Hidup Tanpa Pajak, Mungkinkah?

Oleh: Eva Rahmawati

Jika anda hidup semua dikenai pajak, selamat berarti anda hidup di Indonesia. Punya rumah, kendaraan, beberapa profesi, belanja di swalayan ataupun minimarket semuanya kena pajak. Bahkan ketika sudah meninggal pun masih menanggung pajak. Miris. Bukan itu saja para pebisnis juga tak luput dari incaran pajak, baik pebisnis offline maupun online. Berikutnya para YouTuber dan selebram juga sama nasibnya, kena pajak juga.

Bukan rahasia umum lagi jika penghasilan YouTuber maupun selebgram saat ini sudah mencapai jutaan, puluhan juta, ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah. Melihat realita tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun angkat bicara. Menurutnya, penghasilan besar yang diperoleh para YouTuber maupun selebgram akan dikenai pajak

Hal tersebut berdasarkan dengan Peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. "Kalau mereka mendapatkan pendapatan di bawah Rp 54 juta, itu tidak mendapatkan pajak. Tidak masuk di dalam pendapatan tidak kena pajak," kata Sri Mulyani. (Suara.com, 20/1/19)

Bukan hanya YouTuber dan selebram, pebisnis online juga akan dikenai pajak. Ada yang menarik di sini, kenapa terkesan pemerintah sangat sigap untuk mengimplementasikan Pajak atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Tentunya ada alasan kuat, karena saat ini sektor ekonomi digital mengalami peningkatan tajam.

Potensi transaksi e-commerce di Indonesia dianggap cukup besar, berdasarkan laporan Google dan Temasek 2018, nilai transaksi e-commerce di Indonesia mencapai US,2 miliar atau jika dihitung menggunakan kurs Rp14.000 nilainya sebesar Rp170,8 triliun. Nilai itu pada 2025 diperkirakan melesat menjadi US miliar. (klinikpajak.co.id, 16/1/19)

Semua sektor sudah dikenai pajak. Hal ini membuktikan bahwa sistem ekonomi liberal lah yang 'bermain' dalam kebijakan ekonomi negeri ini. Dalam perspektif sistem ekonomi liberal pajak dan hutang menjadi sumber andalan utama APBN dalam pembangunan ekonomi, maka menjadi wajar jika apapun bisa dipajakin.

Dalam postur APBN 2018, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7 triliun. Jumlah ini berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp1,2 triliun. (www.kemenkeu.co.id)

Dari data tersebut, hampir 80 persen APBN bersumber dari pajak. Ibarat vampir, pajak adalah darah bagi sistem ekonomi liberal. Semua akan dikenai pajak. Dan lagi rakyat yang menjadi korban. Ironi, negeri dengan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah ruah, memiliki tambang emas terbaik di dunia, cadangan minyak, gas, perak, tembaga serta batu bara melimpah, sumber daya hayati di lautan melimpah, kesuburan tanah, flora dan fauna, namun untuk membiayai penyelenggaraan negara bersumber dari pajak rakyat.

Sudah berlangsung lama SDA Indonesia dieksploitasi dan dieksplorasi secara besar-besaran, namun bukan untuk kesejahteraan rakyat. Melainkan dimonopoli oleh segelintir orang, dikelola oleh individu maupun swasta baik domestik maupun asing. Hal ini telah diakui oleh Kepala Staf Keprisedenan Moeldoko lewat akun Facebook resminya, Senin (16/4/2018) "Kalau ada orang yang bilang SDA dikuasai asing, saya tegaskan itu sudah dari dulu.... Jadi orang itu ngomongnya tidak logis."

Memang benar SDA Indonesia sudah dari dulu dikuasai asing. Hal ini dimulai pada masa orde baru, UU yang pertama kali ditandatangani oleh Presiden Soeharto yaitu UU No. 1/ 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Dalam UU tersebut berisi persyaratan bahwa Indonesia bersifat terbuka terhadap masuknya modal/ investasi maupun hutang dari negara manapun.  Keran investasi pun sampai saat ini masih dibuka lebar di era reformasi hingga sekarang.

Alhasil, banyak sekali SDA yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan swasta domestik maupun asing. Sebutlah Freeport, Exxon Mobil, Shell, Chevron, Newmont, dll, yang menguasai SDA Indonesia. Penyebabnya adalah sistem ekonomi kapitalis yang bercokol di negeri ini. Adanya kebebasan individu dan kelompok orang (swasta) untuk menguasai kepemilikan umum yang seharusnya dikelola oleh negara. Maka, terjadilah monopoli SDA dimiliki oleh individu, swasta yang memiliki modal besar.

Parahnya pengelolaan SDA oleh para kapitalis ini hanya memberikan dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa. Sudah lah SDA dirampok, rakyat hanya merasakan dampak buruknya saja. Seperti yang terjadi di Freeport, Papua dan beberapa daerah lain. Kerusakan parah yang berakibat maraknya bencana alam. Tak ada untungnya sedikitpun, yang ada rakyat lagi-lagi menjadi korban.

Berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang mengandalkan pajak dan utang sebagai penopang pembangunan ekonomi negara atau APBN. Dalam sistem Islam sumber pendapatan bukan dari pajak apalagi dari hutang riba, melainkan dari tiga sumber, yaitu:

Pertama: dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum.
Dalam sistem ekonomi islam SDA seperti kekayaan hutan, minyak, gas dan barang tambang lainnya yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah milik umum (rakyat) sebagai sumber utama pendanaan negara.

Pada kepemilikan umum ini negara hanya sebagai pengelola. Syariah Islam mengharamkan pemberian hak khusus kepada orang atau kelompok orang (swasta), apalagi swasta asing. Jika dieskplorasi dan eksploitasi dana dan sarana, pemerintah wajib menyediakannya sebagai bentuk tanggung jawabnya untuk mengurusi kepentingan rakyat.

Kalau semua potensi SDA milik umum dikelola negara, pemerintah tidak perlu membebani rakyat dengan pajak. Apalagi SDA Indonesia sangat melimpah ruah, jika semua SDA yang dimiliki dikelola negara dan digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dipastikan bisa hidup tanpa pajak. Tidak ada lagi ceritanya anggaran APBN defisit dan hutang menumpuk, yang ada malah surplus dan rakyat bisa sejahtera.

Kedua: dari pengelolaan fa'i, kharaj, ghanimah dan jizyah serta harta milik negara dan BUMN.

Ketiga: dari harta zakat.

Demikianlah sistem Islam mampu memberikan solusi menyeluruh, agar rakyat hidup terbebas dari beban pajak. Jika ketiga sumber pendanaan benar-benar diimplementasikan oleh negara, yakinlah harapan rakyat hidup sejahtera akan terwujud. Bukan dalam sistem ekonomi liberal yang sekarang diterapkan, melainkan dalam sistem ekonomi Islam. Dan bisa terwujud dalam bingkai Khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Wallahu a'lam bishshowab.
Previous Post Next Post