Sultraku Riwayatmu Dulu, Kini dan Nanti

Oleh : Hendaryati Uti Firnas

Dua puluh lima tahun yang lalu, masih melekat kuat dalam ingatan. Waktu pertama menginjakan kaki di bumi Sultra, di pelabuhan kapal Bawa Karaeng. Hilir mudiknya orang-orang yang mengangkut barang kebutuhan pokok, yang menandakan lancarnya perputaran ekonomi yang baik di daerah tersebut, khususnya kota Kendari dan sekitarnya.

Bergeliatnya pembangunan masih terasa hingga kini, menjadikan Kendari/Sultra dari kota yang tidak masuk dalam perhitungan berubah menjadi kota yang semarak, jalan-jalan sebagai  sarana penunjang perputaran ekonomi terus dibangun hingga ke pelosok desa. Sultra tidak berhenti berbenah hingga tumbuh menjadi sebuah propinsi yang menarik banyak pemodal, berlomba untuk bisa mengambil peruntungan dari daerah yang kaya  dengan hutan dan tambangnya.

Sultraku sayang Sultraku Malang.
Bukan hanya kecantikan kotamu yang membentang sepanjang teluk Kendari, yang memikat para korporasi, terlebih perut bumi nya yang menjadikan incaran asing dan aseng. Tanpa belas kasihan mereka mendatangkan alat-alat berat untuk bisa mengeruk harta terpendam di bumi Sultra ini. Pengelolaan kekayaan alam yang seharusnya bisa dinikmati masyarakat, mensejahterakan masyarakat, yang terjadi justru menimbulkan banyak bencana yang menyengsarakan.

Kini Sultraku dikepung banjir. Sungai Lambadiya di Konsel meluap memutus jalan, membanjiri sawah sawah yang sebagian belum dipanen. 

Jalan Provinsi Kendari Kolaka terputus dengan jembatan tergerus banjir. Sungai wanggu kota Kendari meluap, merendam puluhan rumah penduduk mengakibatkan masyarakat mengungsi dijalan jalan raya. Yang terparah banjir melanda Konawe Utara.

"Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho melaporkan perkembangan situasi per 9 Juni 2019, banjir di kabupaten Konawe Utara, propinsi Sulawesi Tenggara mengakibatkan 1.091 KK atau 4.198 jiwa mengungsi."(Tribun news)

Jembatan panjang yang menghubungkan antara dua propinsi, propinsi Sultra dan propinsi Sulteng terputus total digerus banjir. Menghanyutkan sejumlah rumah penduduk. Lengkaplah penderitaan  masyarakat Konawe Utara sehubungan dengan bertepatan dengan suasana lebaran idul Fitri.

Seakan akan sudah menjadi tradisi yang tak pernah menjadi pelajaran. Selalu berulang. Bencana datang, sibuk cari kambing hitam. Saling tuduh dan saling menyalahkan, pada akhirnya alam yang menjadi korban tuduhan.

"Saharudin, direktur eksekutif walhi Sultra saat dihubungi liputan 6.com, Selasa(11/6/2019) mengatakan sejak 2001 sampai 2017, tercatat Konawe kehilangan 45600 ha tutupan pohon. Tak hanya itu, Konawe juga memiliki Daerah Aliran Sungai(DAS) yang berstatus krisis, akibat dari  sedimen yang tinggi, yang diakibatkan aktivitas penambangan dan perkebunan. Keduanya faktor terbesar penyumbang rusaknya hutan. Di hutan primer 954 ha dan 2540ha di hutan alam."( Liputan 6.com)

Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya baru mau meneliti terkait dengan  surat izin pengelolaan tambang dan pekebunan terhadap dampak bencana banjir Konawe. Bencana itu sudah terjadi dengan banyak memakan korban  jiwa dan harta.

Selayaknya surat izin diterbitkan berdasarkan dampak positif dan negatifnya bagi masyarakat  sekitar. Karena jika hutan sudah beralih fungsi, tentu akan mengakibatkan bencana. Diantaranya mengakibatkan tanah longsor, banjir bandang dan banjir besar seperti yang sedang menimpa saudara-saudara kita di Konawe. 

Kasus-kasus pertambangan yang pernah terjadi telah menyebabkan kerugian negara, konflik tata batas, kerusakan lingkungan (erosi, kekeringan) dan korban nyawa. Ini semakin menegaskan bahwa pemberian izin tambang selama ini dilakukan tidak secara transparan dan beresiko adanya penyelewengan terhadap hak masyarakat untuk dapat mendapatkan kesejahteraan. Dan beresiko izin pertambangan dilakukan karena kepentingan pribadi dan golongan.

