Baju Baru Lebaran Saat Pandemi

By : Mimin Nur Indah Sari
Sedati, Sidoarjo 

Sebuah kata mutiara Arab yang sangat indah, “Laisa al-’id liman labisa al-jadid, wa lakinna al-’idu liman taqwa hu yazid ”(hari raya Idul fitri bukan bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang takwanya bertambah). Hal ini menunjukkan bahwa inti dari hari raya bukanlah baju baru. 

Namun, kenyataannya tak hanya mudik yang menjadi tradisi masyarakat Indonesia menjelan Idul fitri, tetapi juga baju baru lebaran. Seolah menggambarkan bahwa tanpa baju baru serasa tidak ikut berpartisipasi dalam perayaan lebaran. Bahkan, Wali Kota Bogor Bima Arya mengungkap ada penerima dana bantuan sosial (bansos) pandemi Virus Corona (Covid-19) membelanjakan uangnya untuk membeli baju lebaran yang dilansir oleh CNNIndonesia.com (19/05/2020).

Masyarakat Sekular

Di Sepuluh malam terakhir kali ini, justru marak ajakan di berbagai media sosial untuk kembali meramaikan masjid. Ajakan itu adalah bentuk kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang seolah melakukan diskriminasi terhadap umat Islam. Bagaimana tidak, disaat ada kebijakan masjid di tutup, malah ada kebijakan bahwa mall atau pasar dibuka sehingga banyak warga yang berkerumun memenuhi pusat-pusat perbelanjaan disaat umat harusnya berlomba-lomba mengejar malam lailatul qodar. 

Bahkan, Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas meminta agar pemerintah tak pandang bulu dalam menegakkan aturan yang tujuannya adalah agar kita bisa memutus mata rantai penularan virus ini secara cepat. Bila pemerintah melarang orang untuk berkumpul di masjid, lanjut dia, seharusnya hal yang sama juga diterapkan di lokasi lain seperti pusat-pusat pembelanjaan yang dilansir dari CNNIndonesia.com (17/05/2020). 


Dari sini tergambar bahwa kebijakan pemerintah ini justru semakin membingungkan masyarakat. Apalagi masyarakat yang pada umumnya terbiasa dengan kehidupan sekular yakni jauh dari norma agama. Seorang yang jauh dari norma agama (sekuler) cenderung berbuat sesuka hati dengan pertimbangan untung dan rugi. Itu artinya masyarakat sekuler akan cenderung melakukan apapun yang dianggapnya penting, meski harus berdesak-desakan di mall hanya demi mendapatkan baju baru lebaran. 

Hingga Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyampaikan bahwa, “Inilah akibatnya jika tidak mengindahkan aturan protokol kesehatan. Kamis (21/5) jumlah pasien positif Covid-19 melonjak berkali lipat dimana ada penambahan kasus hingga 502 orang dalam sehari. Surabaya bahkan ada penambahan positif 311 orang. Dulur, mohon ditahan dulu untuk tidak cangkrukan, ke pusat perbelanjaan memburu pakaian baru, dan mudik. Jangan sampai, perjuangan tenaga medis, perjuangan kita semua sia-sia karena tidak disiplin. Selalu jaga jarak dan terapkan pola hidup bersih dan sehat” yang dilansir dari Instagram Ibu Khofifah Indar Parawansa (22/05/2020).

Paradigma Islam

Adapun Islam tentu memiliki paradigma yang benar dalam memandang perayaan hari raya idul fitri. Islam memandang bahwa hari raya idul fitri adalah hari berbahagia, bersenang-senang dan bersuka cita. Rasulullah SAW pun juga mencontohkan hari raya sebagai syi’ar yang agung dalam islam (DAKWAH ISLAM). Maka seorang pemimpin kaum muslimin (amirul mukminin) akan bersungguh-sungguh dalam menetapkan 1 syawal dengan rukyatul hilal. Karena perayaan ini adalah simbol persatuan umat Islam. 

