Kenaikan UKT Ditunda, Solusi atau Ilusi?

Oleh: Indah Rizky Aulia

Mahasiswi

 

Mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia resah dengan kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang naik berkali-kali lipat, pasalnya kenaikan UKT dinilai melonjak tinggi. Dikutip dari narasi.tv, menyatakan bahwa kenaikan UKT di Universitas Indonesia sebagai salah satu kampus ternama, besaran UKT pada tahun 2024 naik dibandingkan tahun 2023, UKT kelompok 3 pada tahun 2024 menjadi Rp7,5 juta—Rp12,5 juta. Pada tahun sebelumnya, UKT kelompok 3 dipatok sebesar Rp2 juta sampai Rp4 juta saja. Dari kampus lainnya Universitas Jendral Soedirman (Unsoed) tidak meningkatkan biaya UKT untuk golongan satu dan dua. Namun, untuk UKT golongan tiga hingga delapan, besaran biaya kuliah meningkat. Peningkatan tersebut, terjadi pada UKT kelompok tujuh yang mencapai Rp30.000.000 pada tahun ini, naik dari tahun sebelumnya yang dipatok Rp17.500.000.

Hal ini pun terjadi sama di berbagai PTN baik PTN BLU (perguruan Tinggi Negeri Badan layanan umum) maupun PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Alhasil banyak calon mahasiswa baru (CaMaBa) yang mengurungkan niat untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi karena mendapatkan UKT yang tergolong tinggi. Dikutip dari nasional.tempo.co, seperti yang di sampaikan Presiden Mahaiswa Unri (Universitas Riau), Muhammad Ravi menyatakan “Kami melihat hampir 50-an calon mahasiswa menyampaikan tidak bisa lanjut sebagai mahasiwa baru dikarenakan UKT yang tersistem itu tidak sesuai dengan ekonomi mereka,” ujarnya saat RDPU di Gedung Nusantara I, Kompleks DPR Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Mei 2024 (12/6/24).

Dari banyaknya respon mahasiswa yang mengkritiki kebijakan terkait kanaikan UKT di tahun 2024 direspon positif oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset Dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim. Bahwasannya per tanggal 27 Mei 2024, secara resmi mengirimkan surat kepada rektor PTN dan PTNBH untuk membatalkan dan mencabut rekomendasi dan persetujuan tarif UKT dan IPI 2024 DI 75 PTN dan PTNBH. Ditinjau dari keputusan bahwa kenaikan UKT dan IPI dibatalkan, apakah dengan keputusan ini menjadi solusi tuntas untuk mengatasi persoalan biaya pendidikan yang tinggi di PTN.

*Paradigma Pendidikan Dalam Sistem Kapitalisme*
Kenaikan biaya UKT menjadi bagian persolan bahwa dunia pendidikan sedang dalam masalah. Idealnya pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh Negara untuk setiap warga. Secara regulasi wajib belajar bagi setiap warga Negara memang hanya 12 tahun namun, dengan arah pendidikan saat ini belum bisa mencetak generasi yang unggul. Hal ini terdapat banyak fakta bahwa generasi sedang mengalami persoalaan mulai dari krisis identitas, krisis akhlak dan moral ataupun krisis potensi unggul di masa muda sebagai agent of change pun tergerus. Belum lagi diperparah dengan potret mahasiswa yang terlilit hutang demi menempuh pendidikan yang mahal bukan menjadi persoalaan yang asing lagi. Kasus student loan (mahasiswa yang terjerat hutang untuk biaya pendidikan) pun meningkat. Mahasiswa dituntut untuk belajar di kampus namun disisi lain mereka disibukkan dengan upaya untuk membayar biaya pendidikan yang tinggi tak jarang dari mereka yang memutuskan untuk bekerja ataupun berhutang.

Kenaikan UKT bukanlah suatu yang tiba-tiba, melainkan sudah terjadi berulang. Hal ini dimulai sejak diberlakukannya UU PTN BH, pada UU ini terdapat aturan bahwa terjadi pemangkasan biaya ditanggung oleh Negara yang pada akhirnya diberikan kepada otonomi kampus untuk mencari sumber pendanaan untuk keberlangsungan kampus. Sehingga tak heran melalui kebijakan ini, PTN BH khususnya menetapkan besaran biaya pendidikan di PTN. Hal ini didukung dengan UU NO.20 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi yang merubah status PTN menjadi PTN BH.

Hal ini menunjukan ketidakseriusan pemerintah dalam mengurusi pendidikan khususnya dalam pembiayaan pendidikan. Untuk pendanaan pendidikan hanya dialokasikan sebesar 20% dari APBN dan di berikan ke banyak pos pendidikan. Tentunya hal ini tidak sebanding dengan kekayaan sumber daya alam Negara yang berlimpah.

