampak pada sejumlah wilayah di Indonesia (CNNIndonesia, 04/07/2019).
Namun, selain faktor alam tadi. Kekeringan juga dipicu oleh aktivitas tangan-tangan manusia. Satu diantaranya adalah deforestasi. Bukan rahasia umum lagi bahwa laju alih fungsi lahan hutan menjadi kawasan permukiman dan industri adalah yang paling bertanggungjawab atas krisis air dan kekeringan panjang. Hilangnya hutan tentu akan berpengaruh pada ketersediaan cadangan air di dalam tanah serta memicu pemanasan global sebab hutan dengan sejuta pohonnya telah tiada. 
Kendatipun laju angka deforestasi dalam rentan waktu 2017-2018 menurun (Republika.co, 08/05/2019). Namun, tidak menutup fakta bahwa fenomena itu pernah terjadi. Hal ini pun semakin subur di tengah kondisi liberalisasi Sumber Daya Alam (SDA) seperti hari ini. Aturan main dalam sistem kapitalisme hari ini membuka jalan sebesar-besarnya bagi para pelaku usaha untuk membuka bisnisnya tanpa mempertimbangkan alam dan sekitarnya. 
Tak tanggung-tanggung sejumlah kawasan hutan pun disulap bak lapangan sepakbola oleh para pembisnis. Mulai dari membuka usaha pertambangan, industri air minum dan lain sebagainya. Kelihatannya bagus. Namun, sejatinya, banyak merugikan masyarakat kecil di sekelilingnya. Tidak sedikit masyarakat yang pada akhrinya kesulitan mendapatkan akses air bersih.
Dalam pandangan Islam fenomana kekeringan memang tidak bisa dipisahkan dari kuasa sang pencipta melalui gejala alam yang  diciptakanNya. Namun, terlepas dari semua itu, Islam juga melarang aktivitas eksploitasi alam secara berlebih-lebihan hingga menyebabkan kerusakan dan berdampak bagi keberlangsungan ekosistem kehidupan lain di sekitarnya. 
Dimasa pemerintahan Umar bin Khathab, kekeringan ekstrim pernah terjadi. Sungai Nil yang mengairi beberapa wilayah saat itu, enggan mengeluarkan airnya (kering). Sungguh bukan rahasia umum lagi bahwa irigasi untuk beberapa wilayah bagian bergantung pada aliran sungai ini. Berbekal keimanan yang mantap, sang Amirul Mukimin pun mampu membawa kaum muslimin keluar dari masa-masa sulit tiada air itu. Hanya dengan secarik kertas yang memuat kecaman sang Umar, sungai nil pun akhirnya mengeluarkan airnya. 

Untuk itu, sebagai seorang manusia,  kita memang tidak mempunyai kuasa untuk menghentikan laju alam dalam mengganti musimnya. Namun, upaya tetap harus digalakan. Dan yang terpenting, jangan sampai kita sebagai penduduk bumi telah zalim dalam menata serta mengelola alam dan sekitarnya. Maka bersama rundungan kemarau ini, baiknya kembali direnungi, sudahkah kita memakmurkan alam beserta isinya sesuai kehendak penciptanya?  Wallahu’alam
Previous Post Next Post