Adapun terkait persoalan baju, susungguhny tidak ada masalah dengan baju baru. Karena memang Islam menganjurkan agar memakai pakaian terbaik (suci dan bersih). Akan tetapi yang ditekankan di hari raya adalah bagaimana kita menjadi orang yang taqwa hu yazid (ketakwaan bertambah). 

Sehingga jelas disini bahwa seorang muslim yang memiliki aqidah islam (keimanan) yang kokoh maka ia akan memiliki pemahaman bahwa baju terbaik di hari raya itu tidak harus baru tapi yang terpenting baju itu bersih, suci, dan sesuai syari’at (menutup aurat dan pakaian luar bagi muslimah). Karena sesungguhnya baju terbaik di hari raya adalah ketakwaan. 
Yang mana dengan ketakwaan inilah mereka bergembira dan bersenang-senang.  Bentuk senangnya seorang muslim bukanlah bentuk fisik saja, karena yang utama adalah kebahagiaan yang bernilai ruhiyah. Yakni mengagungkan asma Allah (bertakbir, bertahmid, bertahlil) dan seterusnya. Semua ini adalah bentuk syukur seorang muslim atas hari kemenangan yang diraihnya.

Kemenangan ini apabila dikaitkan dengan ayat la’allakum tattakuun (Al Baqoroh 183). Harusnya ending dari puasa adalah menjadi orang yang bertakwa dan meraih kemenangan dengan puasa ramadhan, yakni bisa mengalahkan hawa nafsu. Jadi kunci kemenangan adalah bertambahnya keta’atan kita kepada seluruh perintah Allah  (ketakwaan). 

Lalu bagaimana implikasi ketakwaan seorang mukmin di dalam kondisi saat ini? Seorang yang mengimani Allah tentu akan tunduk dan patuh akan perintah Allah. Karena kebahagiaannya adalah ketika mendapatkan ridha dari Allah dan tolak ukur perbuatannya adalah hukum syara’ (pertimbangan pahala atau dosa). Sehingga, ia tidak akan berbuat sesuka hati hanya demi keuntungan atau keselamatan pribadinya. Seorang muslim yang ta’at akan melakukan ikhtiarnya semaksimal mungkin dalam upaya memutus mata rantai persebaran covid-19. Karena ia memahami bahwa RAsulullah SAW bersabda;

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani). Telah jelas tergambar bagaimana pandangan islam tentang betapa berharganya nyawa seorang mukmin. 

Peran Ulama

PR besar para ulama (MUI, PA 212, Da’i) hari ini sesungguhnya bukanlah hanya sekedar mempertanyakan ironi kebijakan pemerintah yang memihak kepentingan korporasi dan mengabaikan kepentingan rakyat serta menghambat kepentingan ibadah umat. Karena telah jelas, persoalan kebijakan yang ada justru lahir dari sitem kapitalisme dengan aqidahnya sekularisme.

Semestinya para ulama juga bersuara lebih lantang untuk mengangkat setiap jenis aspirasi umat yang menjerit akibat kebijakan zalim penguasa kapitalis hari ini. Juga mengangkat kritik bahwa wabah covid selayaknya menyadarkan agar kembali pada solusi syariah yakni penerapan sistem islam secara kaffah (sempurna) sekaligus mencampakkan sistem kapitalisme saat ini. 

Kenapa harus sistem Islam? karena hanya Negara yang memiliki  kemampuan untuk menjaga aqidah umat islam dari pemahaman yang berbahaya seperti sekulerisme. Yang mana kita telah melihat efeknya hingga hari ini. Yakni umat yang memang masih mengakui Allah sebagai penciptanya, namun tak lagi mau ta’at dengan perintah Allah. Sehingga wajar jika umat yang sekuler hari ini justru mengejar baju baru dari pada ketakwaan yang sesungguhnya adalah baju terbaik seorang muslim di hari perayaan Idul fitri. 

Post a Comment

Previous Post Next Post