Belum lagi dengan adanya perjanjian umum tentang perdagangan jasa (GATS), dimana salah satu layanan yang terlibat ialah sektor pendidikan. Dan Indonesia menjadi anggota WTO (World Trade Organization) yang merupakan organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional. Hal ini yang menjadi akar persoalan pendidikan dikomersialisasikan dengan harga yang tinggi.

Penundaan UKT sebagai bentuk respon yang dilakukan Mendikbudristek di tengah banyaknya kritik dan aksi yang dilakukan oleh mahasiswa. Namun, kapitalisasi pendidikan di perguruan tinggi masih terjadi, hal ini merupakan dampak yang ditimbulkan dari regulasi yang mengatur kebijakan PTN. Alhasil pendidikan hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu, belum lagi diperparah dengan statement pendidikan tinggi menjadi bagian kebutuhan tersier, padahal realitanya kebutuhan terhadap perguruan tinggi sangat besar untuk menghasilkan generasi yang handal dalam berbagai bidang, semisal seorang dokter tidak bisa dicetak dari bangku sekolah, melainkan harus menempuh pendidikan khusus, belum lagi pendidikan kedokteran menjadi salah satu yang mengeluarkan biaya yang besar. Akhirnya ketika dalam masa menempuh pendidikan dengan biaya yang besar, alhasil orientasi ketika sudah menyelesaikan pendidikannya bukan lagi tujuan utamanya untuk kebermanfaatan kepada masyarakaat, melainkan memutar pikiran untuk dapat mengembalikan modal pendidikan, sehingga berpengaruh kepada layanan lainnya menjadi mahal.

Inilah potret pendidikan dalam sistem kapitalisme, dimana Negara lepas tangan untuk mengurusi persoalan pendidikan. Dengan kebijakan yang ada berujung pendidikan dikembalikan kepada kemampuan individu, atau kampus. Gagal mencetak generasi yang unggul disebabkan orientasi bukan lagi untuk mencetak generasi yang bertakwa dan handal diberbagai bidang melainkan mencetak generasi yang berorientasi pada keuntungan/mengejar materi.

*Paradigma Pendidikan Islam*
Islam memandang pendidikan bukan suatu hal yang menjadi layanan jasa yang diperdagangkan seperti dalam sistem kapitalisme, melainkan pendidikan dalam pandangan Islam merupakan suatu kebutuhan dasar setiap rakyat. Dalam Islam layanan pendidikan ialah salah satu layanan yang di jamin oleh Negara, sehingga pendidikan pada masa kepemimpinan Islam adalah gratis, bahkan unggul dalam mencetak generasi yang ahli dalam agama dan juga ahli dalam bidang sains dan kemajuan teknologi. Berhasil melahirkan Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Maryam Al Asturlabi, Fatimah Al Fihri, Abbas Ibnu Firnas dan lainnya. Sehingga gambaran tekanan pendidikan dalam sistem kapitalisme seperti student loan, atau mahasiswa yang depresi bahkan bunuh diri akibat tekanan hidup tidak terjadi.

Konsep pendidikan dalam Islam bersifat merata dan tidak mahal, sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya pendidikan yang tinggi. Islam pun memiliki aturan terkait pembiayaan pendidikan. Yakni pertama secara mandiri, mendorong kepada setiap kaum muslim yang memiliki kemampuan untuk membiayai secara pribadi dikuatkan dengan dorongan ketakwaan bahwa harta yang diberikan untuk memperoleh ilmu mendapatkan kebaikan di sisi Allah, hal ini ditempuh ketika pembiayaan yang dilakukan Negara tidak cukup. Kedua pemberian wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, umat dimotivasi untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, serta pembiayaan yang utama ialah Negara. Adapun Negara dalam mengatur pendanaan pendidikan ialah dari kepemilikan umum seperti pengelolaan sumber daya alam dikelola penuh oleh Negara, tidak diberikan kepada pihak asing untuk mengelolanya, serta kepemilikan Negara lainnya seperti fai, ghanimah, kharaj, jizyah dll. Sehingga pendidikan dapat diperoleh dengan gratis ataupun tidak mahal. Pemimpin dalam Islam memiliki tanggung jawab sebagai ro’in yang bertugas untuk mengurusi urusan rakyat, termasuk persoalan pendidikan. Bertanggung jawab dalam membina rakyat untuk menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah dan dengan kemampuannya untuk bisa berdaya untuk umat. Wallahu’alam bisshawab.