Sangat disesalkan apa bila pengelolaan tambang dan hutan diserahkan kepada pihak swasta asing, seperti yang banyak terjadi saat ini. Karena akan mengakibatkan kesengsaraan masyarakat menjadi berlipat-lipat. Kekayaan alam yang tersedia yang seharusnya dipergunakan untuk mensejahterakan, yang ada asinglah yang menikmatinya. Masyarakat tetap saja berada dalam kemiskinan dan penderitaan yang sangat menyakitkan. semua itu dampak dari eksploitasi tambang dan hutan.

Pemerintah telah abai menjalankan amanah  UU.dengan memberikan pengelolaan tambang dan hutan kepada swasta dan asing. Padahal sudah dijelaskan dalam UUD 1945 pasal 33/3 bahwa:
"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat"

Besarnya potensi Sumber Daya Alam (SDA) di nusantara seharusnya menjadi peluang besar untuk menjadi negara yang berdaulat dalam bidang energi dan mineral. Artinya berpeluang untuk bisa mensejahterakan masyarakat dan terhindar bencana dengan tata kelola yang tepat.

Sebaik apapun UU buatan manusia, berpotensi untuk dilanggar karena berada dalam tempat yang menafikan adanya Tuhan yang maha mengatur kehidupan. Terjebak dalam aturan "Kapitalis" membuat manusia menjadi rakus, dan menghalalkan segala cara. Eksploitasi kapitalismelah yang menjadi bencana besar, seperti yang sedan menimpa saudara-saudara kita di Konawe dan berbagai daerah lainnya.

Sudah saatnya pemimpin dari negri yang berpenduduk muslim terbesar ini  menata dan mengelola negri yang kaya dengan sumber daya alam, dengan sistem yang adil. Sistem yang turun dari pencipta alam semesta, Allah SWT yang maha adil dan maha sempurna. Termasuk cara penanganan bencana bencana yang sedang melanda tanah air.

Hentikan kesombongan yang telah dilakukan. Berhentilah mendiskreditkan ajaran ajaran Islam, mempersekusi aktivitas aktivitas dakwah, menangkapi para pengemban dakwah, membungkam kelompok kelompok pengemban dakwah. Memfitnah ajaran Islam khilafah.

Kembali pada aturan yang telah dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw yaitu aturan Islam  akan lebih baik dan memberi kesejahteraan. Seperti yang telah diterapkan oleh para sahabat dan Kholifah kholifah sebelumnya.

Betul sekali, adanya potensi bencana alam pada suatu tempat adalah ketetapan dan qodonya Allah yang tidak bisa dihindari. Namun, ada ihtiar yang harus dilakukan untuk menghindari dari keburukan yang dapat ditimbulkan. Dan upaya upaya tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat itu. Sehingga potensi bencana Alam bisa dihindari dengan kebijakan negara. Negara Khilafah dalam menerapkan kebijakan tidak saja di dasarkan pada pertimbangan rasional, tetapi juga didasarkan pada nash syari'ah. Itu yang lebih utama.

Bukti otentik dari keunggulan sistem Islam adalah pada masa kekhilafahan Turki Utsmani pada kepimpinan Sultan Ahmed. Setelah terjadi gempa besar dan merobohkan banyak bangunan. Sultan Ahmed telah menyiapkan arsitek dari kalangan kekhilafahan yang bernama" Sinan". Tanpa bergantung pada tenaga ahli dari luar, membangun kembali puing puing bangunan yang telah hancur dengan cor beton yang kuat. Seluruh masyarakat diperintahkan untuk membangun kembali bangunan bangunannya yang runtuh. Bangunan yang kuat terbukti ketika terjadi gempa besar bisa bertahan hingga kini.(campusislami.com)

Manajemen penanganan bencana alam disusun dan dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip wajibnya seorang Kholifah melakukan ri'ayah terhadap urusan urusan rakyatnya. Jika seorang Kholifah mengurusi rakyatnya dengan baik sesuai dengan nash nash syara, maka Allah akan ridho terhadap semua urusan kepemimpinannya. Dan Allah akan melimpah kan pahalanya. Sebaliknya jika lalai dalam urusan umat maka penyesalan yang ada, kelak di akhirat.
Wallahu A'lam bish showab.
Previous Post Next Post