Dua Garis Biru : Antara Pendidikan Seks dan Liberalisme

By Annisa Riu

Di tanggal 11 Juli 2019 kemarin, sudah tayang sebuah film karya anak bangsa serentak di seluruh bioskop nusantara, yang berjudul Dua Garis Biru. Penayangan film ini sempat menuai kontroversi dan kritik serta sempat dipetisi karena film ini mengandung unsur pergaulan bebas yang dinilai bisa merusak generasi muda.

Sebagai bangsa Indonesia, tentunya kita akan berbangga ketika bangsa kita mampu menciptakan karya, karena artinya bangsa kita mampu menghasilkan sesuatu yang membanggakan. Tapi, itu juga tergantung pada konten dari karya itu sendiri. Ketinggian literasi yang dipengaruhi oleh cara berpikir akan menentukan konten seperti apa yang disuguhkan.

Dua Garis Biru mengisahkan tentang dua remaja SMA yang tengah dimabuk cinta, berulah kebablasan lepas dari pengawasan dan kontrol kedua orangtuanya. Hingga masalah klasik yang sudah kita dugapun muncul, kehamilan yang tidak diinginkan. Konflik terus berkembang merembet dan bercabang kepada masalah sosial, seperti sekolah, keluarga dan lingkungan sekitar. Digambarkan bagaimana film tersebut mengajarkan bagaimana orangtua belajar untuk menerima kondisi yang sudah “terlanjur terjadi” dan bijak ikut menentukan solusi atas bencana tersebut karena dianggap anak-anak mereka masih “di bawah umur” untuk bisa menyelesaikan permasalahan yang mereka buat sendiri. Film ini mengingatkan kita pada sinetron tahun 2000-an yang berjudul “Pernikahan Dini” yang dibintangi oleh Agnes Mo dan Syahrul Gunawan yang juga mengangkat tema yang sama.

Film ini boleh saja dikampanyekan mengandung unsur pendidikan yang baik agar anak muda tidak terjerumus ke dalam masalah seperti yang ditunjukkan dalam film tersebut. Namun, ide liberal yang dibawanya tetap tidak bisa ditutupi. Yang menjadi pertanyaanya adalah, kemana orangtua ketika anak-anaknya mulai mengambil jalan yang salah? Tidakkah anak-anak berada dalam kontrol mereka? Mereka fokus pada penyelesaian kuratif, bukan preventif. Orangtua yang sibuk mengecek aktivitas anaknya, dengan siapa dia berteman, sedang melakukan apa, dan apa saja yang dipikirkan anak-anaknya kini dianggap sebagai orangtua yang terlalu mengekang dan tidak “demokratis”. Terlihat, pada saat sang perempuan diantar oleh pacarnya, sang ibu bersikap sangat baik dan menganggap pacaran adalah hal biasa yang tidak perlu dikhawatirkan.

Alih-alih menghindari pacaran dan memilih menikah agar menjadi suami istri yang halal, jutaan anak muda yang menonton film ini kemungkinan besar malah akan mencari seribu cara untuk tetap pacaran tanpa membuat pasangannya mengandung, sehingga mereka tidak perlu bertanggung jawab dan menjadi orang tua di usia dini. Persis seperti cara berpikir anak-anak muda liberal. Tanpa tayangan film ini saja, remaja kita sudah babak belur digempur serangan liberalisme melalui games, internet, dan lain-lain yang dengan apik mengajarkan permisifisme, hedonisme, dan nilai-nilai yang jauh dari norma agama. Lantas, mau dibawa kemana masa depan generasi muda kita saat ini?

Konten ide liberalisme yang mengerikan itu bukan hanya terkandung dalam film ini saja. Beberapa bulan lalu, telah tayang film karya anak bangsa lainnya yang ternyata berhasil meraih penghargaan internasional. Judulnya "Kucumbu Tubuh Indahku." Dari judulnya saja, film ini sudah menuai banyak kontroversi, apalagi isi filmnya. Ditambah lagi sekuel Dilan yang menggambarkan kehidupan pelajar yang jauh dari teladan. Bagaimana bisa pemerintah atas nama kebebasan berekspresi mengijinkan film sejenis ini tayang dengan mengorbankan masa depan generasinya?

Inti ideologi kapitalisme (liberalisme) adalah sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Agama boleh hadir, namun tidak boleh mencampuri urusan kehidupan, ekonomi, politik, dan lain-lain. Ideologi ini mengusung empat pilar kebebasan, yaitu kebebasan beragama, berpendapat, berperilaku, dan kebebasan kepemilikan. Tentu saja semuanya adalah kebebasan bersyarat yang tak boleh melanggar aturan ideologi liberalisme. Selama tidak melanggar aturannya, maka kebebasan ini menjadi tanpa batasan. Perilaku seksual yang menyimpang dan pergaulan bebas pun akan diterima dan diakui dalam ideologi ini. Buktinya, sudah ada sekitar 23 negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis, dan lebih banyak lagi negara yang mengizinkan seks bebas merajalela.

Padahal agama Islam telah melarang umatnya untuk menjauhi zina dan tidak bersikap melampaui batas. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al Israa ayat 32 : "Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." dan surat Al A'raf ayat 81 : "Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas."

Jadi jelas bahwa dalam Islam, ide-ide liberal semacam ini seharusnya tidak memiliki tempat untuk berkembang. Sebagai umat muslim, sudah seharusnya kita tidak memberi tempat pada ide-ide mengerikan liberalisme untuk berkembang di kalangan umat, bukan malah mendukungnya mati-matian dengan menggunakan perisai Hak Asasi Manusia. Karena itu, sebenarnya sangat wajar untuk membuat petisi untuk menolak baik film “Kucumbu Tubuh Indahku” maupun “Dua Garis Biru.”

Meskipun demikian, petisi bukanlah satu-satunya solusi untuk hal-hal ini. Karena, mati satu akan tumbuh seribu selama sekulerisme masih dijadikan asas di negeri ini. Solusi terbaik untuk terhindar dari ide-ide mengerikan semacam ini adalah dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Islam adalah agama sekaligus sistem hidup yang mampu mengatur kehidupan dalam seluruh aspek. Maka Islam tidak akan membiarkan ide-ide mengerikan semacam ini berkembang di dalam negara dan menumbuhkan bibit-bibit pemikiran yang merusak moral bangsa. Islam mampu mengarahkan generasi untuk menghindari pergaulan bebas tanpa perlu mendapatkan visualisasi pergaulan yang salah dengan dalih pendidikan seks. 

Islam memiliki seperangkat aturan sistem pergaulan yang mesti dipahami baik oleh orangtua maupun generasi muda. Karena prinsipnya, Islam akan mencegah segala aktivitas apapun yang menghantarkan kepada perbuatan zina, seperti aturan kehidupan laki-laki dan perempuan berikut interaksinya, tata cara menjalani proses menuju pernikahan, pendidikan seks dalam keluarga, dan sebagainya. Maka dengan penerapan Islam secara menyeluruh, maka umat akan mampu membentengi diri dari semua ide liberal maupun komunis yang merusak moral. Wallahu alam bisshawab
Previous Post Next Post